Penelitian ini disusun oleh: Dr. Adi
Sulistiyono, SH.,M.Hum (Fakultas
Hukum dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta) , Dr.
Khudzaifah Dimyati, SH.,M.Hum (Fakultas
Hukum dan Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah
Surakarta), dan Kelik
Wardiono, SH. (Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Pendahuluan
Penanggulangan kemiskinan merupakan kewajiban pemerintah
yang harus dilakukan sebagai pemenuhan atau wujud dari amanat rakyat. Dalam
Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 disebut bahwa “…. Pemerintah Negara Indonesia
merdeka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.....”
Pernyataan ini menjadi cita-cita yang bulat dan semangat bangsa yang dinyatakan
dalam sila ke-lima Pancasila, yaitu mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia” dan yang landasan strukturalnya terumuskan secara jelas dalam
UUD 1945 Pasal 33 ayat (1) dan (3).
Penanggulangan kemiskinan memiliki konteks yang luas dan
menjadi bagian serta unsur penting dari pembangunan nasional. Kebijakannya
mengarah pada usaha meminimalkan jumlah penduduk miskin, meningkatkan
partisipasi masyarakat dan menempatkannya menjadi bagian integral dari sasaran
jangka panjang pembangunan nasional. Untuk ini pemerintah memberikan prioritas
tertinggi untuk memecahkan masalah kemiskinan. Perhatian besar pemerintah itu
terlihat dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000- 2004; dengan
kebijakan penanggulangan kemiskinan diidentifikasi dan ditegaskan di dalamnya.
Usaha untuk menanggulangi kemiskinan tersebut dilakukan
melalui 3 (tiga) jalur, yaitu mengembangkan kesempatan ekonomi bagi kelompok
miskin, memberdayakan kemampuan kelompok penduduk miskin, dan meningkatkan
program Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Kebijakan menanggulangi kemiskinan dilengkapi dengan
peraturan-perundangan untuk memberi arah dan menjamin kepastian tercapainya
tujuan pelaksanaan program. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional ( PROPENAS) yang antara lain memuat program penanggulangan
kemiskinan merupakan salah satu legitimasi tekad pemerintah pusat untuk
melaksanakan program tersebut ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Otonomi daerah diberlakukan mendasarkan Undang-Undang Nomor
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah; pelaksanaannya bersifat langsung,
nyata dan bertanggung jawab. Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota sebagai
penyelenggara negara di daerah memiliki otonomi yang luas dan utuh. Secara
implisit dan eksplisit pemerintah daerah
bertanggung jawab dan juga aktif melaksanakan program-program pengentasan
kemiskinan. Bidangbidang pembangunan yang wajib dilaksanakan termasuk
pengentasan kemiskinan; seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi (pertanian,
perdagangan dan lain-lain).
Pelaksanaan kebijakan nasional untuk penanggulangan
kemiskinan seringkali terkendala oleh Peraturan Daerah; karena substansinya
tidak singkron. Sementara itu hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah tidak
langsung, tidak mendasarkan pada sistem birokrasi administrasi yang hirarkhis
seperti pada masa lalu. Dengan demikian, produk hukum dari pusat yang melandasi
pelaksanaan penanggulangan kemsikinan tidak menjadi acuan pemerintah daerah
untuk melaksnakan program yang sama. Sekalipun visi dan misi program tersebut
memiliki makna yang signifikan bagi kebutuhan masyarakat miskin di daerah;
namun kebijakan tersebut tidak bisa mulus dilaksanakan di daerah.
Berdasarkan latar
belakang di atas rumusan masalah diformulasikan
sebagai berikut: Bagaimana
peran hukum sebagai instrumen kebijakan nasional tentang penanggulangan
kemiskinan?
Tinjauan
Pustaka
Menurut Cobb dan Elder (dalam Anderson, 1966) terdapat 3 (
tiga) prasyarat agar isu kebijaksanaan itu dapat masuk: (1) isu tersebut
memperoleh perhatian yang luas, atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan
kesadaran masyrakat; (2) adanya persepsi dan pendapat publik yang luas bahwa
beberapa tindakan perlu dilaksanakan untuk memecahkan masalah tersebut; (3) adanya persepsi yang sama dari masyarakat
bahwa masalah itu merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab yang sah dari
beberapa unit pemerintahan untuk memecahkannya.
Sementara itu,
menurut Anderson (1979), ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan
permasalahan kebijaksanaan dapat masuk ke agenda pemerintah, yaitu: (1) Bila
terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok maka kelompok-kelompok
tersebut akan mengadakan reaksi dan
menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa untuk mengatasi ketidakseimbangan
tersebut; (2) Kepemimpinan politiik dapat pula menjadi suatu faktor yang
penting dalam penyusunan agenda pemerintah. Para pemimpin politik, apakah
karena didorong atas pertimbangan keuntungan politik atau ketertiban untuk
memperhatikan kepentingan umum, atau kedua-duanya, selalu memperhatikan
problema umum, menyebarluaskan dan mengusulkan usaha-usaha pemecahannya;
(3) Timbulnya krisis atau peristiwa yang
luar biasa dapat pula menyebabkan masalah tersebut masuk ke dalam agenda
pemerintah. Setiap peristiwa atau krisis yang besar selalu memperoleh perhatian
yang luas dari masyarakat, termasuk pembuat keputusan atau memperhatikan secara
seksama terhadap pristiwa atau krisis tersebut; (4) Adanya gerakan-gerakan
protes termasuk tindakan kekerasan adalah juga merupakan salah satu sebab yang
membuat para pembuat kebijaksanaan, untuk kemudian memasukkannya kedalam agenda
pemerintah; (5) Masalah-masalah khusus atau isu-isu politis yang timbuul di
masyarakat yang kemudian menarik perhatian masyarakat dan para pembuat
kebijaksanaan.
Beberapa faktor
yang dapat memperbaiki kualitas kebijaksanaan publik, yaitu (Tjokroamidjojo,
1988): (1) Kebijaksanaan-kebijaksanaan supaya tidak terlalu didasarkan atas
selera seketika saja tetapi melalui suatu proses, sehingga terdapat tingkat
rasional tertentu. Dipertimbangkan berbagai alternatif implikasi
pelaksanaannya, walaupun memang harus diakui
bahwa suatu pengambilan keputusan
mengenai kebijaksanaan tertentu, terutama apabila harus dilakukan oleh
seseorang ternyata diambil juga berdasar
penilaian pribadi orang tersebut (one’s
moral judgment); (2) Penyempurnaan informasi dan sistem informasi bagi
analisis dan pembentukan kebijaksanaan publik, di mana diperlukan juga adanya
unit-unit penelitian dan pengembangan, statistik, bank data, dan sebagainya;
(3) Menggunakan analisis ekonomi. Tidak
dapat disangkal bahwa pada kenyataannya di negara-negara berkembang lebih menekankan pada pembangunan
ekonomi. Pemahaman dan pemakaian analisis ekonomi yang tepat menjadi esensial
dalam proses analisis dan pembentukan kebijaksanaan pembangunan; (4) Memperhatikan pendekatan yang menyeluruh (unified approach) yang berkaitan dengan proses pembangunan; (5)
Pertimbangan kepada perspektif jangka panjang. Kebijaksanaan justru
dimaksudkan untuk menghindari berbagai krisis dan keguncangan, dalam hal ini,
juga termasuk pertimbangan bahwa proses pembangunan suatu negara sangat berkait
dengan perkembangan di dunia pada umumnya; (6) Kepekaan terhadap
kebutuhan-kebutuhan objektif dari masyarakat, terutama dari golongan masyarakat
yang besar jumlahnya tetapi tingkat kesejahteraan hidupnya relatif rendah.
Evaluasi kebijakan merupakan langkah terakhir dari suatu
proses kebijakan. Sebagai salah satu aktivitas fungsional, suatu evaluasi
kebijakan tidak hanya dilaksanakan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas
kebijakan sebelumnya, akan tetapi daapt dilakukan pada seluruh
aktivitas-aktivitas fungsional yang lain dalam proses kebijakan. Dengan
demikian, evaluasi kebijakan meliputi penilaian dari isi terjadinya, dan dari
proses bagian dalam proses kebijakan. Seringkali ditemui adanya angapan bahwa
evaluasi kebijakan hanya meliputi tindakan penilaian terhadap hasil-hasil
kebijakan dengan berpegang kepada tujuan-tujuan yang telah dipilih dan
ditetapkan dalam kebijakan, akan tetapi sebenarnya, juga meliputi penilaian
terhadap tujuan-tujuan, saranasarana, aktivitas-aktivitas, urutan waktu, dan
hasil-hasil (kebijakan) dengan berpegang kepada ukuran-ukuran lain daripada
tujuantujuan kebijakan, misalnya, asas-asas maupun pandanganpandangan lain yang
dianut oleh para penilai.
Tujuan evaluasi kebijakan ditentukan oleh aspek kebijakan
yang hendak dinilai. Yang menjadi ciri dari (penyelidikan) evaluasi adalah
bahwa ia melalui jalan ilmiah mencoba mendapat pengetahuan tentang penilaian
isi, terjadinya, dan /atau hasil suatu kebijakan, jalannya suatu proses
kebijakan atau dari aktivitasaktivitas lainnya. Dengan demikian, evaluasi juga
meliputi (mengenai) dampak dan hasil dari program-program kebijakan. berkaitan
dengan hal ini, Charles O.Jones (1977)
menyatakan bahwa evaluasi kebijakan merupakan an activity designed to judge the merits of goverment programs which
varies significantly in the specification of object, the techniques of
measurenment, and the methods of analysis. Evaluasi kebijakan publik (dalam
praktiknya) banyak dilakukan untuk mengetahui dampak dari kebijakan publik.
Dampak yang dimaksudkan di sini adalah dampak yang dikehendaki oleh suatu
kebijaksanaan publik, artinya dampak tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan.
Anderson (1977)
menguraikan dampak kebijakan publik tersebut dalam beberapa dimensi
yaitu: (1) Dampak kebijakan yang
diharapkan dan atau yang tidak diharapkan, baik pada problematikanya maupun
pada masyarakat. Sasaran kebijakan juga ditentukan dengan jelas. Apabila misalnya
sasaran kebijakan adalah memerangi kemiskinan, maka sasaran yang ditujukan
adalah kelompok masyarakat miskin, dan dampak yang diharapkan timbul adalah
adanya peningkatan pendapatan mereka. Namun demikian, mungkin akan timbul pula
dampak yang tidak diharapkan, yaitu adanya sebagian anggota masyarakat yang
enggan berusaha untuk memperoleh lapangan pekerjaan karena mereka lebih suka
menunggu datangnya bantuan dari pemerintah dengan adanya program kebijakan
tersebut; (2) Dampak kebijakan terhadap
situasi atau (kelompok) orang yang bukan menjadi sasaran utama dari suatu
kebijakan publik. Hal ini biasanya disebut dengan externalities atau spillover
effects. Dampak yang demikian dapat positif maupun negatif; (3) Dampak
kebijakan-kebijakan yang dapat terjadi atau berpengaruh pada kondisi sekarang
maupun yang akan datang misalnya kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM
apakah dapat mengatasi masalah kekurangan dana untuk pembangun akibat resesi
ekonomi, atau dapat mengubah pola-pla ekonomis masyarakat di masa-masa yang
akan datang, dan sebagainya; (4) Dampak
kebijakan terhadap direct costs.
Dalam kaitan ini menghitung suatu economic
costs dari suatu program kebijakan publik relatif lebih mudah apabila
dibandingkan dengan dengan menghitung (timbulnya biaya-biaya lain yang bersifat
kualitatif (social costs) ; (5) Dampak kebijakan terhadap indirect costs yang biasanya
mengena atau dialami oleh anggotaanggota
masyarakat. Seringkali biaya yang seperti ini jarang dievaluasi karena sulitnya
untuk menentukan ukurannya, misalnya dampak suatu kebijakan publik yang
menyebabkan timbulnya keresahan sosial, kegelisahan masyarakat, dan sebagainya
yang menimpa/terjadi di suatu kelompok masyarakat karena adanya kebijakan
penataan kota.
Apabila dampak kebijakan yang diharapkan terjadi, maka
timbul permasalahan, sampai di mana ia dapat dianggap sebagai hasil dari
implementasi suatu kebijakan, atau dengan perkataan lain, dari penggunaan
sarana yang dipilih apakah sudah tepat dan efektif. Efektivitas di sini
berarti/menyangkut tingkat kegunaan sarana tertentu untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Jadi efektivitas sebenarnya bukan hanya di tingkat terealisasinya
tujuan-tujuan akan tetapi juga pada tingkat peran sarana yang dipilih untuk
mencapai tujuan.
Menurut Bilhelm Aubert dalam rangka pencapaian tujuan itulah
diperlukan adanya sarana berupa hukum, karena secara teknis hukum dapat
memberikan/melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) Hukum merupakan suatu sarana
untuk menjamin kepastian dan memberikan prediktabilitas di dalam; (2) kehidupan
masyarakat; (3) Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi; (4)
Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi melawan
kritik; (5) Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan
sumber-sumber daya.
Jadi output utama
sistem politik adalah hukum, sedangngkan hukum merupakan indikasi adanya
kebijaksanaan agar dapat diimplementasikan, maka semakin nampak keterkaitan
antara hukum dan kebijaksanaan sebagaimana disebutkan: “Constitutions, statuses, administrative orders and executive orders
are indicators of policy” (Sigler, 1977).
Hubungan antara
kebijaksanaan pemerintah dengan hukum semakin jelas disebabkan karena “Government
lends legitimacy to policies. Governmental policies are generally regarded as
legal obligations which command the loyalty of citizens” (Dye, 1978).
Selanjutnya dikatakan : Only Governmental policies invoive legal obligation.
Bahkan dikatakan hukum merupakan suatu bagian yang integral dari kebijaksanaan:
“Law is an integral part of policy
initiation, formalization.Legistrative bodies formulate public policy through
statutes and appropriations control” ( Sigler, 1977).
Keadaan seperti itu menyebabkan hukum merupakan kebutuhan
yang fungsional bagi masyarakat dan hukum dipandang sebagai elemen penting bagi
perkembangan politik. Jay A. Sigler dan Benyamin R. Beede (1977): Law
is an integral part of policy initiation, formalizatiion, implementation,
dan evaluation.
Pada hakikatnya hukum merupakan perlengkapan masyarakat
untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan
dalam masyarakat dapat dipenuhi secara teratur. Hukum harus mampu
menjadi sarana agar tujuan kebijaksanaan pemerintah dapat terwujud dalam
masyarakat. Hal ini mengingat
ciri-ciri yang melekat pada
hukum, yaitu: (1) Kehadiran hukum menimbulkan suatu kemantapan dan keteraturan
dalam usaha manusia; (2) Memberikan kerangka sosial terhadap
kebutuhan-kebutuhan masyarakat; (3) Sebagai kerangka sosial untuk kebutuhan
manusia, yang menampilkan wujudnya dalam bentuk sarana-sarana. Norma-norma
inilah yang merupakan sarana untuk menjamin agar anggotaanggota masyarakat
dapat dipenuhi kebutuhannya secara terorganisasi. Melalui norma-norma tersebut
terjelmalah posisi-posisi ang kait mengait tersebut. Melalui norma-norma
ditetapkan posisi masing-masing anggota masyarakat dalam hubungan dengan suatu
pemenuhan.
Fuller mengedepankan
delapan nilai yang harus ditaati dalam suatu sistem hukum (Rahardjo,
1982). Kedelapan nilai-nilai tersebut, yang dinamakan “delapan prinsip
legalitas”, adalah: (1) Harus ada
peraturan-peraturan terlebih dahulu; hal ini berarti, bahwa tidak ada tempat
bagi keputusan-keputusan secara ad hoc,
atau tindakantindakan yang bersifat arbiter; (2) Peraturan-peraturan itu harus
diumumkan secara layak; (3) Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut;
(4) Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci; ia harus
dapat dimengerti oleh rakyat; (5) Hukum tidak boleh meminta dijalankannya
hal-hal yang tidak mungkin; (6) Di
antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain; (7)
Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah; (8) Harus
terdapat kesesuaian antara tindakantindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah diubah.
Di samping itu, suatu peraturan
perundang-undangan yang baik sekurang-kurangnya harus memiliki tiga landasan,
yakni landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis. Meskipun
demikian ada yang menambahnya dengan landasan teknik perancangan dan landasan
politis.
Landasan Filosofis (Filosofische Grondslag )
Filsafat atau pandangan hidup
sesuatu bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa
tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang
tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cia yang dujunjung
tinggi. Didalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan, dan berbagai
nilai lainnya yang dianggap baik. Pengertian baik, benar, adil, dan susila
tersebut menurut takaran yang dimiliki bangsa yang bersangkutan. Hukum yang
baik harus berdasarkan kepada semua itu. Hukum yang dibentuk tanpa
memperhatikan moral bangsa akan sia-sia diterapkannya, tidak akan ditaati atau
dipatuhi. Semua nilai yang ada di Indonesia terakumulasi dalam Pancasila,
karena Pancasila adalah pandangan hidup, cita-cita bangsa, falsafah atau jalan
kehidupan (way of life) , dan
berbagai sebutan lainnya. Apapun jenisnya filsafat hidup bangsa, harus menjadi
rujukan dalam membentuk hukum yang akan dipergunakan dalam kehidupan bangsa
tersebut. Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk (yang termuat dalam
peraturan perundang-undangan) harus mencerminkan filsafat hidup bangsa itu.
Sekurangkurangnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa. Hukum
harus berakar dari moral.
Landasan Sosiologis (Sociologische grondslag)
Suatu peraturan
perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila
ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum
masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh
masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka. Hal ini berarti bahwa
peraturan perundang-undangan yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat, sesuai
dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Membuat suatu aturan yang
tidak akan ada artinya, tidak mungkindapat diterapkan karenatidak dipatuhi dan
ditaati. Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (living law) dalam masyarakat. Walaupun demikian tidak
berarti bahwa apa yang ada pada suatu saat dan dalam suatu masyarakat, akan
menjadi nilai kehidupan selanjutnya. Produk perundang-undangan tidak sekedar
merekam keadaan seketika (moment opname)
. Masyarakat berubah, nilai-nilai pun berubah, kecenderungan dan harapan
masyarakat harus dapat diprediksi dan terakumulasi dalam peraturan
perundang-undangan yang berorientasi masa depan.
Landasan Yuridis (Yuridische grondslag)
Landasan yuridis adalah landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadidasar kewenangan (bevoegdheid, competentie) pembuatan
peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan seseorang pejabat atau badan
mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau
tidak. Dasar hukum kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan sangat
diperlukan. Tanpa disebutkan dalam peraturan perundangan, seorang pejabat atau
suatu badan adalah tidak berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan. Misalnya, Pasal
5 ayat (1) UUD 1945 memberikan
kewenangan kepada Presiden untuk membentuk Undang-undang dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian pula ketentuan Pasal 5 ayat (2) memberikan
dasar hukum kewenangan kepada Presiden dalam menetapkan Peraturan Pemerintah
untuk menjalankan Undangundang. Landasan demikian sering disebut sebagai
landasan yuridis formal.
Hans Kelsen, yang terkenal dengan pure theory of law. Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan
yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu yang hanya
mengembangkan hukum itu sebagai alat pemerintahan dalam negaranegara totaliter.
Teori ini merupakan pengembangan yang amat seksama dari Aliran Positivisme.
Hans Kelsen, menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam
abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia mengenyampingkan
hal-hal yang bersifat ideologis, itu dianggapnya irasional. Teori hukum murni
juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan
pembicaraan tentang etika (Rahardjo, 1993). Teori hukum murni Kelsen tersebut
bertitik tolak dari landasan dasar sebagai berikut: 1) Tujuan teori tentang
hukum, seperti juga ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan
kesatuan (unity) ; 2) Teori hukum
adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum
yang ada, bukan hukum yang seharusnya ada; 3) Ilmu hukum adalah normatif, bukan
ilmu alam; 4) Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak
berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum; 5) Suatu teori
tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang
berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik; 6) Hubungan antara teori
hukum dengan sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang
mungkin dan hukum yang ada.
Selanjutnya berdasar dari landasan esensial tersebut Hans
Kelsen sampai pada konsepsi ilmu hukum dan teori hukum sebagai berikut (Rasjidi
dan Arief Sidharta, 1994): (1) Ilmu
hukum adalah pemahaman normalogis tentang makna hukum positif. Sebagai
demikian, maka ilmu hukum semata-mata hanya mempelajari norma-norma. Ilmu hukum
adalah ilmu kognitif yang murni tentang hukum, yang hanya mempelajari hukum
positif. Oleh karena itu, ilmu hukum tidak mempermasalahkan delega ferenda, teori tentang
alasan-alasan bagi hukum, dan baik buruknya isi hukum positif; (2) Teori hukum
(legal theory) adalah teori umum tentang hukum positif yang
menggunakan metode pemahaman yuristik yang khas secara murni. Metode yuristik
adalah suatu cara memandang hukum sebagai penentuan normatif dari
pertanggungjawaban yang dapat digambarkan dengan sebuah skema umum tentang
perkaitan normatif antara kondisi-kondisi dan konsekuensi-konsekuensi antara
perilaku benar dan salah.
Salah satu ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah
setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Menurut Hans
Kelsen (1973), “The law is, to be sure an
ordering for promotion of peace, in that it for bids the use of force in
relations among the members of the community”, sehingga dapat terasa
ketentraman dalam batin setiap masyarakat. Walaupun disadari bahwa hukum itu
membawa pelbagai pembatasan dan pengorbanan, tetap dinilai jauh lebih baik
kalau dibandingkan keadaan tanpa hukum. Tatanan normatif dalam hukum dikokohkan
dengan sistem sanksi. The sanctions of
law have the character of coercive acts in the sense developed above.
Bagian lain dari teori Kelsen
yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm. Grundnorm ini
merupakan semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang
menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan dia pula yang memberi
pertanggungjawaban, mengapa hukum di situ harus dilaksanakan. Oleh karena itu,
ia lebih merupakan suatu dalil dari peraturan biasa. Dalil itu akan tetap
menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui dan
mematuhinya. Tetapi, apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil
akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh. Dari konsep
Grundnorm tersebut, Kelsen melangkah
pada ajaran yang disebut stufentheory.
Bahwa sistem hukum hakikatnya merupakan sistem hirarkis yang tersusun dari
peringkat terendah hingga peringkat tertinggi. Semakin tinggi kedudukan hukum
dalam peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya; dan
semakin rendah peringkatnya, semakin nyata operasional sifat norma yang
dikandungnya. Hukum yang lebih rendah harus berdasar, bersumber, dan tidak
boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Sifat bertentangan dari hukum
yang lebih rendah mengakibatkan batalnya daya laku hukum itu.
Tujuan,
Manfaat dan Metode Penelitian
Adapun tujuan penelitian
yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian ini adalah menganalisis peran hukum sebagai instrumen
kebijakan penanggulangan kemiskinan. Sementara, manfaat penelitian adalah
memberi kontribusi pada penentu kebijakan yang berkaitan dengan peraturan
perundangan yang mengatur penanggulangan kemiskinan.
Penelitian ini mendasarkan pada
metode pendekatan doktrinal. Dengan demikian yang akan dijadikan sebagai objek
penelitian, hanyalah ”terbatas” pada peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan objek yang diteliti, serta data-data sekunder lainnya. Data yang
diperlukan dalam penelitian ini, hanyalah terbatas pada data sekunder, yang
berupa : (a) Bahan hukum primer, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan masalah yang diteliti; (b) Bahan hukum sekunder, yang
berupa hasil kaya ilmuah para sarjana dan hasil-hasil penelitian. Bahan hukum itu, akan dikumpulkan dengan cara
melakukan studi kepustakaan, yang dilakukan dengan cara, mencari,
mengiventarisasi dan mempelajari peraturan perundang-undangan, terkait dengan
objek yang diteliti. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
normatif kualitatif. Dalam hal ini analisis akan dilakukan dilakukan analisis yang berupa iventarisasi
terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan
yang diteliti, untuk kemudian diorganisir, setelah sebelumnya didiskusikan
terlebih dahulu dengan teori-teori hukum dan doktrin-doktrin, yang membahas
tentang objek yang bersangkutan.
Kebijakan
di Tingkat Nasional dan Peran Hukum dalam Penanggulangan Kemiskinan
Undang-Undang
No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional Lima Tahun
Krisis ekonomi yang dialami di
Indonesia pada tahun 1997 telah menyebabkan tingkat pendapatan masyarakat
menurun dan semakin meningkatnya jumlah orang yang hidup digaris kemiskinan.
Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan, bangsa Indonesia yang mempunyai kekayaan
alam yang sangat banyak hanya karena kesalahan pengurusan yang dilakukan oleh
penguasa menjadikan banyak masyarakat dirugikan, padahal dalam UUD 1945 Pasal
27 ayat 2 menyebutkan sebagai berikut :“Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Sebagai wujud
kepedulian terhadap masalah kemiskinan Majelis Permusyawaratan Rakyat telah
menyusun GBHN Tahun 1999 – 2004 Pada
Arah kebijaksanaan Bidang Ekonomi dalam no. 4 menyebutkan :
“Mengupayakan
kehidupan yang layak berdasarkan atas kemanusiaan yang adil bagi masyarakat,
terutama bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar dengan
mengembangkan sistem dan jaminan sosial melalui program
pemerintah serta menumbuhkembangkan usaha dan kreativitas masyarakat yang pendistribusiannya
dilakukan dengan birokrasi yang efektif dan efisien serta ditetapkan
dengan undang-undang.
Dalam upaya merespon amanat GBHN tersebut maka disusunlah
Program Pembangunan Nasional Lima Tahun
(PROPENAS), yang kemudian dituangkan dalam UU No.25 Tahun 2000 tentang
Propenas.
Adapun program-program yang
ditetapkan di dalam Propenas, meliputi hal-hal sebagai berikut : (1) Program
penyediaan kebutuhan pokok untuk keluarga miskin, Program ini bertujuan
membantu penyediaan bahan pokok pangan, pelayanan dasar di bidang kesehatan,
pendidikan, dan perumahan bagi keluarga dan kelompok masyarakat miskin secara
merata dan harga yang terjangkau. Sasaran program ini adalah terpenuhinya
kebutuhan pangan bagi keluarga miskin secara terus-menerus dan harga yang
terjangkau, tersedianya pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi keluarga
miskin, dan tersedianya perumahan bagi keluarga miskin. Kegiatan pokok yang
dilakukan adalah: (1) penyediaan dan pencadangan bahan pokok secara
terus-menerus; (2) pengendalian harga bahan pokok; (3) penyediaan pelayanan
dasar terutama kesehatan dan pendidikan; (4) perluasaan jaringan pelayanan
dalam penyediaan kebutuhan pokok; dan (5) perbaikan lingkungan perumahan
termasuk air bersih. (2) Program pengembangan budaya usaha masyarakat
miskin. Program ini dimak-sudkan untuk mengembangkan budaya usaha yang
lebih maju, mengembangkan jiwa kewirausahaan, dan meningkatkan ketrampilan
keluarga dan kelompok miskin untuk melakukan usaha-usaha ekonomi rakyat yang
produktif atas dasar sikap demokratis dan mandiri. Sasaran program ini adalah
terselenggaranya pendidikan dan pelatihan ketrampilan usaha, berkembangnya
perilaku keluarga miskin yang berorientasi pada usaha produktif, dan
terwujudnya usaha produktif yang menguntungkan dan berkelanjutan bagi keluarga
miskin. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah: (1) pengembangan pendidikan dan
latihan ketrampilan usaha; (2) pendampingan melalui bimbingan konsultasi; (3)
penciptaan jaringan kerja sama dan kemitraan usaha yang didukung oleh
organisasi masyarakat setempat, pemerintah daerah, swasta, dan perguruan
tinggi; (4) penyediaan kemudahan akses terhadap sumber daya-sumber daya; (5)
penyediaan prasarana dan sarana usaha bagi keluarga miskin; dan (6) penyediaan
pemukiman transmigrasi baru untuk petani dan buruh tani yang tidak memiliki
lahan pertanian. (3) Di samping itu
dalam PROPENAS juga mengupayakan adanya pembangunan ketenagakerjaan;
pembangunan sistem dana jaminan sosial; dan pengembangan pertanian, pangan, dan
pengairan.
Keputusan
Presiden Nomor 124 Tahun 2001 jo Nomor 8 Tahun 2002 jo Nomor 34 Tahun 2002 tentang Komite
Penanggulangan Kemiskinan.
Sebagai tindak lanjut dari UU No.25 Tahun 2000 tentang
Propenas, lalu dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 jo Nomor
8 Tahun 2002 jo Nomor 34 Tahun 2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan.
Di dalam bagian konsideran Kepres tersebut disebutkan bahwa, dalam rangka
penanggulangan kemiskinan perlu : (a) Disusun kebijakan dan langkah-langkah
koordinasi secara terpadu, lintas pelaku dalam penyiapan perumusan dan
penyelenggaraan kebijakan penanggulangan kemiskinan; (b) Perumusan kebijakan makro
dan mikro sesuai dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dengan
mengikutsertakan forum lintas pelaku yaitu seluruh komponen, baik instansi
pemerintah, organisasi non pemerintah, usaha nasional, organisasi profesi dan
segenap unsur masyarakat.
Adapun yang menjadi sasaran upaya penanggulangan kemiskinan
ini adalah penduduk miskin (Berdasarkan data yang ada, populasi penduduk miskin
di Indonesia sebelum krisis tahun 1996 sekitar 11,34 %, setelah krisis tahun
1998 sekitar 24,23 %, dan diakhir tahun 2000 sekitar 18,95 %)
Komite Penanggulangan
Kemiskinan menggunakan pengertian kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik,
yaitu ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar, baik
makanan maupun bukan makanan. Standar ini disebut garis kemiskinan, yaitu,
nilai pengeluaran konsumsi kebutuhan dasar makanan setara dengan 2100 kalori
energi per kapita per hari, ditambah nilai pengeluaran untuk kebutuhan dasar
bukan makanan yang paling pokok.
Strategi
Penanggulangan Kemiskinan
Strategi penanggulangan kemiskinan adalah pemberdayaan
masyarakat, yaitu upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peran
serta aktif masyarakat itu sendiri dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan hidup,
meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi, serta memperkukuh martabat manusia
dan bangsa.
Strategi di atas diarahkan
untuk menurunkan populasi penduduk miskin dari sekitar 18,95 % (atau sekitar
37,3 juta jiwa) di tahun 2001, menjadi sekitar 14 % (atau sekitar 26,8 juta
jiwa) di akhir tahun 2004.
Program
Komite Penanggulangan Kemiskinan
Program penanggulangan
kemiskinan untuk mempercepat pengurangan junlah penduduk miskin di seluruh
wilayah negara, mencakup: (a) Pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia
yang berkaitan dengan aspek pendidikan, kesehatan, dan perbaikan kebutuhan
dasar tertentu lainnya. (b) Pemberdayaan
dan pengembangan kemampuan manusia yang berkaitan dengan perbaikan aspek
lingkungan, pemukiman, perumahan dan prasarana pendukungnya. (c) Pemberdayaan
dan pengembangan kemampuan manusia yang berkaitan dengan aspek usaha, lapangan
kerja dan lain-lain yang dapat meningkatkan pendapatan.
Kebijakan
Makro Strategis
Kebijakan Makro Strategis
adalah kebijakan makro yang mendukung iklim ekonomi, sosial, dan politik yang
kondusif untuk penanggulangan kemiskinan melalui empat strategi, yakni :
perluasan kesempatan, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas, dan
perlindungan sosial.
Kebijakan
Makro Operasional
Kebijakan makro operasional adalah kebijakan makro untuk
mewujudkan keempat strategi di atas melalui orientasi kebijakan di bidang
ekonomi, sosial, dan politik. Orientasi kebijakan tersebut antara lain meliputi
:
1.
Bidang Ekonomi, hal
ini meliputi : (1) Kebijakan fiskal, yang terdiri dari (i) peningkatan alokasi
fiskal untuk penanggulangan kemiskinan, (ii) penerapan pajak langsung yang
progresif dan subsidi yang berpihak pada penduduk miskin, (iii) peningkatan
pengeluaran transfer regional untuk penanggulangan kemiskinan, dan lain-lain.
(2) Kebijakan moneter, meliputi: (i) pengendalian tingkat inflasi agar tetap
rendah, (ii) peningkatan akses kredit dengan bunga terjangkau, (iii) mendorong
perbankan/lembaga keuangan untuk pembiayaan usaha mikro, dan lain-lain. (3)
Kebijakan investasi, meliputi pemberian insentif untuk pelaku-pelaku ekonomi di
daerah-daerah miskin. (4) Kebijakan industri dan perdagangan, meliputi: (i)
kelancaran aliran barang, jasa, dan manusia antar daerah, dan antar pulau, (
ii) pemberian proteksi bagi perdagangan hasil pertanian, dan lain-lain. (5) Kebijakan tenaga kerja, meliputi : (i)
penetapan upah minimum propinsi yang realistis, (ii) jaminan perlindungan bagi
tenaga kerja informal, dan lain-lain. (6) Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam
yang diarahkan untuk menjamin peningkatan nilai tambah bagi masyarakat dan daerah
miskin, meliputi: (i) percepatan sertifikasi lahan, (ii) reformasi agraria,
(iii) konversi lahan kritis, (iv) PBB yang progresif, (v) penegakkan hukum
RUTR, dan lain-lain. (7) Kebijakan pengadaan pangan dari sisi input, proses,
maupun outputnya diarahkan agar tidak
merugikan kelompok masyarakat miskin. (8) Kebijakan pembangunan infrastruktur
yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat miskin.
2.
Bidang Sosial, meliputi: (1)
Kebijakan perlindungan sosial, diarahkan untuk: (i) peningkatan
pelayanan publik formal melalui pemberian subsidi langsung, asuransi sosial dan
bantuan sosial, dan (ii) pengembangan sistem perlindungan sosial bagi
masyarakat miskin yang berbasis pada masyarakat. (2) Kebijakan pengembangan sumberdaya manusia,
meliputi : (i) peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan kesehatan, (ii)
pemantapan organisasi dan kelembagaan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain.
(3) Kebijakan pemberdayaan perempuan, diarahkan untuk mengurangi kesenjangan
dalam pencapaian kualitas kehidupan antara pria dan wanita dalam pembangunan,
yaitu dengan memperhatikan wanita sebagai kelompok tertinggal dibandingkan
pria.
3.
Bidang Politik :
dengan alternatif kebijakan ini meliputi: (1) Peningkatan praktek
pemerintahan yang baik dari pusat sampai daerah dalam penanggulangan
kemiskinan. (2) Peningkatan kapasitas lembaga dan organisasi masyarakat lokal
dalam pengembangan demokrasi, partisipasi, dan resolusi konflik dalam rangka
pemantapan ketahanan sosial masyarakat. (3) Penegakan hukum yang adil.
Kebijakan
Mikro Strategis (Program) dan Mikro Operasional ( Proyek )
Kebijakan mikro strategis
adalah kebijakan yang mendukung pengembangan program atau regulasi
penanggulangan kemiskinan melalui empat strategi di atas. Pengembangan program
atau regulasi tersebut harus konsisten dengan kebijakan-kebijakan dalam bidang
ekonomi, sosial dan politik pada tingkat makro operasional. Kebijakan mikro
operasional adalah kebijakan yang mengarahkan pengembangan program atau
regulasi pada tingkat kegiatan/proyek yang berkaitan langsung dengan masyarakat
miskin. Pada tingkat kebijakan ini diantaranya akan menitikberatkan pada cara
penyampaian dan penentuan kelompok sasaran secara tepat dan akurat.
Kebijakan
pada Tingkat Lokal
Sebagai pelaksanaan lebih
lanjut dari kebijakan tingkat nasional tersebut, khususnya yang tertuang di
dalam Surat Menteri Dalam Negeri No. 412.6/1710.A/PMD, tanggal 15 Desember 2003
perihal pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan. Khusus di Provinsi Jawa
Tengah, hal ini terlihat di dalam produkproduk hukum berikut ini.
Keputusan
Gubernur Jawa Tengah Nomor 460/297/2002 Tentang Pembentukan Komite
Penanggulangan Kemiskinan
Di dalam SK Gubernur tersebut ditetapkan bahwa, Komite ini
bertugas membantu Gubernur Jawa Tengah dalam mengkoordinasikan keterpaduan
program penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah melalui: (1) Penyiapan data tentang keluarga miskin
sesuai dengan kondisi dan persepsi lokal daerah masing-masing; (2) Pelaksanaan koordinasi vertikal dan
horizontal dengan instansi terkait; (3) Fasilitasi penajaman penggunaan dana
pemerintah serta sumber dana lainnya untuk penanggulangan kemiskinan; (4)
Perumusan penetapan kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan di Jawa
Tengah
Di dalam melaksanakan tugasnya, ketua komite melaporkan
secara periodik 1 (satu) tahun sekali
atau sewaktu-waktu dipandang perlu kepada Gubernur Jawa Tengah. dan guna
melancarkan pelaksanaan tugas komite, ketua dapat membentuk sekretariat dan
kelompok kerja, yang susunan keanggotanya terdiri dari isntansi/unusr dinas
terkait sesuai kebutuhan.
Segala biaya yang timbul
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan ini dibebankan pada : (1) Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
propinsi Jawa Tengah yang dialokasikan pada Badan Pemberdayaan
Masyarakat Propinsi Jawa Tengah; (2) anggaran instansi terkait.
Keputusan
Gubernur Jawa Tengah Nomor 460/9/2002 Tentang
Pembentukan
Sekretariat Komite Penanggulangan Kemiskinan
Di dalam SK Gubernur tersebut
ditetapkan bahwa, Komite ini bertugas membantu pelaksanaan tugas harian Komite
Penanggulangan Kemiskinan Segala biaya yang timbul sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), propinsi Jawa Tengah yang
dialokasikan pada Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Jawa Tengah
Selanjutnya di dalam lapiran SK Gubernur tersebut, ditetapkan susunan
keanggotaan Sekretariat Komite Penanggulangan Kemiskinan propinsi Jawa Tengah,
yang seluruhnya terdiri dari pejabat-pejabat dari isntansi pemerintah, yang
dibagi menjadi 4 (empat) kelompok kerja, yaitu : (a) kelompok kerja
pengembangan program; (b) kelompok kerja pengembangan SDM; (c) kelompok kerja
Pembangunan Ekonomi; (d) kelompok kerja Pembangunan Sarana/Prasarana; (e)
kelompok kerja Evaluasi dan pelaporan
Peran
Hukum sebagai Instrumen Kebijakan Nasional dalam Penanggulangan Kemiskinan
Pendekatan
yang digunakan
Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 jo Nomor 8 Tahun
2002 jo Nomor 34 Tahun 2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan,
mendasarkan pada beberapa bentuk pendekatan, yang menjiwai keseluruhan substansi
peraturan tersebut. Pendekatanpendekatan tersebut adalah :
Pertama, di dalam bagian konsidrean Keppres tersebut
diungkapkan bahwa : “... upaya untuk melakukan penanggulangan kemiskinan secara
Terpadu, perlu perumusan kebijakan makro dan mikro dengan mengikutsertakan
forum lintaspelaku yaitu seluruh komponen, baik instansi pemerintah, organisasi
non pemerintah ( ORNOP), usaha nasional, organisasi professional, dan segenap
unsur masyarakat”. Hal ini kemudian
dipertegas di dalam Pasal 2 yang menetapkan : “Komite Penanggulangan Kemiskinan
merupakan forum lintaspelaku baik ditingkat Pusat maupun di Tingkat daerah ...”
Rumusan diatas
menunjukan bahwa pemerintah menganggap penting adanya partisipasi dari para
pihak ( stakeholders) di luar unsur-unsur di luar pemerintah untuk
melakukan penanggulangan kemiskinan, mulai dari proses penyusunan program,
pelaksanaan sampai pengawasan. Pengakuan tersebut, bagaimanapun menunjukan
pentingnya nilai partisipasi di dalam tata penyelenggaraan pemerintahan.
Hanya saja pendekatan yang bersifat multistakeholders tidaklah menunjukan arti partisipasi yang
sesungguhnya. Hal ini terutama
disebabkan, pihak-pihak yang dilibatkan di dalam proses tersebut, ternyata
hanyalah terbatas pada tokoh-tokoh masyarakat ataupun tokoh-tokoh/ketua dari
lembaga-lembaga kemasyarakat yang ada, yang tidak selalu dapat menjamin bahwa
mereka benar-benar dapat menyuarakan aspirasi, pendapat, keinginan dan
kepentingan masyarakat miskin, karena merekapun pada dasarnya samasama tidak
mengetahui bagaimana kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat miskin
tersebut.
Proses penanggulangan kemiskinan tersebut baru dapat
dikatakan mengakomodasi nilai dasar partisipasi, apabila di dalamnya terdapat
sebuah ruang bagi orang-orang miskin untuk duduk dan berbicara, secara
bersama-sama untuk mengatasi persoalan yang secara riil mereka hadapi. Dengan
perkataan lain kaum miskin harus memperoleh tempat untuk mengambil keputusan
bagi dirinya sendiri, apalagi untuk sebuah kepentingan yang berpengaruh
langsung terhadap mereka. Hal inilah yang tidak terdapat di dalam Keputusan
Presiden Nomor 124 Tahun 2001 jo Nomor 8 Tahun 2002 jo Nomor 34 Tahun 2002,
sehingga menimbulkan dugaan, pemunculan pendekatan lintas pelaku tersebut
hanyalah merupakan suatu bentuk penghalusan
dari suatu proses yang sesungguhnya
tetap di dominasi oleh pemerintah.
Dengan demikian adanya unsur-unsur lintas pelaku sebagaimana
ditetapkan di dalam Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 jo Nomor 8 Tahun 2002 jo Nomor 34 Tahun 2002,
tidaklah memberikan arti yang signifikan di dalam proses penanggulangan
kemiskinan yang akan dilakukan.
Kedua, munculnya Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 jo
Nomor 8 Tahun 2002 jo Nomor 34 Tahun 2002, dilatarbelakangi oleh suatu
tuntutan, agar pemerintah mampu untuk mengintegrasikan kebijakan makro ekonomi
dangan penanggulangan kemiskinan.
Di dalam Pasal 5 disebutkan bahwa, “Komite Penanggulangan Kemiskinan menyelenggarakan fungsi,
merumuskan kebijakan dan program Penanggulangan Kemiskinan dan Panduan Umum
yang diperlukan bagi pelaksanaannya di daerah.
Mandat untuk merumuskan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan tersebut, kemudian dituangkan di dalam penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Poverty Reduction Strategy Paper/PRSP), yang sebelumnya didahului oleh pembuatan Interim-Strategi Penanggulangan Kemiskinan (InterimPoverty Reduction Strategy Paper/I-PRSP), yang pembuatananya diserahkan kepada Tim Koordinasi Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan (TKP3KPK).
Di dalam I-PRSP yang mencantumkan upaya-upaya yang harus
dilakukan dalam penanggulangan kemiskinan, yaitu upaya pengarusutamaan terhadap
kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam rangka mensinkronkan antara
kebijakankebijakan makro-mikro dan strategis-operasionalnya, pada dasarnya
mengakui adanya kelemahan-kelemahan dari penanggulangan kemiskinan pada masal
lalu, yang perlu dikoreksi secara mendasar, namun yang terungkap dari
rekomendasi yang terdapat di dalam I-PRSP, justru menunjukan ketiadaan sandaran
pada kesadaran awal tersebut. Dokumen I-PRSP ternyata masih memegang teguh
keyakinan politik lama tentang hebatnya ideologi pembangunan dengan perangkat
pendukungnya.
Dalam hal
ini argumentasi yang dipasang adalah “
... untuk menanggulangi kemiskinan tidak bisa lepas dari adanya tuntutan adanya
stabilitas di bidang ekonomi, sosial dan politik. Stabilitas di semua nidang tersebut merupakan
necessary conditions untuk
menciptakan iklim makro yang kondusif bagi upaya penanggulangan
kemiskinan. Selanjutnya diperlukan
pemerataan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan”. Selanjutnya dijelaskan pula melalui “catatan
kaki“ bahwa “... kegagalan dalam
penanggulangan kemiskinan secara ekonomi akan mengancam keberlanjutan
pembangunan, dari sisi sosial dapat menjadi sumber kerawanan sosial, dan dari
sisi politik dapat diamnfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk
kepentingan politiknya” Jelas dalam argumen tersebut, pemerintah tetap ingin
bertahan dalam memposisikan dirinya sebagai pengendali utama untuk gagasan
maupun kerja penanggulangan kemiskinan, serta bermaksud untuk mempertahankan
sistem perekonomian yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Di dalam dokumen I-PRSP disebutkan bahwa penanggulangan
kemiskinan didekati melalui dua sisis, yaitu:
1) Pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin dalam mengakses
kebutuhan dasar seperti : pendidikan, kesehatan dan infrastruktur yang
mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi; 2) Peningkatan produktivitas
masyarakat miskin, yang mana masyarakat miskin memperoleh peluang kemampuan
pengelolaan dan perlindungan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam
berbagai kegiatan ekonomi, sosial, budaya maupun politik.
Untuk mencapai upaya tersebut di atas, maka diupayakan
penajaman pelaksanaan 4 (empat) pilar kebijakan, yaitu: 1) Penciptaan
kesempatan yang berkaitan dengan sasaran pemulihan ekonomi makro, perwujudan
kepemerintahan yang baik, dan peningkatan pelayanan umum; 2) Pemberdayaan masyarakat yang berkaitan
dengan sasaran penyediaan akses masyarakat miskin ke sumberdaya ekonomi dan
keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan; 3) Peningkatan kemampuan
yang berkaitan dengan sasaran peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan,
pangan, perumahan agar masyarakat makin produktif dan; 4) Perlindungan sosial
yang berkaitan dengan sasaran pemberian jaminan kehidupan bagi masyarakat yang
mengalami kecacatan, fakir miskin, keterisolasian, konflik sosial, kehilangan
pekerjaan sehingga berpotensi menjadi miskin.
Adanya startegi dan penajaman pelaksanaan 4 (empat) pilar
kebijakan, sebagaimana terumus dalam I-PRSP tersebut mengandung bebrapa
persoalan, yaitu: 1) Dokumen I-PRSP
seharusnya “hanya” berfungsi untuk mengarahkan bagaimana seharusnya “strategi
penanggulangan kemiskinan di Indonesia” dibangun. Dokumen I-PRSP seharusnya
tidaklah berisi strategi itu sendiri, karena strategi itu seharusnya dibangun
dengan melibatkan pihakpihak yang berkepntingan, terutama kaum miskin, di dalam
penyusunannya. Namun yang terjadi justru Dokumen I-PRSP sudah berisi arahan
strategi penanggulangan kemiskinan. 2) Hal di atas selanjutnya akan berpengaruh
di dalam proses penyusunan PRSP-nya, dimana kerjanya akan didominasi oleh peran
kelompok kerja yang akan mengurai lebih lanjut 4 pilar kebijakan dan melemahkan
atau meniadakan peran penting pelaksanaan participatory
Provety Assesment, yang sesungguhnya merupakan “pintu masuk” bagi
keterlibatan kelompok miskin dalam proses pengambilan keputusan.
Model pembuatan kebejakan yang
demikian, memperlihatkan bahwa kerja-kerja untuk menanggulangi kemiskinan masih
bersifat elitis, dan mengabaikan peran aktif kaum miskin. Hal ini pun mengindikasikan bahwa cara kerja
yang demikian menunjukan pada peneguhan pendekatan yang memposisikan kaum
miskin sebagai objek kebijakan, yang didasari pada ideologi charity. Hal lain yang perlu
diungkapkan, bahwa latar belakang dari pembentukan Komite Penanggulangan
Kemiskinan yang diamanahi untuk menyusun Dokumen I-PRSP dan PRSP, pada dasarnya
tidak dapat dilepaskan dari skenario baru IMF dan Bank Dunia dalam menangani
masalah kemiskinan di dunia.
Penutup
Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana
terurai di atas disimpulkan bahwa hukum memiliki peran yang sangat penting
dalam proses perubahan, artinya, hukum dapat dijadikan instrumen signifikan
bagi kebijakan nasional, khususnya tentang
penanggulangan kemiskinan.
Penegakan hukum tidak akan
dapat berjalan dengan baik apabila peraturan perundangan-undangan yang terkait
dengan persoalan yang ditanganinya, secara substansial tidak memadahi. Dalam
konteks yang demikian, maka upaya-upaya untuk melakukan perbaikan terhadap
substansi dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah
penanggulangan kemiskinan di Indonesia pada era otonomi daerah ini menjadi
layak untuk dilakukan, bila keinginan untuk mengentaskan keimiskinan,
benar-benar ingin diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
James E., 1979, Public Policy Making, New York, Praeger Publishers.
Buku Pedoman Komite Penanggulangan Kemiskinan, Cet. Ke-V, Jakarta,
KPK-RI, 2002
Dye, R.
Thomas, 1978, Understanding Public
Policy, Englewood Cliffs Inc, New Yersey, Prentice Hall.
Jones,
Charles O , 1977, An Introduction to Study of Public Policy, Massachustts, Duxbury
Press.
Kelsen,
Hans, 1973, General Theory of Law and State, terjemahan Anders Wedberg, New
York, Russell & Russell.
Sidharta, Bernard Arief, 1994, “Teori Murni Tentang Hukum”, dalam Lili
Rasjidi dan Arief Sidharta, Filsafat
Hukum: Mazhab dan Refleksinya, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Sigler, Jay.A. dan Benyamin.R. Beede, 1977, The Legal Sources of Public Policy..
Belmont. California, D.C Heath and Company.
Tjokroamidjojo,
Bintoro, 1991, Pengantar Administrasi
Pembangunan, Jakarta, LP3ES.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar