Kerukunan
Antara Umat Beragama dan HAM
A. Pengertian Ukhuwah
Ukhuwah pada mulanya berarti “ persamaan dan keserasian dalam banyak hal”. Karenanya persamaan dalam keturunan mengakibatkan persaudaraan, persamaan dalam sifat-sifat juga mengakibatkan persaudaraan. Makna terakhir ini antara lain ditunjuk oleh firman Allah dalam QS. Al Isra’ : 27 yang berbicara tentang persaudaraan (persamaan) sifat-sifat manusia yang boros dengan setan.
Dalam kamus bahasa ditemukan bahwa kata Akh juga digunakan dalam arti teman akrab atau sahabat. Dalam Al Qur’an kata Akh dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali, sebagian dalam arti saudara kandung, seperti pada -ayat yang berbicara tentang kewarisan dan sebagian lainnya arti saudara sebangsa walau tidak seagama seperti dalam Firmannya yang artinya :
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?" (QS Al A' Raaf {7}: 65)
Bentuk jamak dari kata akha dalam al Qur’an ada dua macam;
Pertama ikhwan yang digunakan untuk
persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 72 kali,
sebagian digandengkan dengan al din, seperti dalam surah Al Taubah : 11
Apabila mereka bertaubat, melaksanakan sholat dan menunaikan zakat, maka mereka
adalah saudara kamu seagama. Dan sebagian lainnya tanpa kata al din
seperti dalam Surah Al Baqarah ayat : 220 ”tentang dunia dan akhirat.
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus
urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka,
maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan
dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia
dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana” .
Kedua, adalah ikhwan yang
terdapat dalam Al Qur’an sebanyak 7 kali. Keseluruhannya digunakan untuk
makna persaudaraan seketurunan ( kecuali satu ayat Innama al
mu’minunna ikhwat” ( Al khujurat 10). Menarik untuk dianalisis mengapa al
Qu’ran, ketika berbicara tentang ukhuwat imaniyah/Islamiyah itu, menggunakan
kata ikhwah yang selalu digunakan untuk arti persaudaraan seketurunan. Atau
dengan kata lain, mengapa Al Qur’an tidak menggunakan kata ikhwan padahal
kata ini digunakannuya untuk makna persaudaraan tidak seketurunan. Bukankah
lebih tepat menggunakan kata terakhir ini melihat kenyataan bahwa saudara-saudara
seiman dan se Islam, terdiri dari banyak bangsa dan suku, yang tentunya tidak
seketurunan ? Hal ini bertujuan mempertegas dan mempererat jalinan
hubungan antar sesama muslim. Seakan-akan hubungan tersebut dijalin bukan saja
oleh keimanan mereka yang dalam ayat itu ditunjuk oleh kata al mu’minuun,
tetapi ia seakan dijalin pula oleh persaudaraan seketurunan yang ditunjuk
oleh kata ikhwah tersebut. Sehingga tidak ada satu alasan untuk meretakkan
hubungan antar sesama.
B. Macam-macam Ukhuwah
Kata ukhuwah dalam arti persamaan sebagaimana arti asalnya
dan penggunaannya dalam beberapa ayat dan hadits, kemudian merujuk kepada Al
Qur’an dan Sunnah, maka paling tidak dapat menemukan ukhuwah tersebut
tercermin dalam empat hal:
1.
Ukhuwah fi al Ubudiyyah, yaitu bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara
dalam arti memiliki persamaan. Dan tidaklah binatang-binatang yang ada dibumi,
dan tidak pula burung-burung yang terbang dengan kedua sayafnya, kecuali umat
seperti kamu juga (QS Al an'am {6}; 38). Persamaan ini antara lain, dalam
ciptaan dan ketundukan kepada Allah (QS. Al Baqarah {2}; 28)
2.
Ukhuwah fi al insaniyah, dalam arti seluruh manusia
bersaudara, karena mereka semua bersumber dari ayah dan ibu yang satu. Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.(QS Al hujurat, 49: 12), berdasarkan pembagian
ukhuwwah yang kedua ini maka semua manusia tanpa melihat agama adalah
bersaudara, sehingga tidak salah kalau masalah-masalah sosial semua manusia
harus saling bantu, saling menghargai, saling menghormati. Hal ini dijelaskan
dalam al-Qur’an
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan
segala sesuatu. (Qs an Nisa’ 4, 86)
Berdasarkan ayat ini, bila ada seorang non muslim mengucap salam
(penghormatan) dengan ucapan Assalamu’alaikum kepada muslim, maka umat
islam harus menjawab wa’alaikum salam warahmatullahiwabarokatuh. Karena salam bukan
permasalahan aqidah tetapi ucapan Assalamu’alaikum adalah etika manusia
bertemu dengan temannya. Selain itu juga salam adalah bahasa bagi umat islam
yang boleh dipakai setiap ketemu dengan temannya sendiri.
3.
Ukhuwah fi al-wathaniyah wa al nasab. Persaudaraan dalam keturunan
dan kebangsaan seperti yang
disyaratkan dalam al-qur'an artinya:
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata:
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain
dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya. (Qs Al A’raf, 7: 65), dan Qs Al Hujurat
10-12)
4.
Ukhuwah fi din al Islam, persaudaraan antara sesama muslim seperti bunyi
surat al ahzab 5. demikian juga dalam sabda Rasul Saw.” Antum ashabi,
ikhwanuna al ladzina ya’ tuna ba’di” ( kalian adalah sahabat-sahabatku,
saudara-saudara kita adalah yang datang sesudah (wafat) ku. ( Quraish
Shihab, 1994 : 358 )
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti
luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan semakin kokoh
pula persaudaraan. Persamaan dalam rasa dan cita merupakan faktor yang pada ahkirnya
menjadikan seorang saudara merasakan derita kepada saudaranya sebelum diminta
serta memperlakukannya bukan atas dasar take and give tetapi justru “
mengutamakan orang lain walau dirinya sendiri kekurangan . (QS, Al Hasyr,
59 : 9 )
Keberadaan
manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman yang dirasakannya
pada saat berada bersama jenisnya, dan dorongan kebutuhan ekonomi, juga
meerupakan faktor penunjang lahirnya rasa persaudaraan itu. Islam datang
menekankan hal-hal tersebut dan menganjurkan untuk mencari titik
singgung dan titik temu, jangankan terhadap sesama muslim, terhadap non muslim
pun demikian. (QS. Ali Imran ayat 6 dan Saba’ ayat 24-25)
Persamaan
dalam bidang akidah dan toleransi dalam bidang furu’ apabila dipahami
secara benar, pasti dapat mengantar kepada pemantapan Ukhuwah Islamiyah,
toleransi tersebut didasari oleh :
a.
Tanawwu al ibadah, yang mengatur pada pengakuan akan adanya
keragaman yang dipraktikan Nabi Saw, dalam bidang furu’, sehingga semua diakui
kebenarannya
b.
Al Mukhthi’ fi Al Ijtihad
lahu ajr ( yang salah pun dalam
berijtihad mendapat ganjaran, disamping penentuan yang benar dan salah bukan
ditangan makhluk tapi ditangan Allah )
c.
La hukma lillah ijtihad
al mujtahid, Allah belum menetapkan
suatu hukum sebelum upaya ijtihad seorang mujtahid, sehingga hasil ijtihad
itulah yang merupakan ketetapan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid,
walaupun berbeda-beda. Sama halnya dengan sebuah gelas kosong yang harus diisi
dan diserahkan kepada masing-masing untuk mengisinya. Apa dan seberapapun
isinya adalah pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi.( Quraish Shihab,
1994 : 359 )
Ukhuwah Islamiyah adalah
hubungan semata-mata antara umat Islam yag dijalin oleh rasa cinta dan benci
karena Allah Ta'ala dalam bentuk persahabatan bagaikan satu jasad satu bangunan
dan saudara sendiri.
Hal itu dilakukan hanya
karena Allah serta didasari dengan tuntunan-tuntunan Allah Ta'ala dan
Rasulullah S.A.W.
C.
Kebersamaan Umat Beragama dalam Kehidupan Sosial
Manusia ditakdirkan Allah
Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan
sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja sama dengan
orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun
spiritual.
Ajaran Islam menganjurkan
manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan sesama manusia
dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat
berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama, begitu pun
sebaliknya.
Toleransi agama adalah suatu sikap saling pengertian dan
menghargai tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun, yang mengkhususkan diri
dalam masalah agama. Salah satu sikap inilah yang membutuhkan perhatian
lebiha agar terciptanya kedamaian antar umat beragama.
Pada tahun 1967 diadakan musyawarah
antar umat beragama, Presiden Soeharto dalam musyawarah tersebut
menyatakan antara lain: "Pemerintah tidak akan menghalangi penyebaran
suatu agama, dengan syarat penyebaran tersebut ditujukan bagi mereka yang belum
beragama di Indonesia. Kepada semua pemuka agama dan masyarakat agar melakukan
jiwa toleransi terhadap sesama umat beragama".
Kerukunan
umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat
adanya toleransi agama.
Kerukunan umat beragama bertujuan untuk memotivasi dan mendinamisasikan semua
umat beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan bangsa dan menjadi hal yang sangat penting untuk mencapai sebuah
kesejahteraan hidup dinegeri ini.
» Kerja sama antar umat beragama
Persaudaraan atau ukhuwah, merupakan
salah satu ajaran yang mendapat perhatian penting dalam islam. Al-qur’an
menyebutkan kata yang mengandung arti persaudaraan sebanyak 52 kali yang
menyangkut berbagai persamaan, baik persamaan keturunan, keluarga, masyarakat,
bangsa, dan agama. Ukhuwah yang islami dapat dibagi kedalam empat macam,yaitu :
o
Ukhuwah
’ubudiyah atau saudara sekemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.
o
Ukhuwah
insaniyah (basyariyah), dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara,
karena semua berasal dari ayah dan ibu yang sama; Adam dan Hawa.
o
Ukhuwah
wathaniyah wannasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
o
Ukhuwwah fid
din al islam, persaudaraan sesama muslim.
» Kerja sama antar umat nonagama
Hubungan antara muslim dengan penganut
agama lain tidak dilarang oleh syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam
persoalan aqidah dan ibadah. Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern umat
Islam yang tidak boleh dicamputi pihak lain, tetapi aspek sosial kemasyarakatan
dapat bersatu dalam kerja sama yang baik.
Kerja sama antar umat bergama merupakan bagian dari hubungan sosial anatar manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam. Hubungan dan kerja sama dalam bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya tidak dilarang, bahkan dianjurkan sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan.
Kerja sama antar umat bergama merupakan bagian dari hubungan sosial anatar manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam. Hubungan dan kerja sama dalam bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya tidak dilarang, bahkan dianjurkan sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan.
Kerja sama antarumat beragama di
Indonesia selama ini telah terjalin relatif cukup baik, terutama dalam
bidang-bidang di luar masalah agama, seperti dibidang politik, sosial, dan
ekonomi. Sekelompok orang dalam suatu partai politik berjuang dan bekerja sama
untuk kemajuan partainya, meski mereka berbeda suku, ras, dan agama. Sekelompok
pemuda dalam Karang Taruna bekerjasama mensukseskan kegiatan Peringatan HUT
Kemerdekaan RI tanpa mengindahkan perbedaan agama yang mereka anut. Demikian
halnya di bidang ekonomi, kerjasama antar penganut agama yang berbeda seakan
tak pernah menjadi penghalang. Hiruk pikuk pasar adalah bukti nyata hal ini,
hampir dipastikan segala proses transaksi perdagangan dan proses take and give
di sana sama sekali tidak memperhatikan faktor agama.
Dalam bidang agama, di beberapa daerah, kerjasama semacam itu, pada umumnya berjalan baik. Di Manado, misalnya, ketika di suatu kampung sedang dibangun suatu gereja, maka umat Islam pun turut membantu baik berupa tenaga maupun dana. Demikian sebaliknya, umat Kristianipun biasa memberikan bantuan bila ada pembangunan mesjid di lingkungan mereka. Di Jawa Timur, dalam malam perayaan Natal terdapat sejumlah pasukan Banser NU turut menjaga keamanan di sekitar gereja, dalam pelaksanaan hari raya umat Kristiani tersebut. Yang relatif baru dan lebih maju, sejak dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, kerjasama antarumat beragama bahkan dapat terwujud lebih nyata.
» Kerja sama umat beragama dengan pemerintah
Semua pihak menyadari kedudukannya
masing-masing sebagai komponen orde baru dalam menegakkan kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Antara
pemerintah dengan umat beragama ditemukan apa yang saling diharapkan untuk
dilaksanakan.
Pemerintah mengharapkan tiga
prioritas, umat beragama, diharapkan partisipasi aktif dan positif dalam:
1)
Pemantapan ideologi Pancasila;
2)
Pemantapan stabilitas dan ketahanan nasional;
3)
Suksesnya pembangunan nasional.
D. HAM
dalam Islam
1. HAM Menurut Konsep Barat
Istilah hak asasi manusia baru
muncul setelah Revolusi Perancis, dimana para tokoh borjuis berkoalisi dengan
tokoh-tokoh gereja untuk merampas hak-hak rakyat yang telah mereka miliki sejak
lahir. Akibat dari penindasan panjang yang dialami masyarakat Eropa dari kedua
kaum ini, muncullah perlawanan rakyat dan yang akhirnya berhasil memaksa para
raja mengakui aturan tentang hak asasi manusia.
Diantaranya adalah pengumuman hak
asasi manusia dari Raja John kepada rakyat Inggris tahun 1216. Di Amerika
pengumuman dilakukan tahun 1773. Hak asasi ini lalu diadopsi oleh tokoh-tokoh
Revolusi Perancis dalam bentuk yang lebih jelas dan luas, serta dideklarasikan
pada 26 Agustus 1789. Kemudian deklarasi Internasional mengenai hak-hak asasi
manusia dikeluarkan pada Desember 1948.
Akan tetapi sebenarnya bagi
masyarakat muslim, belum pernah mengalami penindasan yang dialami Eropa, dimana
sistem perundang-undangan Islam telah menjamin hak-hak asasi bagi semua orang
sesuai dengan aturan umum yang diberikan oleh Allah kepada seluruh ummat
manusia.
Dalam istilah modern, yang dimaksud
dengan hak adalah wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang
atas sesuatu tertentu dan nilai tertentu. Dan dalam wacana modern ini, hak
asasi dibagi menjadi dua:
- Hak asasi alamiah manusia sebagai manusia, yaitu menurut kelahirannya, seperti: hak hidup, hak kebebasan pribadi dan hak bekerja.
- Hak asasi yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat sebagai anggota keluarga dan sebagai individu masyarakat, seperti: hak memiliki, hak berumah-tangga, hak mendapat keamanan, hak mendapat keadilan dan hak persamaan dalam hak.
Terdapat berbagai klasifikasi yang
berbeda mengenai hak asasi manusia menurut pemikiran barat, diantaranya :
- Pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk di dalamnya; hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal, dan hak moril, yang termasuk di dalamnya: hak beragama, hak sosial dan berserikat.
- Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan kehidupan rohani, dan hak kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan.
- Pembagian hak menjadi dua: kebebasan negatif yang memebentuk ikatan-ikatan terhadap negara untuk kepentingan warga; kebebasan positif yang meliputi pelayanan negara kepada warganya.
Dapat dimengerti bahwa
pembagian-pembagian ini hanya melihat dari sisi larangan negara menyentuh
hak-hak ini. Sebab hak asasi dalam pandangan barat tidak dengan sendirinya
mengharuskan negara memberi jaminan keamanan atau pendidikan, dan lain
sebagainya. Akan tetapi untuk membendung pengaruh Sosialisme dan Komunisme,
partai-partai politik di Barat mendesak agar negara ikut campur-tangan dalam
memberi jaminan hak-hak asasi seperti untuk bekerja dan jaminan sosial.
2. HAM Menurut Konsep Islam
Hak asasi dalam Islam berbeda dengan
hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan
kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah
saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu
haram atas kamu." (HR. Bukhari dan Muslim). Maka negara bukan saja
menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban
memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, negara berkewajiban
menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis
kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya
menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang
demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum muslimin di bawah Abu Bakar
memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Negara juga menjamin tidak ada
pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu. Sebab pemerintah
mempunyai tugas sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti tidak berhak
untuk tetap memerintah. Allah berfirman:
"Yaitu
orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka
menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah
perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah kembali semua urusan." (QS.
22: 4)
Ø
Jaminan Hak
Pribadi
Jaminan pertama hak-hak pribadi
dalam sejarah umat manusia adalah dijelaskan Al-Qur’an:
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya... dst." (QS.
24: 27-28)
Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu
Hanbal dalam Syarah Tsulatsiyah Musnad Imam Ahmad menjelaskan bahwa
orang yang melihat melalui celah-celah ointu atau melalui lubang tembok atau
sejenisnya selain membuka pintu, lalu tuan rumah melempar atau memukul hingga
mencederai matanya, maka tidak ada hukuman apapun baginya, walaupun ia mampu
membayar denda.
Jika mencari aib orang dilarang
kepada individu, maka itu dilarang pula kepada negara. Penguasa tidak
dibenarkan mencari-cari kesalahan rakyat atau individu masyarakat. Rasulullah
saw bersabda: "Apabila pemimpin mencari keraguan di tengah manusia,
maka ia telah merusak mereka." Imam Nawawi dalam Riyadus-Shalihin
menceritakan ucapan Umar: "Orang-orang dihukumi dengan wahyu pada masa
rasulullah saw. Akan tetapi wahyu telah terhenti. Oleh karenanya kami hanya
menghukumi apa yang kami lihat secara lahiriah dari amal perbuatan
kalian."
Muhammad Ad-Daghmi dalam At-Tajassus
wa Ahkamuhu fi Syari’ah Islamiyah mengungkapkan bahwa para ulama
berpendapat bahwa tindakan penguasa mencari-cari kesalahan untuk mengungkap
kasus kejahatan dan kemunkaran, menggugurkan upayanya dalam mengungkap
kemunkaran itu. Para ulama menetapkan bahwa pengungkapan kemunkaran bukan hasil
dari upaya mencari-cari kesalahan yang dilarang agama.
Perbuatan mencari-cari kesalahan
sudah dilakukan manakala muhtasib telah berupaya menyelidiki
gejala-gejala kemunkaran pada diri seseorang, atau dia telah berupaya
mencari-cari bukti yang mengarah kepada adanya perbuatan kemunkaran. Para ulama
menyatakan bahwa setiap kemunkaran yang berlum tampak bukti-buktinya secara
nyata, maka kemunkaran itu dianggap kemunkaran tertutup yang tidak dibenarkan
bagi pihak lain untuk mengungkapkannya. Jika tidak, maka upaya pengungkapan ini
termasuk tajassus yang dilarang agama.
3. Nash Qur’an dan Sunnah tentang HAM
Meskipun dalam Islam, hak-hak asasi
manusia tidak secara khusus memiliki piagam, akan tetapi Al-Qur’an dan
As-Sunnah memusatkan perhatian pada hak-hak yang diabaikan pada bangsa lain.
Nash-nash ini sangat banyak, antara lain:
- Dalam al-Qur’an terdapat sekitar empat puluh ayat yang berbicara mengenai paksaan dan kebencian. Lebih dari sepuluh ayat bicara larangan memaksa, untuk menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi. Misalnya: "Kebenaran itu datangnya dari Rabb-mu, barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir." (QS. 18: 29)
- Al-Qur’an telah mengetengahkan sikap menentang kedzaliman dan orang-orang yang berbuat dzalim dalam sekitar tiga ratus dua puluh ayat, dan memerintahkan berbuat adil dalam lima puluh empat ayat yang diungkapkan dengan kata-kata: ‘adl, qisth dan qishas.
- Al-Qur’an mengajukan sekitar delapan puluh ayat tentang hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana hidup. Misalnya: "Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya." (QS. 5: 32). Juga Qur’an bicara kehormatan dalam sekitar dua puluh ayat.
- Al-Qur’an menjelaskan sekitar seratus lima puluh ayat tentang ciptaan dan makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan. Misalnya: "... Orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertawa diantara kamu." (QS. 49: 13)
- Pada haji wada’ Rasulullah menegaskan secara gamblang tentang hak-hak asasi manusia, pada lingkup muslim dan non-muslim, pemimpin dan rakyat, laki-laki dan wanita. Pada khutbah itu nabi saw juga menolak teori Yahudi mengenai nilai dasar keturunan.
Manusia di mata Islam semua sama,
walau berbeda keturunan, kekayaan, jabatan atau jenis kelamin. Ketaqwaan-lah
yang membedakan mereka. Rakyat dan penguasa juga memiliki persamaan dalam
Islam. Yang demikian ini hingga sekarang belum dicapai oleh sistem demokrasi
modern. Nabi saw sebagai kepala negara juga adalah manusia biasa, berlaku
terhadapnya apa yang berlaku bagi rakyat. Maka Allah memerintahkan beliau untuk
menyatakan: "Katakanlah bahwa aku hanyalah manusia biasa, hanya saja
aku diberi wahyu, bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa." (QS. 18: 110).
4. Rumusan HAM dalam Islam
Apa yang disebut dengan hak asasi
manusia dalam aturan buatan manusia adalah keharusan (dharurat) yang mana
masyarakat tidak dapat hidup tanpa dengannya. Para ulama muslim mendefinisikan
masalah-masalah dalam kitab Fiqh yang disebut sebagai Ad-Dharurat
Al-Khams, dimana ditetapkan bahwa tujuan akhir syari’ah Islam adalah
menjaga akal, agama, jiwa, kehormatan dan harta benda manusia.
Nabi saw telah menegaskan hak-hak
ini dalam suatu pertemuan besar internasional, yaitu pada haji wada’. Dari Abu
Umamah bin Tsa’labah, nabi saw bersabda: "Barangsiapa merampas hak
seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga."
Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu yang kecil, wahay
rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu
arak." (HR. Muslim).
Islam berbeda dengan sistem lain
dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah tidak boleh diserahkan dan
bergantung kepada penguasa dan undang-undangnya. Tetapi semua harus mengacu
pada hukum Allah. Sampai kepada soal shadaqah tetap dipandang sebagaimana
hal-hal besar lain. Misalnya Allah melarang bershadaqah (berbuat baik) dengan
hal-hal yang buruk. "Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu
kamu nafkahkan dari padanya..." (QS. 2: 267).
1. Hak-hak Alamiah
Hak-hak alamiah manusia telah
diberikan kepada seluruh ummat manusia sebagai makhluk yang diciptakan dari
unsur yang sama dan dari sumber yang sama pula (lihat QS. 4: 1, QS. 3: 195).
a.
Hak Hidup
Allah menjamin kehidupan,
diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS. 5:
32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi: "Apabila
seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan
baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah
mati. Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya
HR. Bukhari).
b.
Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi
Kebebasan pribadi adalah hak paling
asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama dan
menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain. Firman Allah:
"Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka
bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang
beriman semuanya?" (QS. 10: 99).
Untuk menjamin kebebasan kelompok,
masyarakat dan antara negara, Allah memerintahkan memerangi kelompok yang
berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9). Begitu pula hak beribadah
kalangan non-muslim. Khalifah Abu Bakar menasehati Yazid ketika akan memimpin
pasukan: "Kamu akan menemukan kaum yang mempunyai keyakinan bahwa
mereka tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada Allah di biara-biara, maka
biarkanlah mereka." Khalid bin Walid melakukan kesepakatan dengan
penduduk Hirah untuk tidak mengganggu tempat peribadahan (gereja dan sinagog)
mereka serta tidak melarang upacara-upacaranya.
Kerukunan hidup beragama bagi
golongan minoritas diatur oleh prinsip umum ayat "Tidak ada paksaan
dalam beragama." (QS. 2: 256).
Sedangkan dalam masalah sipil dan
kehidupan pribadi (ahwal syakhsiyah) bagi mereka diatur syari’at Islam
dengan syarat mereka bersedia menerimanya sebagai undang-undang. Firman Allah: "Apabila
mereka (orang Yahudi) datang kepadamu minta keputusan, berilah putusan antara
mereka atau biarkanlah mereka. Jika engkau biarkan mereka, maka tidak akan
mendatangkan mudharat bagimu. Jika engkau menjatuhkan putusan hukum, hendaklah
engkau putuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang
adil." (QS. 5: 42). Jika mereka tidak mengikuti aturan hukum yang
berlaku di negara Islam, maka mereka boleh mengikuti aturan agamanya - selama
mereka berpegang pada ajaran yang asli. Firman Allah: "Dan bagaimana
mereka mengangkat kamu sebagai hakim, sedangkan ada pada mereka Taurat yang di
dalamnya ada hukum Allah? Kemudian mereka tidak mengindahkan keputusanmu.
Sesungguhnya mereka bukan orang-orang yang beriman ." (QS.5: 7).
c.
Hak Bekerja
Islam tidak hanya menempatkan
bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang
perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik
yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya
sendiri." (HR. Bukhari). Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti
terlihat dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering
keringatnya." (HR. Ibnu Majah).
2.
Hak Hidup
Islam melindungi segala hak yang
diperoleh manusia yang disyari’atkan oleh Allah. Diantara hak-hak ini adalah :
a.
Hak Pemilikan
Islam menjamin hak pemilikan yang
sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain
yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah sebagian
kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil dan
janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan
sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu
mengetahuinya." (QS. 2: 188). Oleh karena itulah Islam melarang riba
dan setiap upaya yang merugikan hajat manusia. Islam juga melarang penipuan
dalam perniagaan. Sabda nabi saw: "Jual beli itu dengan pilihan selama
antara penjual dan pembeli belum berpisah. Jika keduanya jujur dalam jual-beli,
maka mereka diberkahi. Tetapi jika berdusta dan menipu berkah jual-bei mereka
dihapus." (HR. Al-Khamsah)
Islam juga melarang pencabutan hak
milik yang didapatkan dari usaha yang halal, kecuali untuk kemashlahatan umum
dan mewajibkan pembayaran ganti yang setimpal bagi pemiliknya. Sabda nabi saw: "Barangsiapa
mengambil hak tanah orang lain secara tidak sah, maka dia dibenamkan ke dalam
bumi lapis tujuh pada hari kiamat." Pelanggaran terhadap hak umum
lebih besar dan sanksinya akan lebih berat, karena itu berarti pelanggaran
tehadap masyarakat secara keseluruhan.
b.
Hak Berkeluarga
Allah menjadikan perkawinan sebagai
sarana mendapatkan ketentraman. Bahkan Allah memerintahkan para wali
mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah perwaliannya (QS. 24: 32).
Aallah menentukan hak dan kewajiban sesuai dengan fithrah yang telah diberikan
pada diri manusia dan sesuai dengan beban yang dipikul individu.
Pada tingkat negara dan keluarga
menjadi kepemimpinan pada kepala keluarga yaitu kaum laki-laki. Inilah yang
dimaksudkan sebagai kelebihan laki-laki atas wanita (QS. 4: 34). Tetapi dalam
hak dan kewajiban masing-masing memiliki beban yang sama. "Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari
istrinya." (QS. 2: 228)
c.
Hak Keamanan
Dalam Islam, keamanan tercermin
dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan jaminan keamanan jiwa serta harta
benda. Firman Allah: "Allah yang telah memberi makanan kepada mereka
untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS.
Quraisy: 3-4).
Diantara jenis keamanan adalah
dilarangnya memasuki rumah tanpa izin (QS. 24: 27). Jika warga negara tidak
memiliki tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan baginya. Termasuk
keamanan dalam Islam adalah memberi tunjangan kepada fakir miskin, anak yatim
dan yang membutuhkannya. Oleh karena itulah, Umar bin Khattab menerapkan
tunjangan sosial kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam baik miskin ataupun
kaya. Dia berkata: "Demi Allah yang tidak ada sembahan selain Dia,
setiap orang mempunyai hak dalam harta negara ini, aku beri atau tidak aku
beri." (Abu Yusuf dalam Al-Kharaj). Umar jugalah yang membawa seorang
Yahudi tua miskin ke petugas Baitul-Maal untuk diberikan shadaqah dan
dibebaskan dari jizyah.
Bagi para terpidana atau tertuduh
mempunyai jaminan keamanan untuk tidak disiksa atau diperlakukan semena-mena.
Peringatan rasulullah saw: "Sesungguhnya Allah menyiksa orang-orang
yang menyiksa manusia di dunia." (HR. Al-Khamsah). Islam memandang
gugur terhadap keputusan yang diambil dari pengakuan kejahatan yang tidak
dilakukan. Sabda nabi saw: "Sesungguhnya Allah menghapus dari ummatku
kesalahan dan lupa serta perbuatan yang dilakukan paksaan" (HR. Ibnu
Majah).
Diantara jaminan keamanan adalah hak
mendpat suaka politik. Ketika ada warga tertindas yang mencari suaka ke negeri
yang masuk wilayah Darul Islam. Dan masyarakat muslim wajib memberi suaka dan
jaminan keamanan kepada mereka bila mereka meminta. Firman Allah: "Dan
jika seorang dari kaum musyrikin minta perlindungan kepadamu, maka lindungilah
ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang
aman baginya." (QS. 9: 6).
d.
Hak Keadilan
Diantara hak setiap orang adalah hak
mengikuti aturan syari’ah dan diberi putusan hukum sesuai dengan syari’ah (QS.
4: 79). Dalam hal ini juga hak setiap orang untuk membela diri dari tindakan
tidak adil yang dia terima. Firman Allah swt: "Allah tidak menyukai
ucapan yang diucapkan terus-terang kecuali oleh orang yang dianiaya." (QS.
4: 148).
Merupakan hak setiap orang untuk
meminta perlindungan kepada penguasa yang sah yang dapat memberikan
perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-wenangan. Bagi penguasa
muslim wajib menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup.
Sabda nabi saw: "Pemimpin itu sebuah tameng, berperang dibaliknya dan
berlindung dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Termasuk hak setiap orang untuk
mendapatkan pembelaan dan juga mempunyai kewajiban membela hak orang lain
dengan kesadarannya. Rasulullah saw bersabda: "Maukah kamu aku beri
tahu saksi yang palng baik? Dialah yang memberi kesaksian sebelum diminta
kesaksiannya." (HR. Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Tirmidzi). Tidak
dibenarkan mengambil hak orang lain untuk membela dirinya atas nama apapun.
Sebab rasulullah menegaskan: "Sesungguhnya pihak yang benar memiliki
pembelaan." (HR. Al-Khamsah). Seorang muslim juga berhak menolak
aturan yang bertentangan dengan syari’ah, dan secara kolektif diperintahkan
untuk mengambil sikap sebagai solidaritas terhadap sesama muslim yang
mempertahankan hak.
e.
Hak Saling Membela dan Mendukung
Kesempurnaan iman diantaranya
ditunjukkan dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya sebaik mungkin, dan
saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah kedzaliman. Bahkan rasul
melarang sikap mendiamkan sesama muslim, memutus hubungan relasi dan saling
berpaling muka. Sabda nabi saw: "Hak muslim terhadap muslim ada lima:
menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar ke kubur, memenuhi undangan dan
mendoakan bila bersin." (HR. Bukhari).
f.
Hak Keadilan dan Persamaan
Allah mengutus rasulullah untuk
melakukan perubahan sosial dengan mendeklarasikan persamaan dan keadilan bagi
seluruh umat manusia (lihat QS. Al-Hadid: 25, Al-A’raf: 157 dan An-Nisa: 5).
Manusia seluruhnya sama di mata hukum. Sabda nabi saw: "Seandainya
Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya." (HR.
Bukhari dan Muslim).
Pada masa rasulullah banyak kisah
tentang kesamaan dan keadilan hukum ini. Misalnya kasus putri bangsawan dari
suku Makhzum yang mencuri lalu dimintai keringanan hukum oleh Usamah bin Zaid,
sampai kemudian rasul menegur dengan: "... Apabila orang yang
berkedudukan di antara kalian melakukan pencurian, dia dibiarkan. Akan tetapi
bila orang lemah yang melakukan pencurian, mereka memberlakukan hukum
kriminal..." Juga kisah raja Jabalah Al-Ghassani masuk Islam dan
melakukan penganiayaan saat haji, Umar tetap memberlakukan hukum meskipun ia
seorang raja. Atau kisah Ali yang mengadukan seorang Yahudi mengenai tameng
perangnya, dimana Yahudi akhirnya memenangkan perkara.
Umar pernah berpesan kepada Abu Musa
Al-Asy’ari ketika mengangkatnya sebagai Qadli: "Perbaikilah manusia di
hadapanmu, dalam majlismu, dan dalam pengadilanmu. Sehingga seseorang yang
berkedudukan tidak mengharap kedzalimanmu dan seorang yang lemah tidak putus
asa atas keadilanmu."
5. Tentang
Kebebasan Mengecam Syari’ah
Sebagian orang mengajak kepada
kebebasan berpendapat, termasuk mengemukakan kritik terhadap kelayakan
Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan hidup manusia modern. Disana terdengar
suara menuntut persamaan hak laki-laki dengan wanita, kecaman terhadap
poligami, tuntutan akan perkawinan campur (muslim-non muslim). Dan bahkan mereka
mengajak pada pemahaman Al-Qur’an dengan mengubah inti misi Al-Qur’an.
Orang-orang dengan pandangan seperti
ini pada dasarnya telah menempatkan dirinya keluar dari agama Islam (riddah)
yang ancaman hukumannya sangat berat. Namun jika mayoritas ummat Islam
menghendaki hukuman syari’ah atas mereka, maka jawaban mereka adalah bahwa
Al-Qur’an tidak menyebutkan sanksi riddah. Dengan kata lain mereka ingin
mengatakan bahwa sunnah nabi saw. Tidak memiliki kekuatan legal dalam syari’ah,
termasuk sanksi riddah itu.
Untuk menjawab hal ini ada beberapa
hal penting yang harus dipahami, yaitu :
Ø
Kebebasan
yang diartikan dengan kebebasan tanpa kendali dan ikatan tidak akan dapat
ditemukan di masyarakat manapun. Ikatan dan kendali ini diantaranya adalah
tidak dibenarkannya keluar dari aturan umum dalam negara. Maka tidak ada
kebebasan mengecam hal-hal yang dipandang oleh negara sebagai pilar-pilar pokok
bagi masyarakat.
Ø
Islam tidak
memaksa seseorang untuk masuk ke dalam Islam, melainkan menjamin kebebasan
kepada non-muslim untuk menjalankan syari’at agamanya meskipun bertentangan
dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, manakala ada seorang muslim yang mengklaim
bahwa agamnya tidak sempurna, berarti ia telah melakukan kesalahan yang diancam
oleh rasulullah saw: "Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah
ia." (HR. Bukhari dan Muslim).
Ø
Meskipun
terdapat kebebasan dalam memeluk Islam, tidak berarti bagi orang yang telah
masuk Islam mempunyai kebebasan untuk merubah hukum-hukum yang ada dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ø
Dalam Islam
tidak ada konsep rahasia di tangan orang suci, dan tidak ada pula kepercayaan
yang bertentangan dengan penalaran akal sehat seperti Trinita dan Kartu
Ampunan. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi penentang Islam untuk keluar
dari Islam atau melakukan perubahan terhadap Islam.
Ø
Islam
mengakui bahwa agama Ahli Kitab. Dari sini Islam membolehkan laki-laki muslim
menikahi wanita Ahli Kitab, karena garis nasab dalam Islam ada di tangan
laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar