ads head

Advertisement

Sabtu, 13 Januari 2018

Makalah Agama: Islam dan Demokrasi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
    Mendiskusikan pandangan Islam dengan demokrasi pada dasarnya memiliki banyak pemikiran dari para pakar demokrasi Islam. Demokrasi merupakan bagian dari ruang lingkup Islam, karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia. Permasalahan demokrasi dengan Islam ini berakar pada sebuah “ketegangan teologis” antara rasa keharusan memahami doktrin yang telah mapan oleh sejarah-sejarah dinasti muslim dengan tuntan untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut sebagai respons atas fenomena sosial yang telah berubah.
    Hubungan antara Islam dan demokrasi merupakan hubungan yang memiliki banyak kaitan dengan banyak kajian. Sebab, dunia Islam tidak hidup dalam keseragaman ideologis sehingga terdapat banyak pemikiran terkait hubungan antara Islam dan demokrasi ini. Ada sebagian orang atau organisasi yang melahirkan sikap otoriter dan seakan-akan dialah yang paling tahu akan demokrasi menurut pandangan Islam dari firman Allah yang berada dalam Al Qur’an.
     Meskipun Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial (Khaled Abou El Fadl, 2004).
    Dari uraian diatas penulis melihat bahwa demokrasi dalam Islam tidak semudah yang penulis pikirkan. Selain itu memahami pandang bagaimana demokrasi dalam Islam juga merupakan hal yang penting karena Islam merupakan agama yang selalu menuntun kita kepada kebaikan yang hakiki. Alasan-alasan itulah yang melatar belakangi penulis mengkaji demokrasi dan Islam.

1.2 Tujuan
    1.2.1 Untuk mengetahui dasar demokrasi dalam Islam.
    1.2.2 Untuk memahami prinsip nilai demokrasi.
    1.2.3 Untuk mengetahui contoh praktek demokrasi dalam Islam.
    1.2.4 Untuk memahami pertentangan antara demokrasi dan Islam.
    1.2.5 Untuk mengetahui cara menghadapi perbedaan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Dasar Demokrasi
Kitab suci menjadi variabel mutlak dalam hasil pemikiran politik Islam. Dalam hal ini, semua daya upaya ulama dan pemikiran tetap bertumpu pada dasar ajaran, yakni kitab suci, di samping dasar kedua, yakni Sunah Rasul atau hadist. Untuk hadist, tingkatnya tidak semutlak ini, pemikiran politik Islam pada akhirnya harus dipahami, bahwa di satu segi aalah hasil pemikiran umatnya dengan tingkat kebenarannya, sebagaimana kebenaran ilmu sosial umumnya, berada pada proporsinya, yakni kebenaran relatif. Namun di segi lain, pemikiran politik Islam juga mengandung dimensi-dimensi non manusia, merupakan doktrin agama yang dalam kita suci berstatus mutlak (Zamharir, 2004).

2.2 Prinsip Nilai Demokrasi
    Salah satu cara untuk memahami pemikiran politik dalam tradisi Islam adalah pada periodisasi awal, sebuah warisan yang kemudian dikenal dengan warisan “Generasi Salaf”, yakni generasi Nabi Muhammad Saw dengan para sahabat dan tiga generasi sesudahnya. Generasi tersebut juga sering disebut Muslim Awal. Dalam kehidupan politik, warisan dimaksud adalah praktik politik dan ide, yang biasanya ada di sekitar nabi dan empat sahabat (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) serta generasi sesudahnya.Warisan kehidupan politik saat itu “murni” sejarah dan praktik politik nabi dan empat khalifah. Dalam hal ini apa yang diwariskan merupakan praktik politik, atau kebijakan politik serta “pemikiran politk” yang tidak dirumuskan secara koheren (Zamharir, 2004).

2.3 Contoh Praktek Demokrasi dalam Islam
Kita bisa mengambil contoh dari keterangan Muhammad Yusuf Faruqi (1996) . Pemilihan atas dasar berpikir rasional, yang dalam Islam prosedurnya antara lain, analog atau qiyas. Dengan prinsip berpikir ini, Abu Bakar dipilih karena analog sebagai imam (pemimpin) dalam shalat jika rasul berhalangan. Di sini ada dua tahap “sumpah setia” (baiat), yakni tahap elit (baiat khusus) dan tahap massa (baiat ‘ammah). “Pemikiran” yang menyertai hal ini adalah kritertia bahwa kepala negara itu berasal dari klan yang reputasunya bagus dan terhormat demi “integrasi bangsa dan negara” (thus the unity of the ummah could be preserved). Abu Bakar misalnya, ia dipilih karena berasal dari klan terhormat, Quraisy. Namun demikian, hal itu hanyalah contoh kontekstual yang sesuai dengan zamannya. Karenanya, sangat diherankan bila di kemudian hari masih mempertimbangkan bahwa khalifah harus dari Quraisy. Padahal besaran kehidupan berdemokrasi dalam Islam sudah meliputi seluruh bumi.

Dalam kasus diangkatnya Umar bin Khattab,proses syura pertama, dengan penunjukan. Penunjukan ini bersamaan dengan proses konsultasi kepada dua elit utama. Satu elit menyangsikan ditunjuknya Umar bin Khattab karena watak-nya keras. Abu bakar, sebaliknya merasa lebih tahu bahwa Umar juga berhati lembut. Dari kasus kebijakan politik Abu Bakar yang keras, Umar malah lembut. Debat elit ini dirahasiakan supaya massa tidak tahu isi diskusi elit itu (not to tell the others, what was discussed with them). Tahap kedua, musyawarah konsultatif kepada elit yang diperluas yakni enam orang termasuk Ali bin Abi Thalib. Tahap ketiga, dibacakan pengangkatan Umar sebagai pengganti khalifah Abu Bakar. Tahap keempat, sidang di Masjid Nabawi, di mana setelah dibacakan, Abu Bakar bertanya apakah umat setuju. Massa setuju dan melakukan baiat.
Ilustrasi tadi juga tidak kalah penting dengan ilustrasi praktek Nabi Muhammad Saw. dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin negara, dengan salah satu karya monumentalnya, yakni traktat perjanjian atau konstitusi yang mengatur warga negara di negara-kota Madinah pada abad keenam Masehi. Traktat perjanjian ini disebeut dustur madinah, mitsaq madinah. Konstitusi itu ditulis Muhammad Saw. dan disetujui oleh kelompok-kelompok masyarakat (Nasrani, Muslim dan Yahudi). Piagam ini memuat begitu luas informasi tentang kajian-kajian modern (Zamharir, 2004).

2.4 Pertentangan antara Demokrasi dan Islam
    Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial (Khaled Abou El Fadl, 2004).
    Masyhuri Abdillah (2005), juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an tidak dapat ditemukan konsep negara, karena konsep negara adalah buah pemikiran yang muncul belakangan. Bahkan kata Daulah Islamiyah sendiri adalah kata baru yang muncul di abad ke-20. Istilah daulah baru dipakai sejak masa Dinasti Mu`awiyah dan Abbasiyyah, yang dipakai dalam arti dinasti. Meskipun demikian, ia juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an terdapat prinsip-prinsip hidup berkemasyarakatan yang di antaranya kejujuran dan tanggung jawab, keadilan, persaudaraan, pluralisme, persamaan, musyawarah, mendahulukan perdamaian, dan kontrol.
    Secara prinsipiil hal ini sejalan dengan doktrin politik dari konsep demokrasi. John L. Esposito dan James P. Piscatori (dalam Riza Sihbudi, 1993), mengatakan bahwa Islam pada kenyataannya memberikan kemungkinan pada bermacam interpretasi, Islam bisa digunakan untuk mendukung demokrasi maupun kediktatoran, republikanisme maupun monarki. Pernyataan Esposito dan Piscatori ini dapat mengidentifikasikan tiga pemikiran mengenai hubungan Islam dengan demokrasi.
    Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi karena konsep syura`, ijtihad, dan ijma` merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Kedua, menolak bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi. Dalam pandangan ini, kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara Muslim dan non-Muslim serta antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality demokrasi. Ketiga, sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi, meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan, perlu di akui bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum Tuhan. Terma ini dikenal dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-Maududi.
    Selain itu, secara garis besar wacana Islam dan demokrasi terdapat tiga kelompok pemikiran (Ubaidillah Abdul Razak, 2006); pertama, pandangan yang menyatakan jika Islam dan demokrasi adalah dua sistem yang berbeda. Kelompok ini memandang jika Islam sebagai sistem alternatif demokrasi sehingga demokrasi sebagai konsep Barat tidak dapat dijadikan acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendeknya, demokrasi menurut kelompok ini merupakan sistem kafir karena telah meletakkan kedaulatan negara di tangan rakyat bukan Tuhan, dan mereka memandang sebagian besar dari aktivitas demokrasi tertolak secara syar`i dan memandang bahwa prinsip pemilu secara jelas melanggar asas wakalah (perwakilan) yaitu materi yang diwakilkan didasarkan atas asas demokrasi adalah batil; Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi. Kelompok ini menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tapi tetap mengakui adanya perbedaan antar Islam dan demokrasi kalau demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang dipahami dan dipraktekkan oleh negara Barat. Akan tetapi jika demokrasi dimaknai secara substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat, maka Islam merupakan sistem politik yang demokratis; ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan serta mendukung demokrasi. kelompok ini berpendapat bahwa Islam merupakan sistem nilai yang membenarkan demokrasi dan substansi demokrasi sesungguhnya berasal dari ajaran Islam. Tiga pandangan di atas merupakan akumulasi yang berangkat dari kriteria umat Islam dan demokrasi sehingga ketiga pandangan tadi tidak berjalan beriringan, tetapi berlawanan.
    Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam. Seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Sebagai contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad para ulama. Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang pindah agama dari Islam. Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits: “Man baddala dinahu faqtuluhu” mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka tidak mau maka dia boleh dibunuh atau diperangi. Dalam sistem demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, sebab membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
    Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antar warga Negara. Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam Al-Qur`an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya tentang poligami. (QS. An-nisa’ 33) tentang hukum waris (QS. An-nisa’ 11) tentang kesaksian (QS. Al-Baqarah 282). Di samping itu, demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam maksiat sekalipun. Seperti pacaran dan perzinaan, kalau di antara laki-laki dan perempuan (bukan suami istri) melakukan hubungan persetubuhan suka sama suka itu tidak jadi masalah atau dengan kata lain dibolehkan. Sedangkan dalam Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-Qur’an. Demikian juga dalam Islam dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hal ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi menjunjung nilai persamaan.
    Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya demokrasi kompatibel dengan ajaran Islam. Dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif sering kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam Al-Qur`an, As-sunnah dan ijtihad para ulama. Dalam pada itu, menurut hemat, umat Islam saat ini tidak seharusnya berada dalam ruang pertentangan hubungan Islam dengan demokrasi, akan tetapi, yang lebih penting (urgent) untuk dilakukan umat Islam dalam pelaksanaan demokrasi dengan mengacu kepada ajaran kemaslahatan, keadilan, ijtihad (kemerdekaan berpikir), toleransi, kebebasan, persamaan, kejujuran serta tanggung jawab dan sebagainya. Untuk melihat hubungan Islam dengan demokrasi, setidaknya harus di lihat dari sisi sistem, dasar-dasar politik dan nilainya. Akan tetapi, jika demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang dipahami dan dipraktekkan di negara-negara Barat, maka demokrasi akan bertentangan (tidak sejalan) dengan ajaran Islam (Alumni Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta., 2016).

2.5 Cara Menghadapi Perbedaan
    Cara terbaik untuk menghadapi para penganut kepercayan lain adalah dengan menyatakan bahwa seperti dinyatakan dalam Al Qur’an bahwa Bagimu agamamu dam bagiku agamaku (QS 109:6).  Namun, bagi kaum Muslim yang setuju terhadap dialog, perintah Tuhan kepada Nabi Muhammad untuk mengajak Ahli Kitab sampai kepada doktrin yang umum antara agamanya (Islam) dan agama mereka, merupakan suatu dorongan. Dalam Al Qur’an dinyatakan:
    Katakanlah:Hai Ahli Kitabmarilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita perseutukan Ia dengan sesuatu apa pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain dengan tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka; “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS 3:64).

Pada mulanya, ungkapan “Ahli Kitab” terutama sekali berarti orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi ahirnya meluas meliputi para pengikuti dari kepercayaan (tertulis) suci yang lain (other holy write). (Zamharir, 2004).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
    Kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari uraian pembahasan diatas adalah demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Agar demokrasi selaras dengan pandangan islam dapat terwujud, langkah yang harus dilakukan adalah harus adanya pemahaman yang benar tentang demokrasi dalam pandagan Islam paling tidak memahami demokrasi dalam pandangan Islam seperti dalam tujuan yang termuat dalam tugas ini yaitu mengetahui dasar demokrasi dalm Islam., memahami prinsip nilai demokrasi, mengetahui contoh praktek demokrasi dalam Islam, memahami pertentangan antara demokrasi dan Islam serta mengetahui cara menghadapi perbedaan sehingga aspirasi yangdisampaikan tidak keluar dari ajarannya.
3.2 Saran
    Saran dari penulis untuk para pembaca agar dapat memahami demokrasi dalam pandangan Islam lebih jauh maka perbanyaklah membaca buku demokrasi yang membahas dari sudut pandang Islam. Mempelajari dari banyak sudut pandang beberapa pakar demokrasi dalam Islam yang ilmunya dapat dipercaya. Serta tidak lupa memahami demokrasi dalam Islam menuntun kita kepada kebaikan hakiki.

 DAFTAR PUSTAKA


Khaled Abou El Fadl. Islam & Tantangan Demokrasi, terj. Ghifna Ayu Rahmani
& Ruslani. Jakarta: Ufuk Press, 2004

Zamharir, Muhammad Hari. Agama dan Negara Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nur Kholis Madjid. Jakarta: PT. Raja grafindo, 2004.

Alumni Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta. Antara Islam
Dan Demokrasi | Magister Study Islam UII | MSI UII.http://master.Islamic.uii.ac.id/ar/antara-Islam-dan-demokrasi/. Diakses pada tanggal 6 April 2016 Pukul 20:41 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklan