Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap
pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku - buku yang
khusus untuk soal - soal kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campuran berbagai
persoalan filsafat.
Memang tidak sukar untuk mencari unsur - unsur pikiran yang
membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran - piiran Aristoteles,
Galius atau Plotinus, terutama pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak
dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu
Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran - pikiran yang
sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan
metafisika.
Dalam segi fisika, ia banyak
memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan
lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan
yang menyebabkan dia mendekati pendapat - pendapat filosof modern[16].
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat
diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai
akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas
Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot[17].
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah
falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham
pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal
kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh
dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang
berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh
adalah Jibril.
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum
mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang
mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping
Tuhan, itu mngandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak
tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari
Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu
adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang
sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar
yang seakan – akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada
paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung
pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada;
bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke
peniadaan sifat – sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari
wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke
faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi
berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan
berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka
dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat
faham tauhid tidak murni lagi[18].
Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui
emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi
ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan
prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya
Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa
ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada[19]. Berfikirnya Allah
tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang
diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar
sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya[20]
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat
: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya
jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary
being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek
pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin
wujudnya[21]
Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai
wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai
mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain
dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya
dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
1.
Segi fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya
jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan -
kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain - lain dan pembahasan lain yang biasa
termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
2.
Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan
hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa[22].
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
1 . Jiwa tumbuh -
tumbuhan dengan daya - daya :
-
Makan (nutrition )
-
Tumbuh (growth )
-
Berkembang biak (reproduction )
2 . Jiwa binatang
dengan daya - daya :
-
Gerak (locomotion )
-
Menangkap (perception) dengan dua bagian :
- Menagkap dari luar dengan panca indera
- Menangkap dari dalam dengan indera - indera dalam.
-
Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap
oleh panca indera
-
Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima
oleh indera bersama
-
Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam
representasi
-
Estimasi yang dapat menangkap hal - hal abstraks yang
terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing
serigala.
-
Rekoleksi yang menyimpan hal - hal abstrak yang
diterima oleh estimasi.
3 . Jiwa
manusiadengan daya - daya :
- Praktis yang
hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal
abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
a.
Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi
untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b.
Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk
berfikir tentang hal - hal abstrak.
c.
Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal -
hal abstrak.
d.
Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir
tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya[23].
Sifat
seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan,
binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat
menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas
dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan
kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang
tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan
tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir
didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik,
dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai
daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan
wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir[24].
Sedangkan menurut al-Ghazali di dalam buku – buku
filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang
tetap tidak berubah – ubah yaitu al-Nafs atau jiwanya[25]. Adapun yang dimaksud
tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”.
Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan – pengetahuan intelektual
(al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr. Hal ini
menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya.
Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah
sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada
fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa
manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan
substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak
dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism) dan substansi
yang kedua disebut jiwa (al-nafs).[26]
Jiwa (al-Nafs) memiliki daya – daya sebagai derivatnya dan
atas dasar tingkatan daya – daya tersebut, pada diri manusia terdapat tiga jiwa
(al-nufus al-tsalatsah) :
Pertama jiwa tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah) merupakan tingkatan
jiwa yang paling rendah dan memiliki tiga daya 1) daya nutrisi (al-ghadiya), 2)
daya tumbuh (al-munmiyah) dan 3) daya reproduksi (al-muwallidah), dengan daya
ini manusia dapat berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak sebagaimana
tumbuh – tumbuhan.
Kedua, jiwa hewani/sensitive (al-nafs al-hayawaniyah) yang
memiliki dua daya 1) daya penggerak
(al-mukharikah) dan 2) daya persepsi (al-mudrikah). Pada penggerakn
(almukharikah) terdapat dua daya lagi yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah) dan
2) daya berbuat (al-fa’ilah). Hubungan antara daya pertama dengan daya kedua
sebagaimana hubungan daya potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat potensial
sebelum mencapai aktualisasinya. Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua
merupakan kemampuan. Karena itu al-Ghazali menyebut yang pertama iradah dan
yang kedua qudrah.
Ketiga, jiwa rasional (al-nafs al-natiqah). Mempunyai dua
daya !) daya praktis (al-‘amilah) dan 20 daya teoritis (al-alimah). Yang
pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya – daya jiwa sensitive /
hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teorities.
Yang dimaksud akal teoritis adalah al-‘alimah, sebab jiwa rasional disebut juga
al ‘aql. Al-‘alimah disebut juga akal praktis. Akal praktis merupakan saluran
yang menyampaikan gagasan akal teoritis kepada daya penggerak[27].
Al-Ghazali didalam Tahafut al-Falasifah menyangkal 20 buah
kesalahan para filosof muslim beserta pendahulu – pendahulu mereka yang
berpaham teistik di Yunani. Para filosof yang disangkal oleh al-Ghazali ini
terbagi kedalam tiga kelompok[28] :
1.
Filosof – filosof materialistik (dahriyyun )
Mereka adalah ateis – ateis yang menyangkal adanya Allah dan
merumuskan kekekalan alam dan terciptanya alam dengan sendirinya.
2.
Filosof – filosof naturalis atau desitik (thabi’iyyun
).
Mereka melaksanakan berbagai riset di dalam alam semesta dan
segala sesuatu yang menakjubkan di dalam dunia binatang dan tumbuh – tumbuhan.
Melalui riset-riset itu mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban – keajaiban
di dalam ciptaan Allah dan mereka
menemukan kebijaksanaan-Nya sehingga akhirnya mereka mau tak mau mengakui
adanya satu pencipta yang Maha Bijaksana. Walaupun demikian mereka tetap
menyangkal adanya hari pengadilan, kebangkitan kembali dan kehidupan akhirat.
Mereka tidak mengenal pahala dan dosa, karenanya mereka memuaskan nafsu – nafsu
mereka seperti binatang.
3.
Filosof – filosof teis (ilahiyyun ).
Mereka adalah filosoh – filosof Yunani seperti Socrates,
Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah mengkritik filosof – fiosof teis
sebelumnya, termasuk Socrates dan Plato. Walaupun begitu, menurut al-Ghazali,
Aristoteles masih mempertahankan sisa – sisa kekafiran dan kebid’ahan
mereka yang tak berhasil dilepaskannya.
Filsafat Aristoteles seperti yang disebarluaskan oleh
penerjemah – penerjemah dan komentator – komentator karyanya (pengikutnya)
khususnya al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi ke dalam 3 kelompok:
a.
Filsafat – filsafatnya yang harus dipandang kufur.
b.
Filsafat – filsafatnya yang menurut Islam adalah
bid’ah.
c.
Filsafat – filsafatnya yang sama sekali tak perlu
disangkal.
Tiga masalah yang menyebabkan kufur tersebut adalah :
Pertama, bahwa Allah hanya mengetahui hal – hal yang besar –
besar dan tidak mengetahui hal – hal yang kecil - kecil[29].
Kedua, bahwa alam
ini azali atau kekal, tanpa permulaan[30].
Ketiga, bahwa di
akhirat kelak yang dihimpun adalah ruh manusia bukan jasadnya[31]
Ada empat dalil yang
dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu
:
1.
Dalil alam - kejiwaan (natural psikologi ).
2.
Dalil Aku dan kesatuan gejala - gejala kejiwaan.
3.
Dalil kelangsungan (kontinuitas ).
4.
Dalil orang terbang atau orang tergantung di udara [32]
Dalil – dalil tersebut apabila diuraikan satu persatu adalah
sebagai berikut :
1 . Dalil Alam
Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang
tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa –
peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan). Gerak ada
dua macam yaitu :
1)
Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai
akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian
menggerakkannya.
2)
Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua
yaitu :
a.
Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti
jatuhnya batu dari atas ke bawah.
b.
Gerak yang
terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di
bumi, sedang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung
yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di
atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki
adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak.
Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk,
tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini
menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya.
Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku
De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua – duanya dari Aristoteles.
Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan –
kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan.
Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda – benda tersebut
hanya terdiri dari unsur – unsur yang satu maca, sedang benda – benda tersebut
sebenarnya berbeda susunannya (unsur – unsurnya). Oleh karena itu maka tidak
ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda – benda yang bergerakmelawan
ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur –
unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat – alat (mesin )
yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang
pun tidak mengira bahwa alat – alat (mesin – mesin) terseut berisi jiwa atau
kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama – ulama
biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis
dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).
Nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil
tersebut. Oleh karena itu dalam kitab – kitab yang dikarang pada masa
kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan alIsyarat, dalil tersebut disebutkan
sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas
segi – sehi pikiran dan jiwa, yang merupakan genitalianya Ibnu sina.[33]
2. Dalil
Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan
tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan
ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau
saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi
hakikat kita dan seluruh pribadi kita.[34]
3. Dalil
Kelangsungan (kontinuitas ).
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi
juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada
hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus
oleh tidur kita, bahkan juga ada hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi
beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami
perubahan, maka gerakan – gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama
lain dan berangkai – rangkai pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi
karena peristiwa – peristiwa jiwa merupakan limphan dari sumber yang satu dan
beredar sekitar titik tarik yang tetap.
Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka
ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan
pembahasannya yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad,
karena pendapatnya tersebut dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati
tokoh – tokoh pikir masa sekarang.[35]
4. Dalil
Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang
paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan
atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk
memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada
seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian
ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di
sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga
ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan
anggota – anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling
bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak
akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan
wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran
sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang
tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi).
Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang
wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya,
melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.
Dalil Ibnu Sina tersebut
seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa
pengenalan yang berbeda – beda mengharuskan adanya perkara – perkara yang
berbeda – beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari segala sesuatu,
kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau
kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya perantara (tidak
langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui dengan langsung, yaitu
jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun sebentar saja,
karena pekerjaan – pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar