ads head

Advertisement

Sabtu, 13 Januari 2018

Makalah Agama: Perbedaan Bank syariah dan bank Konvensional

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
    Seiring berjalannya ekonomi yang terlihat mendesak untuk ditanggulangi adalah interaksi umat Islam dengan bank. Bank-bank konvensional yang ada sekarang ini menawarkan sistem bunga, yang dalam Islam identik dengan riba. Islam melarang adanya riba, dan setiap pelanggaran atas ketentuan ini merupakan perbuatan dosa kepada Allah. Oleh karena itu diperlukan lembaga-lembaga perbankan yang Islami yang bebas dari praktek-praktek riba, sehingga umat Islam dapat menyalurkan investasi sesuai syari’at Allah.
    Dipungkiri atau tidak, ternyata kehidupan kita sehari-hari tidak akan bisa terlepas dengan yang namanya bank. Baik berupa Bank Konvensional atau Bank Syariah. Oleh karena itu, makalah ini kami sajikan guna mengupas transaksi Bank Konvensional dan Bank Syariah.
1.2.    Rumusan Masalah
a)    Apakah Bank Konvensional dan Bank Syariah itu?
b)    Apakah perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah?
c)    Sejarah Bank Konvensional dan Bank Syariah?
1.3.    Tujuan
a)    Untuk mengetahui Bank Konvensional dan Bank Syariah
b)    Untuk mengetahui perbedaan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah
c)    Untuk Mengetahui sejarah dari bank Konvensional dan Bank Syariah terutama di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.    Pengertian bank
Bank secara etimologis berasal dari bahasa Italia yaitu kata benda yang berarti bangku /tempat duduk. Bank disebut demikian karena pada abad pertengahan orang-orang yang memberikan pinjaman melakukan usahanya di atas bangku-bangku. Bank atau Perbankan sebagai suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain, selain itu juga mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang bank atau giral.
Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Di Indonesia, menurut jenisnya bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 disebutkan juga bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2.2.    Pengertian Bank Konvensional
Bank konvensional dapat didefinisikan seperti pada pengertian bank umum pada pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 tahun 1998 dengan menghilangkan kalimat “…dan atau berdasarkan prinsip syariah …”•, sehingga definisi bank konvensional menjadi “bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.
Konvensional sebenarnya berasal dari bahasa Inggris “convention”, dalam bahasa Indonesia berarti pertemuan, jadi bank konvensional adalah bank yang mekanisme operasinya berdasarkan sistem yang disepakati bersama dalam suatu pertemuan (kesepakatan). Namun secara realita, sistem perbankan yang menggunakan bunga ini tidak pernah disepakati bersama dalam suatu konvensi apapun. Hal inilah yang kemudian menyebabkan bunga yang diambil oleh Bank konvensional menjadi riba. (konvensional) Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (untuk seterusnya penggunaan istilah bank umum merujuk kepada bank konvensional).
2.2.1.    Macam-Macam Bentuk Bank Konvensional
A.    Bank pemerintah
Adalah bank dimana sebagian atau seluruh saham dimiliki oleh pemerintah. Contoh bank pemerintah adalah bank mandiri dan bank negara indonesia (BNI) serta bank rakyat indonesia (BRI).
B.    Bank swasta
Adalah bank dimana sebagian besar sahamnya dimiliki  swasta nasional serta akte pendiriannya pun didirikan oleh swasta, pembagian keuntungannya juga untuk swasta nasional. Bank swasta dibedakan menjadi 2 yaitu:
a. Bank swasta nasional devisa. Contoh dari bank swasta nasional devisa adalah bang mega, bank bukopin serta bank central asia (BCA).
b. Bank swasta nasional nondevisa. Contoh dari bank swasta nasional non devisa adalah bank mayora, bank bisnis internasional serta bank mitraniaga
C. Bank pembangunan daerah
Adalah bank yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah Provinsi. contoh bank pembangunan rakyat antara lain bank DKI, bank Jateng atau bank Jabar.
D.    Bank campuran
Adalah bank umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh WNI (dan/atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh WNI), dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri. Contoh bank campuran adalah bank commenwealth dan bank central indonesia.

E.    Bank asing
Adalah bank yang seluruh saham dimiliki oleh negara lain tetapi didirikan atau membuka cabang di indonesia. Contoh bank asing antara lain citybank dan HSBC.
2.2.2.    Fungsi bank konvensional
    Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Seperti yang diuraikan di bawah ini menunjukkan pentingnya keberadaan bank umum dalam perekonomian modern (Manurung dan Rahardja, 2004):
1) penciptaan uang,
2) mendukung kelancaran mekanisme pembayaran,
3) penghimpunan dana simpanan,
4) mendukung kelancaran transaksi internasional,
5) penyimpanan barang-barang dan surat-surat berharga,
6) pemberian jasa-jasa lainnya
Pada bank konvensional, prinsip yang digunakan adalah:
1)    Bunga sudah ditentukan besarnya terlebih dahulu oleh bank tanpa memperhitungkan apakah bank sedang mendapatkan keuntungan atau tidak.
2) Besarnya bunga adalah tetap, baik bank sedang rugi atau laba. Walaupun ekonomi sedang baik dan bank sedang mendapatkan banyak laba, akan tetapi tetap bunga yang diberikan kepada nasabah tidak bertambah.
Ada beberapa keunggulan pada bank konvensional, yaitu:
1)    Metode bunga telah lama dikenal masyarakat, Bank Konvensional lebih mudah menarik nasabah penyimpan dana sehingga lebih mudah mendapatkan modal.
2) Bank Konvensional lebih kreatif dalam menciptakan produk-produk.
3) Nasabah terbiasa dengan metode bunga dibandingkan metode bagi hasil.
4)    Persaingan antar bank lebih menggairahkan dapat memacu untuk bekerja lebih baik.
5)    Peraturan perundang-undangan dan kebijakan Pemerintahan yang lebih mapan bagi bank konvensional, sehingga bank lebih leluasa untuk bergerak lebih pasti.
Selain Keunggulan, Bank Konvensional juga mempunyai kelemahan, yaitu:
1)    Faktor manajemen yang ditandai oleh inkonsistensi penyaluran kredit, campur tangan pemilik yang berlebihan dan manager yang tidak profesional .
2)    Kredit bermasalah karena prosedur pemberian kredit tidak potensi dan penampakan pemberian kredit pada grup sendiri dan kalangan tertentu
3) Praktik curang seperti bank dalam bank dan transaksi fiktif
4) Praktik spekulasi yang terlalu ambisius dan tanpa perhitungan,
Selain itu ada beberapa alasan mengapa banyak orang memanfaatkan jasa perbankan konvensional:
1)    Pertimbangan kemudahan lokasi atau aksesibilitas: lokasi kantor yg strategis, banyaknya ATM
2) Kredibiltas / kepercayaan / keamanan
3) Pelayanan yang cepat
4) Jaringan yang luas dan maju, didukung dengan promosi lewat media massa sehingga mudah dikenal masyarakat.
Akan tetapi, penerapan metode bunga dalam bank konvensional tetap menimbulkan resiko bagi masyarakat. Penerapan metode bunga, terutama bagi masyarakat yang tingkat ekonominya rendah atau masih lemah, dirasakan berat.
2.2.3.    Sejarah Bank Konvensional
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu De javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828 kemudian menyusul Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeriserta terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda. Bank-bank yang ada itu antara lain:

1.      De Javasce NV.
2.      De Post Poar Bank.
3.      Hulp en Spaar Bank.
4.      De Algemenevolks Crediet Bank.
5.      Nederland Handles Maatscappi (NHM).
6.      Nationale Handles Bank (NHB).
7.      De Escompto Bank NV.
8.      Nederlansche Indische Handelsbank
Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik orang Indonesia dan orang-orang asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut antara lain :
1.      NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank
2.      Bank Nasional indonesia.
3.      Bank Abuan Saudagar.
 4.      NV Bank Boemi.
5.      The Chartered Bank of India, Australia and China
6.      Hongkong & Shanghai Banking Corporation
7.      The Yokohama Species Bank.
 8.      The Matsui Bank.
9.      The Bank of China.
10.    Batavia Bank.
Di zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain :
1.      NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank (saat ini Bank OCBCNISP), didirikan 4 April 1941 dengan kantor pusat di Bandung.
2.      Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang dikenal dengan BNI ’46.
3.      Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dari De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko.
4.      Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo. 5.      Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.
6.      Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.
7.      Indonesian Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian menjadi Bank Amerta.
 8.      NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.
9.      Bank Dagang Indonesia NV di Samarinda tahun 1950 kemudian merger dengan Bank Pasifik.
10.  Bank Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank Gemari. Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.
Di Indonesia, praktek perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan. Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum Syariah, dan juga Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
2.3.    Bank Syari’ah
        Bank syari’ah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah riba. Bank Islam atau bank syari’ah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan atau perbankan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta edaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syari’ah Islam. Berdasarkan pengertian tersebut, Bank Islam berarti bank yang tata cara bermuamalat secara Islami, yakni mengacu pada ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Atau dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan Syariat Islam.
    Bank Syari’ah merupakan lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar ekonomi di sektor riil melalui aktivitas kegiatan usaha (investasi, jual beli atau lainnya) yang berdasarkan prinsip syari’ah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan nilai syari’ah, baik yang bersifat makro maupun mikro.

2.3.1.    Sejarah Bank Syari’ah
Islam di dalam suatu kota besar yang dianggap sebagai salah satu dari tempat yang heterogen dan yang paling rumit di wilayah Arab. Masyarakat telah tumbuh di luar pembatasan suku bangsa dan kaum untuk membangun kompleksitas dalam hal ekonomi dan politik. Selama itu kota besar menjadi makmur dengan bisnis di dalam pinjaman dengan jumlah beban biaya yang lebih besar. Pada awalnya pembentukan bank islam banyak diragukan karena beberapa alasan. Pertama, banyak orang yang beranggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga (interest free) adalah suatu yang tidak mungkin dan tidak lazim. Kedua, keraguan tentang bagaimana bank islam akan membiayai operasionalnya. Meskipun begitu terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pengembangan dari sistem perbankan islam berjalan dan mulai ada dari zamanya nabi dan sahabat, bani umayyah dan bani abbasiyah, dan di masa eropa.
A.    Di Zaman Nabi Muhammad SAW dan Sahabat
Perbankan adalah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak jaman Rasulullah SAW. Praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meninjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah. Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dan setelah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah. Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan "Al-Amin, dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayyidina Ali RA untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya. Dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut. Seorang sahabat Rasulullah, Zubair Bin Al-Awwam, memilih tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda; pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban mengambalikannya utuh. Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah. Juga tercatat Abdullahbin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang keadiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak. Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali setahun. Bahkan di jaman Umar Bin Khattab RA, beliau menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, musyarakah, muzara’ah.
Musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di zaman Rasulullah SAW, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja. Fungsi-fungsi Bank sudah dipraktekkan oleh para sahabat di zaman Nabi SAW: Menerima Simpanan Uang, Memberikan Pembiayaan, dan Jasa Transfer Uang. Biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja.
B.    Di Zaman Bani Umayyah Dan Bani Abbasiyah
Jelas saja institusi bank tidak dikenal dalam kosa kata fikih Islam, karena memang institusi ini tidak dikenal oleh masyarakat Islam di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, maupun Bani Abbasiyah. Namun fungsi-fungsi perbankan yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan transfer dana telah lazim dilakukan, tentunya dengan akad yang sesuai syariah. Di jaman Rasulullah SAW fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh perorangan, dan biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja. Baru kemudian, di jaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu. Fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan oleh satu individu, dalam sejarah Islam telah dikenal sejak zaman Abbasiyah. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Ini diperlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf, dan jihbiz. Hal ini merupakan cikal-bakal praktek penukaran mata uang(money changer). Istilah jihbiz mulai dikenal sejak zaman Muawiyah (661-680M) yang sebenarnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sassanid, istilah ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah.
Peranan banker pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Muqtadir (908-932M). Saat itu, hampir setiap wazir mempunyai bankir sendiri. Misalnya, Ibnu Furat menunjuk Harun ibnu Imran dan Joseph ibnu wahab sebagai bankirnya. Lalu Ibnu Abi Isa menunjuk Ali ibn Isa, Hamid ibnu Wahab menunjuk Ibrahim ibn Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga orang banker sekaligus: dua Yahudi dan satu Kristen. Kemajuan praktek perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang. Dalam hal yang terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya tanpa perlu memindahkan fisik uang tersebut. Para money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah memulai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran lainnya. Dalam sejarah perbankan Islam, adalah Sayf Al-Dawlah Al-Hamdani yang tercatat sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan Aleppo (Spanyol sekarang).
C.    Di Zaman Eropa
Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan yang dilakukan oleh perorangan jihbiz kemudian dilakukan oleh institusi yang saat ini dikenal sebagai institusi bank. Ketika bangsa Eropa mulai menjalankan praktek perbankan, persoalan mulai timbul karena transaksi yang dilakukan menggunakan instrumen bunga yang dalam pandangan fikih adalah riba, dan oleh karenanya haram. Transaksi berbasis bunga ini semakin merebak ketika Raja Henry VIII pada tahun 1545, membolehkan bunga (interest) meskipun tetap mengharamkan riba (usury) dengan syarat bunganya tidak boleh berlipat ganda (excessive). Ketika Raja Henry VIII wafat, ia digantikan oleh Raja Edward VI yang membatalkan kebolehan bunga uang. Ini tidak berlangsung lama. Ketika wafat, ia digantikan oleh Ratu Elizabeth I yang kembali membolehkan bunga uang.
Selanjutnya, bangsa Eropa mulai bangkit dari keterbelakangannya dan mengalami renaissance. Penjelajahan dan penjajahan mulai dilakukan ke seluruh penjuru dunia, sehingga kegiatan perekonomian dunia mulai didominasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Pada saat yang sama, peradaban muslim mengalami kemerosotan dan negara-negara muslim satu per satu jatuh ke dalam cengkeraman penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Akibatnya, institusi-institusi perekonomian umat muslim runtuh dan digantikan oleh institusi ekonomi bangsa Eropa. Keadaan ini berlangsung terus sampai zaman modern kini. Karena itu, institusi perbankan yang ada sekarang di mayoritas negara-negara muslim merupakan warisan dari bangsa Eropa, yang notabene berbasis bunga.
D.    Di zaman Modern
Pemikiran untuk mendirikan bank yang menggunakan prinsip bagi hasil sudah muncul dalam waktu yang cukup lama. Hal ini ditandai dengan munculnya pemikiran muslim yang menulis tentang perlunya dibangun bank islam dengan prinsip bagi hasil, antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) Dan Mahmud Ahmad (1952). Kemudian pada 1960-an Al-Maududi menulis secara perinci tentang perlunya dibangun bank islam untuk mengimbangi praktik-praktik bank konvensional yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Pemikiran beliau ini ditindak lanjuti oleh Muhammad Hamidullah dengan menulis beberapa buku berturut-turut pada 1994, 1995, 1957, dan 1962 yang kesemuanya itu dikategorikan sebagai penggagas awal tentang perbankan islam.
Upaya awal penerapan sistem profit and loss sharing dalam bentuk bank syariah modern mencatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940, yaitu adanya upaya pengelolaan dana jamaah haji secara non konvensional. Rintisan bank syariah lainya adalah berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank pada 1963 di Mesir yang dibangun oleh Dr. Ahmad El-Najar. Permodalan bank ini dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Bank ini beroperasi tanpa bunga dan sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran agama islam ini sangat populer dan pada mulanya tumbuh dengan baik. Oleh karena itu ada persoalan politik di Mesir bank ini ditutup dan diambil alih oleh National Bank Of Egypt Dan Central Bank Of Egypt yang dioperasikan berdasarkan prinsip ribawi. Pada 1972 sistem bank tanpa riba diperkenalkan lagi di Mesir dengan ditandai berdirinya Nasser Social Bank. Berdirinya bank ini lebih bersifat sosial daripada komersial.
Kesukaan Mit Ghamr mengelola bank dengan sistem bagi hasil, memberi inspirasi bagi umat islam diseluruh dunia untuk membentuk bank islam dengan sistem bagi hasil. Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah ditingkat internasional muncul dalam konferensi negara islam sedunia di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 21 s/d 27 april 1969 yang diikuti oleh 19 negara peserta. Salah satu keputusan dalam konferensi ini adalah perlu segera dibentuk sebuah bank syariah yang bersih dari sistem riba. Kemudian pada desember 1970 dalam pertemuan menteri luar negeri negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan, delegasi mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal tentang berdirinya bank islam ini kemuian dikaji dengan seksama oleh para ahli dari 18 negara islam yang semuanya menyetujui dibentuk bank islam.
Selanjutnya pada sidang luar negeri negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Baghazi, Libya pada maret 1973 usulan tentang perlunya didirikan bank syariah diagendakan lagi. Sidang kemudian memutuskan agar OKI mempunyai bidang khusus yang menangani tentang hal-hal yang berhubungan dengan ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973 komite ahli yang mewakili negara islam penghasil minyak bertemu di Jeddah, Arab Saudi untuk membicarakan berdirinya bank syariah, sekaligus dibahas tentang anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Selanjutnya pada 1974, diadakan pertemuan menteri keuangan negara OKI di Jeddah dan dalam pertemuan ini disetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank) dengan modal awal dua milyar dinar.


Setelah Islamic Development Bank (IDB) didirikan pada oktober 1975 yang beranggota 22 negara islam sebagai pendiri. Tujuan dibentuk bank ini adalah untuk membantu finansial dalam membangun negara anggotanya, usaha untuk mendirikan bank islam menyebar ke banyak negara. Beberapa negara islam seperti Pakistan, Sudan, dan Iran mengubah seluruh sistem keuangan yang ada di negara tersebut menjadi bebas bunga, sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi berdampingan dengan bank-bank konvensional.
Sekarang, perbankan syariah sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar ke seluruh dunia. Di Eropa tercatat "The Islamic Bank International Of Denmark" tercatat sebagai bank syariah pertama yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, bank ini mulai beroperasi pada 1983 di Denmark. Sekarang bank-bank besar di negara-negara Eropa seperti City Bank, ANZ Bank, Chase Mahatam Bank, dan Jardine Fleming telah pula membuka Islamic Window agar dapat memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat islam.
E.    Di Indonesia
Ide untuk mendirikan Bank yang menggunakan prinsip bagi hasil sudah muncul sejak 1970-an. Gagasan ini dibicarakan pada seminar nasional hubungan Indonesia dengan Timur Tengah pada 1974 dan dalam seminar internasional yang dilaksanakan oleh Lembaga Study Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhinika Tunggal Ika pada 1976. Setelah diadakan penelitian yang mendalam, usaha untuk mendirikan bank syariah sedikit ada kendala, yaitu tidak ada payung hukum yang mengatur tentang bank yang operasionalnya yang memakai prinsip bagi hasil. Kalau tetap dioperasikan bank syariah itu, maka tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbangkan yang berlaku pada waktu itu. Selain hambatan ini lahirnya bank syariah ini dianggap sementara oleh pihak ada keterkaitan dengan faktor ideologi yang dianggapnya bagian dari konsep negara islam.
Pada 1998 gagasan mengenai bank syariah muncul lagi dengan gagasan ini muncul karena pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi liberalisasi di Indonesia. Setelah adanya rekomendasi lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor pada tanggal 19-22 Agustus  1990, hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlansung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta pada 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas MUI ini dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Hasil kerja dari kelompok ini adalah dibentuknya PT. Bank Muamalah Indonesia dengan ditandatangani akta pendiriannya pada 1 November 1991 dengan total modal awal sebesar Rp. 106.126.382.000,-. Dana ini berasal dari presiden dan wakil presiden, juga dari 10 Menteri Kabinet Pembangunan V, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, Yayasan Purna Bhakti Pratiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Pada 1 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi.
Pada awal berdirinya, keberadaan PT Bank Muamalat Indonesian belum mendapatkan perhatian yang optimal dalam tataan industri perbankan nasional. Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, dimana perbankan bagi hasil diakomodasikan dan diakui keberadaannya, maka perkembangan bank syariah mulai menunjukkan prospeknya yang sangat bagus. Dalam menanggapi beberapa pasal yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil pada 30 Oktober 1992, LNRI Nomor 119 Tahun 1992. Dalam peraturan pemerintah ini ditegaskan bahwa bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prrinsip bagi hasil, demikian juga sebaliknya.
Oleh karena Bank Muamalat dan bank-bank perkreditan rakyat tidak menjangkau masyarakat islam lapisan bawah, maka dibentuklah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Baitul Maal Wattamwil (BMT). Kemudian bank muamalat juga mensponsori berdirinya Syarikat Takaful Indonesia dan menjadi salah satu pemegang sahamnya. Selanjutnya pada 1997, Bank Muamalat mensponsori lokakarya ulama tentang reksadana syariah oleh PT. Danareksa Investment Management. Kemudian juga lahirnya pasar modal syariah, obligasi syariah membuat perkembangan lembaga keuangan syariah tumbuh dan berkembang cepat dengan hasil yang sangat menggembirakan. Menurut riset yang dilakukan oleh Karim Business Consulting pada 2005 yang lalu menunjukkan bahwa total aset bank syariah di indonesia diperkirakan akan lebih besar daripada apa yang diperkirakan oleh Bank Indonesia. Total aset bank syariah diperkirakan akan mencapai antara 1,92% sampai 2,31% dari industri perbankan nasional. Pertumbuhan yang cukup signifikan ini disebabkan karena semakin baiknya kapasitas disisi regulasi serta perkembangannya pemikiran masyarakat tentang keberadaan bank syariah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan dalam bentuk surat keputusan direksi Bank Indonesia dan peraturan Bank Indonesia, telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia ini telah memberikan kesempatan untuk mengembangkan bank syariah dengan cara mempermudah memberi izin usaha dan mempermudah pembukuan kantor cabang serta diperkenankan bank umum dapat menjalankan dua kegiatan usaha, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan telah memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah. Dari peraturan perundang-undangan ini dapat diketahui bahwa tujuan dikembangkan bank syariah adalah untuk memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan dual banking system, mobilitas dana masyarakat dapat diserap secara luas, terutama daerah-daerah yang tidak bisa dijangkau oleh bank konvensional. Disamping itu, dengan dibukanya izin operasional bank syariah, maka membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan, bukan hubungan formal antara debitur dan kreditur sebagaimana yang terdapat pada bank konvensional.
2.3.2.    Fungsi dan Peranan Bank Syariah
Bank syari’ah mempunyai fungsi secara umum meliputi:
1. Bertanggung jawab terhadap penyimpanan dana nasabah
2. Mengelola investasi dari dana yang diperoleh
3. Penyedia transaksi keuangan    
4. Pengelola zakat, infaq dan shadaqoh.
Agar berhasil menjadi pendorong terwujudnya pembangunan ekonomi nasional maka bank Syari’ah memiliki peranan sebagai perekat nasionalisme yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, beroperasi secara transparan, berfungsi sebagai pendorong penurunan investasi spekulatif, pendorong peningkatan efisiensi, mobilisasi dana masyarakat serta menjadi uswatun hasanah bagi praktek usaha berlandaskan moral dan etika Islam.
2.3.3.    Karakteristik Bank Syari’ah
Karakteristik bank Syari’ah dapat bersifat fleksibel, yang meliputi:
a) Keadilan, melarang riba tetapi menggunakan bagi hasil.
Riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.21
b) Kemitraan, yaitu saling memberi manfaat.
Posisi nasabah, investor, pengguna dana dan bank berada dalam hubungan sejajar sebagai mitra usaha yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab di mana tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
d)    Universal, melarang transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar).
Menghindari penggunaan sumber daya yang tidak efisien, dan terbuka seluas-luasnya bagi masyarakat tanpa membedakan agama, suku, dan ras.
2.3.4.    Prinsip Operasional Bank Syari’ah
Berdasarkan surat keputusan direksi Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR tanggal 19 Mei 1999 tentang bank umum berdasarkan prinsip Syari’ah, prinsip operasional bank Syari’ah meliputi:
1. Prinsip titipan atau simpanan.
2. Prinsip bagi hasil.
3. Prinsip jual beli.
4. Prinsip sewa.
5. Prinsip jasa.

Penjelasan dari kutipan di atas adalah sebagai berikut:
1. Prinsip titipan atau simpanan (depository atau Al Wadi’ah).
Adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai uang atau barang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang tersebut. Berdasarkan jenisnya wadi’ah terdiri atas:
a. Wadi’ah Yad Amanah, yaitu akad penitipan barang atau uang di mana pihak penerima tidak diperkenankan menggunakan barang atau uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang atau titipan yang bukan diakibatkan kelalaian penerima titipan.
b. Wadi’ah Yad Damanah, yaitu akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang atau uang dapat memanfaatkan barang atau titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehilangan barang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang atau uang tersebut menjadi hak penerima titipan.
2. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)
Suatu prinsip penetapan imbalan yang diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan atau pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank. Besarnya imbalan yang diberikan berdasarkan kesepakatan bersama dalam perjanjian tertulis antara bank dan nasabahnya.
Berdasarkan jenisnya terdiri dari :
a. Al-Musyarakah: Akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
b. Al-Mudharabah: Akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib).
c. Al-Muzara’ah: Kerjasama pengelola pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
d. Al-Musaqah: Bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
3. Prinsip Jual Beli (Sale and Purchase)
Suatu prinsip penetapan imbalan yang akan diterima bank sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan, baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja, juga termasuk kegiatan usaha jual beli, dimana dilakukan pada waktu bersamaan baik antara penjual dengan bank maupun antara bank dengan nasabah sebagai pembeli, sehingga bank tidak memiliki persediaan barang yang dibiayainya. Berdasarkan jenisnya terdiri dari:
a. Al- Murabahah: Akad jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Penjual harus memberi tahu harga produk yang dibeli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Jual beli ini dapat dilakukan untuk pembelian secara pesanan.
b. Al-Salam: Akad jual beli barang pesanan yang pembelian barangnya diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan di muka secara penuh.
c. Al-Istishna: Akad jual beli barang antara pemesan dengan penerima pesanan. Spesifikasi dan harga pesanan disepakati di awal akad dengan pembayaran dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan.
4. Prinsip Sewa (Operational Lease and Financial Lease)
Prinsip sewa ini didasarkan pada :
a.    Al-Ijarah: Akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.
b. Ijarah wa Iqtina: Akad sewa-menyewa barang antara bank (muaajir) dengan penyewa (mustajir) yang diikuti janji bahwa pada saat yang ditentukan kepemilikan barang sewaan akan berpindah kepada mustajir.

5. Prinsip Jasa (Fee Based Services)
Suatu prinsip penetapan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lain bank Syari’ah yang lazim dilakukan terdiri dari:
a. Al-Kafalah: Akad pemberian jaminan (makful alaih) yang diberikan suatu pihak kepada pihak lain sebagai pemberi jaminan (kafiil) yang bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu utang yang menjadi hak penerima jaminan (makful).
b. Al-Hiwalah: Akad pemindahan piutang nasabah (muhil) kepada bank (muhal alaih) dari nasabah lain (muhal). Muhil meminta muhal alaih untuk membayarkan terlebih dahulu piutang yang timbul dari jual beli. Pada saat piutang tersebut jatuh tempo, muhal akan membayar kepada muhal alaih. Muhal akan memperoleh imbalan sebagai jasa pemindahan piutang.
c. Al-Kafalah: Akad pemberian kuasa dari dari pemberi kuasa (muwakhil) kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksankan tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa.
d. Ar-Rahn: Akad penyerahan barang harta (markun) dari nasabah (rahim) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh utang.
e. Al-Qardhul Al-Hasan: Akad pinjaman dari bank (murqidh) kepada pihak tertentu (muqtaridh) untuk tujuan sosial yang wajib dikembalikan sesuai dengan pinjaman.
f. Sharf: Akad jual beli suatu valuta asing dengan valuta lainnya sesuai dengan prinsip Syari’ah.
g. Ujr: Imbalan yang diminta atau diberikan atas suatu pekerjaan yang diberikan.

2.3.5.    Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syari’ah
Secara singkat perbedaan antara bunga dengan bagi hasil dapat terlihat pada tabel berikut:
No.    Bunga    Bagi Hasil
1.    Penentuan bunga dibuat sewaktu perjanjian tanpa berdasarkan kepada untung/rugi.    Penentuan bagi hasil dibuat sewaktu perjanjian dengan berdasarkan kepada untung/rugi.
2.    Jumlah persen bunga berdasarkan jumlah uang (modal) yang ada.    Jumlah nisbah bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang telah dicapai.
3.    Pembayaran bunga tetap seperti perjanjian tanpa diambil pertimbangan apakah proyek yang dilaksanakan pihak kedua untung atau rugi.    Bagi hasil tergantung pada hasil proyek. Jika proyek tidak mendapat keuntungan atau mengalami kerugian, maka resikonya ditanggung kedua belah pihak.
4.    Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat walaupun jumlah keuntungan berlipat ganda.    Jumlah pemberian hasil keuntungan meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan yang didapat.
5.    Pengambilan/pembayaran bunga adalah haram.    Penerimaan/pembagian keuntungan adalah halal

Perbedaan pokok antara sistem bank Konvensional dengan sistem bank Islam secara ringkas dapat dilihat dari 4 (empat) aspek seperti terlihat pada tabel berikut ini:
No    Perbedaan Aspek    Bank Islam (Bank Syariah)    Bank Konvensional
1    Falsafah    Tidak berdasarkan atas bunga, spekulasi dan ketidakjelasan    Berdasarkan atas bunga
2    Operasional    -  Dana masyarakat berupa titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil jika diusahakan terlebih dahulu

- Penyaluran pada sektor usaha yang halal dan menguntungkan    - Dana masyarakat berupa simpanan yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo
- Penyaluran pada sektor yang menguntungkan, aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama
3    Sosial    Dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam Visi dan Misi bank    Tidak tersirat secara tegas
4    Organisasi    Harus memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).    Tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah.
5    Fungsi    Bisnis dan Sosial    Bisnis

BAB III

PENUTUP


3.1.    Kesimpulan
1.    Bank Konvensional adalah bank yang mekanisme operasinya berdasarkan sistem yang disepakati bersama dalam suatu pertemuan (kesepakatan). Sedangkan Bank Syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoerasiannya disesuaikan dengan Syariat Islam.
2.    Perbedaan bank Konvensional dan bank Syari’ah ada 4 aspek, yaitu falsafalah, operasional, sosial, organisasi dan fungsi. Bank Konvensional menggunakan bunga sedangkan bank Syari’ah menerapkan prinsip bagi hasil.
3.    Bank Syari’ah sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW yang masih menggunakan sistem simpan pinjam dan hanya berlaku 1 fungsi saja.
3.2.    Saran
Sebagai umat islam kita harus meningkatkan keimanan dan ketaqwaan. Sebagai orang yang beriman dan bertaqwa, kita harus melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjahui segala apa yang dilarangNya. Marilah kita mengaflikasikan perintah Allah yang maknanya "... Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.. (memudahkan jalannya untuk sukses)" Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS.65:2-3).
Dalam mengamalkan iman dan taqwa harus konsisten (istiqomah). Dalam kehidupan yang moderen saat ini, kita harus menjaga keimanan dan ketaqwaan, agar kita tidak terjerumus kedalam kesesatan. Dimuhun kepada pembaca apabila dalam penulisan makalah ini ada kejanggalan / kesalahan dalam penulisan maupun makna dalam bacaan, untuk memberi masukan kepada kami sebagai penulis. Karena manusia tak ada yang sempurna dan kesempurnaan itu yang milik Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Adi Marwan Karim . 2004. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. h. 19. 
Ascarya. 2008. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. h. 3. 
Edward W. 1989. Bank Umum. Jakarta: Bumi Aksara. h. 185. 
Herman Darmawi. 1994. Manajemen Resiko. Jakarta: Bumi Aksara. h 25. 
https://wikipedia.org/wiki/daftar_bank_di_indonesia. (Diakses 20 Juni 2015).
Kasmir. 2010. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Ed Revisi 10, Jakarta: Rajawali Press. h. 109-111. 
Muhammad. 2004. Manajemen Dana Bank Syariah. Yogyakarta: Ekonisia UII. h. 1.
Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syari’ah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. h.13.
M. Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syari’ah: Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Pers. h. 40. 
Rivai dan Veithzal. 2008. Islamic Financial Management. Jakarta: Raja Grafindo Persada. h. 5.
Salim, A. Abas. 1993. Dasar-dasar Asuransi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 
Subasa, A. 2012. Bank Konvensional. www.aiisubasa.wordpress.com /2012/05/14/8/. (Diakses 20 Juni 2015).
Zainul Arifin. Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah. Jakarta: Pustaka Alvabet, Cet, 4, 2006, h. 226. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklan