Dalam bahasa Arabnya politik disebut “siyasyah” yang kemudian diterjemahkan menjadi siasat, Sedangkan dalam bahasa Inggrisnya “politics”. asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata “polis” yang berarti negara kota. Dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan dan pada akhirnya kekuasaan. Tetapi politik juga dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, dan kekuasaan pemerintah.
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden,anggota legislative dan kepala daerah selalu menjadi salah satu agenda negara. Berbicara tentang pemilu tentu kita tidak akan melewatkan momen yang disebut dengan kampanye. Kampanye merupakan ajang pengenalan atau promosi partai politik (parpol), calon presiden (capres), calon anggota legislatif (caleg) dan kepala daerah untuk meraih simpati masyarakat pemilih.
Dalam berkampanye para calon begitu banyak menggunakan media sebagai sarana kampanye. Mulai dari tanda gambar, alat peraga, stiker, social media. Jika kita melintasi jalan raya di sepanjang kota, kita dapati ratusan spanduk yang terpampang. Dengan menggunakan desain yang bermacam-macam, warna-warni dan dibumbui kata-kata manis mencoba menarik simpati responden.
Di era terbuka seperti sekarang ini kemampuan berbahasa sangatlah diperlukan. Walaupun berbahasa itu merupakan fitrah manusia, dalam dunia modern ini kemampuan berbahasa seseorang dapat ditingkatkan melalui pembelajaran bahasa. Kita hidup dalam dunia modern, karena itu berteori dalam hal pembelajaran bahasa bukanlah sesuatu yang mengada-ada (Suardi, 1997). Kemudian terkhusus kepada para calon sudah sejauh mana mereka mempelajari arti berbahasa dalam dunia politik sehingga apa yang mereka katakan bukanlah janji-janji manis semata.
Bagaimana jika sesorang yang terjun kedunia politik dengan begitu banyak ide namun ia tidak mampu membahasakanya. Itu kelemahan yang membahayakan. Oleh karena itu, seorang politisi harus seseorang yang mempunyai kematangan ide dan gerakan serta bahasa dan ilmu pengetahuan.
Tentu saja kita pernah melihat dan membaca undang-undang Negara dan aturan daerah. Dan tentunya politisi yang merancangnya. Susunan aturan tertulis disusun dengan kata-kata sedemikian rupa dengan maksud agar mudah dipahami. Akan tetapi dibalik perancangan sebuah aturan atau undang-undang selalu ada perdebatan yang sengit antar politisi. Dan pada akhirnya yang paling rasional dan dapat dipahami bahasanyalah yang memenagkan perdebatan tersebut.
Politik penuh dengan kepentingan. Oleh sebab itu seorang politisi harus meninggalkan hal-hal yang tidak penting dalam politiknya. Kemudian keterkaitan antara bagaimana seorang politisi membahasakan kepentingan-kepentingan masyarakat bukanlah hal yang mudah tentunya. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi keagagalan politisi dalam membahasakan kepada masyarakat tentang program politiknya, diantranya:
Ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dan jabatan politik. Banyak kita temui politisi di Negara kita baik legislative dan eksekutif yang latar belakang pendidikanya bertolak belakang dengan jabatan politisnya. Ada seorang anggota dewan berpendidikan sarjana pertanian bahkan sarjana pendidikan pun ada, Bupati sarjana teknik ,dan masih banyak contoh lainya. Tidak ada yang salah dari kasus demikian. Karena kesempatan berpolitik itu bukan sekadar untuk sarjana ilmu politik, siapa saja bisa asalkan memiliki kemampuan yang memadai. Akan tetapi, kembali politisi dituntut untuk bisa berkomunikasi dengan masyarakatnya dengan bahasa politik yang bisa dipahami banyak orang. Sehingga apa yang kita dengar sebagai masyarakat adalah sesuatu yang benar dan menenangkan. Karena akan sangat berbahaya jika apa yang kita saksikan dari wakil dan pemimpin kita adalah sesuatu yang bisa membuat kita berprasangka kurang baik atau bahkan menentangnya. #semoga
Tris Dul Basyir
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden,anggota legislative dan kepala daerah selalu menjadi salah satu agenda negara. Berbicara tentang pemilu tentu kita tidak akan melewatkan momen yang disebut dengan kampanye. Kampanye merupakan ajang pengenalan atau promosi partai politik (parpol), calon presiden (capres), calon anggota legislatif (caleg) dan kepala daerah untuk meraih simpati masyarakat pemilih.
Dalam berkampanye para calon begitu banyak menggunakan media sebagai sarana kampanye. Mulai dari tanda gambar, alat peraga, stiker, social media. Jika kita melintasi jalan raya di sepanjang kota, kita dapati ratusan spanduk yang terpampang. Dengan menggunakan desain yang bermacam-macam, warna-warni dan dibumbui kata-kata manis mencoba menarik simpati responden.
Di era terbuka seperti sekarang ini kemampuan berbahasa sangatlah diperlukan. Walaupun berbahasa itu merupakan fitrah manusia, dalam dunia modern ini kemampuan berbahasa seseorang dapat ditingkatkan melalui pembelajaran bahasa. Kita hidup dalam dunia modern, karena itu berteori dalam hal pembelajaran bahasa bukanlah sesuatu yang mengada-ada (Suardi, 1997). Kemudian terkhusus kepada para calon sudah sejauh mana mereka mempelajari arti berbahasa dalam dunia politik sehingga apa yang mereka katakan bukanlah janji-janji manis semata.
Bagaimana jika sesorang yang terjun kedunia politik dengan begitu banyak ide namun ia tidak mampu membahasakanya. Itu kelemahan yang membahayakan. Oleh karena itu, seorang politisi harus seseorang yang mempunyai kematangan ide dan gerakan serta bahasa dan ilmu pengetahuan.
Tentu saja kita pernah melihat dan membaca undang-undang Negara dan aturan daerah. Dan tentunya politisi yang merancangnya. Susunan aturan tertulis disusun dengan kata-kata sedemikian rupa dengan maksud agar mudah dipahami. Akan tetapi dibalik perancangan sebuah aturan atau undang-undang selalu ada perdebatan yang sengit antar politisi. Dan pada akhirnya yang paling rasional dan dapat dipahami bahasanyalah yang memenagkan perdebatan tersebut.
Politik penuh dengan kepentingan. Oleh sebab itu seorang politisi harus meninggalkan hal-hal yang tidak penting dalam politiknya. Kemudian keterkaitan antara bagaimana seorang politisi membahasakan kepentingan-kepentingan masyarakat bukanlah hal yang mudah tentunya. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi keagagalan politisi dalam membahasakan kepada masyarakat tentang program politiknya, diantranya:
Ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dan jabatan politik. Banyak kita temui politisi di Negara kita baik legislative dan eksekutif yang latar belakang pendidikanya bertolak belakang dengan jabatan politisnya. Ada seorang anggota dewan berpendidikan sarjana pertanian bahkan sarjana pendidikan pun ada, Bupati sarjana teknik ,dan masih banyak contoh lainya. Tidak ada yang salah dari kasus demikian. Karena kesempatan berpolitik itu bukan sekadar untuk sarjana ilmu politik, siapa saja bisa asalkan memiliki kemampuan yang memadai. Akan tetapi, kembali politisi dituntut untuk bisa berkomunikasi dengan masyarakatnya dengan bahasa politik yang bisa dipahami banyak orang. Sehingga apa yang kita dengar sebagai masyarakat adalah sesuatu yang benar dan menenangkan. Karena akan sangat berbahaya jika apa yang kita saksikan dari wakil dan pemimpin kita adalah sesuatu yang bisa membuat kita berprasangka kurang baik atau bahkan menentangnya. #semoga
Tris Dul Basyir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar