Suku Tolaki merupakan suku terbesar yang mendiami daratan pulau Sulawesi bagian Tenggara.
Suku Tolaki merupakan suku asli daerah Kabupaten Kendari dan Kolaka.
Keberadaan Etnis Tolaki tersebar di 7 kabupaten dan kota yang ada di Sulawesi Tenggara seperti :
Kota Kendari
Kabupaten Konawe
Konawe Selatan
Konawe Utara
Kolaka
Kolaka Utara
Kolaka Timur
Masyarakat Suku Tolaki sejak zaman prasejarah diketahui telah ada dan memiliki jejak peradaban
Bukti
ini diperkuat setelah berbagai peninggalan arkeologi di ketemukan pada
beberapa gua di wilayah Konawe bagian utara seperti :
Asera
Lasolo
Wiwirano
Langgikima
Lamonae
Gua gua tersebut diantaranya
Gua Tanggalasi
gua Tengkorak I
gua Tengkorak II
gua Anawai Ngguluri
gua Wawosabano
gua Tenggere
gua Kelelawar
Dan beberapa gua prasejarah lainnya yang belum teridentifikasi.
Peradaban Suku Tolaki di wilayah Konawe diperkirakan telah berlangsung sejak 5000 tahun Sebelum Masehi.
Secara linguistik Bahasa Tolaki digolongkan kedalam rumpun bahasa Austronesia
Dan
secara Antropologi manusia Tolaki menjadi bagian dari Ras Mongoloid,
yang datang melalui jalur migrasi Asia Timur menuju daerah Sulawesi,
hingga akhirnya masuk ke daratan Sulawesi Tenggara.
Sebelum adanya kerajaan Konawe , beberapa kerajaan kecil dipercaya telah terlebih dahulu ada, diantaranya :
Kerajaan Padangguni yang dipimpin oleh raja mokole Bunduwula, Kerajaan Padangguni memiliki kekuasaan atas wilayah Abuki
Kerajaan Besulutu di Besulutu yang dipimpin oleh Rajanya yang bernama Mombeeti
kerajaan Wawolesea di Toreo yang dipimpin oleh Raja Wasangga.
Jauh
sebelum kerajaan Konawe berdiri, Di daerah Konawe telah hadir beberapa
kerajaan kecil, dan kerajaan kerajaan inilah yang dikemudian hari
menjadi satu membentuk kerajaan Konawe.
Hal
ini juga terjadi di beberapa wilayah seperti kerajaan Wolio, Kerajaan
wolio dibentuk oleh beberapa kerajaan kecil seperti kerajaan Kamaru,
kerajaan Tobe-Tobe, dan beberapa kerajaan kecil lainnya yang ada
diwilayah tersebut.
Beberapa kerajaan kecil yang tercatat pernah ada di Wilayah Konawe
Kerajaan Padangguni
Kerajaan
Padangguni , Kerajaan ini berkuasa selama 12 generasi. Raja pertama
kerajaan Padangguni bernama Tolahianga yang bergelar Bundu Wula atau
juga Tanggolowuta akan tetapi sering juga di Gelari Sebagai Sangia Ndudu
Ipadangguni.
Kerajaan Wawolesea
Kerajaan
Wawolesea yang terletak di sepanjang pesisir pantai timur bagian
Tenggara pulau Sulawesi yang sekarang dikenal dengan nama daerah Lasolo.
Kerajaan Wawolesea merupakan keturunan Raja yang berasal dari wilayah Kediri Pulau Jawa.
Kerajaan
Wawolesea tidak berkembang dan maju seperti kerajaan lainnya, Hal ini
disebabkan perang yang terus menerus di wilayah Kerajaan Banggai,
Sulawesi Tengah. Hal lain yang menjadi sebab terhambatnya pembangunan
diwilayah kerajaan ini di percaya oleh penduduk setempat karena Kerajaan
Wawolesea terkena kutukan akibat ulah sang Raja yang telah menjadikan
putrinya sendiri sebagai permasurinya.
Petaka
inilah yang membuat penduduk wilayah tersebut hijrah dan berlayar
menuju beberapa wilayah lainnya, seperti wilayah disemenanjung utara
pulau Buton serta pulau Wawonii.
Kerajaan
Wawolesea memiliki seorang raja yang bernama Rundu Langi, Raja Rundu
langi tidak memiliki pewaris tahta, Hingga kerajaan Wawolesea menjadi
satu dengan kerajaan Konawe.
Kerajaan Besulutu.
Kerajaan
Besulutu, Kerajaan ini dipimpin oleh Rajanya yang bernama Mokole
Mombeeno, Umur kerajaan besulutu sendiri berlangsung sangat singkat hal
ini disebabkan kegemaran sang raja yang selalu ingin berperang dengan
beberapa kerajaan kecil disekitarnya.
Peperangan
yang dipicu dari kesenangan sang raja inilah yang kemudian membuat
rakyatnya terus menerus berkurang, Hingga akhirnya Raja Mokole Mombeeno
ikut terbunuh dalam medan pertempuran tanpa meninggalkan generasi
penerus yang mampu memimpin kerajaan Besulutu tersebut.
Kerajaan Watu Mendonga
Kerajaan Watumendonga, adalah kerajaan yang mendiami hulu sungai Konawe Eha tepatnya di wilayah Tonga Una.
Kerajaan
Watumendonga adalah kerajaan kecil yang kekuasaannya tunduk dibawah
pemerintahan kerajaan Konawe. Namun dibelakang hari menjadi bagian dari
kerajaan Mekongga. Hal ini dikarenakan daerah Konawe bagian Utara
seperti Wilayah Kondeeha, Tawanga dan Sanggona menjadi bagian dari
warisan yang diberikan kepada Wunggabae anak dari Buburanda Sabandara
Latoma yang bernama Buburanda atas pernikahannya dengan Bokeo Teporambe
anak dari Bokeo Lombo-Lombo. Kerajaan Watumendonga terakhir kali
dipimpin oleh Mokole Lapanggili.
Dari
yang tersampai oleh para penutur silsilah para raja, sisa peninggalan
dari kerajaan-kerajaan kecil tersebut masih dapat di temukan, baik itu
peninggalan dalam bentuk arkeologi ataupun juga etnografi, seperti
halnya reruntuhan istana Raja Wawolesea yang ada di wilayah Toreo.
Dari
beberapa sumber sejarah, Keruntuhan kerajaan-kerajaan kecil ini
disebabkan seringnya perang saudara terjadi antara satu kerajaan dengan
kerajaan lainnya semmisal perang yang terjadi antara Kerajaan Padangguni
dengan Kerajaan Besulutu.
Ekspansi
dari kerajaan lain yang datang dari luar wilayah Konawe seperti Bungku
dan Ternate, Munculnya Penguasa baru seperti kerajaan Konawe yang
terdiri dari Penguasa Tiga kerajaan serta peperangan yang melibatkan
kerajaan Wawolesea serta kerajaan Banggai juga disebut sebagai penyebab
utama berakhirnya kekuasaan beberapa kerajaan kecil diwilayah konawe
Keturunan
Mokole Padangguni adalah seorang pemimpin yang selalu berusaha untuk
mengintegrasikankan banyak kelompok di lingkungan masyarakat Tolaki yang
menetap dan tersebar di seluruh wilayah kerajaan Padangguni.
Nama Mokole Padangguni yang disebut adalah Toramandalangi yang digelari sebagai Totongano Wonua.
Dalam
rangka menyatukan kerajaan yang ada di sekitar wilayah konawe Totongano
Wonua ini kemudian memindahkan pusat kerajaan Padangguni ke Wilayah
Unaaha.
Unaaha saat itu dipenuhi oleh orang yang berdatangan dari wilayah Tulambantu.
Mereka meninggalkan wilayah Tulambantu, dan meilih bermukim di Unaaha dikarenakan adanya wabah penyakit.
Kedatangan mereka di pimpin oleh seorang yang bernama Puteo.
di
Inolobu Nggadue Unaaha inilah Totongano Wonua bertemu denan seorang
wanita yang berada di Lalobalongga yang bernama Nanggalamaha.
Setelah Toramandalangi memindahkan pusat pemerintahannya .
seorang putri dengan dikawal 40 orang bersenjata berbaju sirat tiba di unaaha.
Kabar tentang kedatangan putri tersebut kemudian tersiar di kalangan masyarakat Unaaha.
Penyambutan terhadap putri tersebut kemudia dilakukan.
Masyarakat
Unaaha pada masa itu menyebut sang putri dengan nama Sangia Ndudu yang
berarti Dewa yang turun, karena masyarakat Tolaki yang berada diunaaha
sama sekali tidak mengetahui siapa dan darimana sang putri itu berasal.
Kedatangan
sang putri yang dikawal 40 orang itu kemudian akhirnya disampaikan
kepada Totongano Wonua, Totongano Wonua kemudian datang menemui sang
Putri.
Dari
pertemuan Totongano Wonua dan putri inilah Nama sang putri berubah
menjadi Wekoila, Hal ini Dikarenakan penyakit kulit yang diderita oleh
sang putri.
Kata
Wekoila menurut para penutur silsilah para raja terdiri dari dua kata
dimana We adalah sebutan bagi bangsawan perempuan,dan koila artinya
mengkilat.
Wekoila atau juga Watandiyate inilah yang kemudian menikah dengan Ramandalangi putra dari tongano wonua Toramandalangi
Dimana
setelahnya wekoila lalu dilantik sebagai raja/ratu orang Tolaki dan
oleh wekoila inilah nama kerajaan padangguni kemudian berganti menjadi
kekerajaan Konawe
Pusat Kerajaan Konawe yang berawal di wilayah Napo olo oloho, kemudian berpindah dan berpusat di Inolobunggadue Unaaha.
Hal ini terjadi pada awal abad ke 10 masehi.
Catatan :
Menurut
dua orang bersaudara Albert Cristian Kruyt , dan J. Kruyt, serta F.
Treferrs bahwa hal ini juga terjadi di Kerajaan Mekongga Kolaka dimana
Wekoila dan Larumbalangi diceritakan sebagai dua orang bersaudara.
dimana Wekoila adalah kaka sedangkan Larumbalangi adalah adik. dari
Kedua bersaudara inilah raja-raja Konawe, dan Mekongga kemudian lahir
Toramalangi ini di sebut juga dalam kitab sastra Lagaligo sebagai Remangrilangi.
Wekoila
adalah saudara Larumbalangi yang bergelar Sangia Aha. Wekoila ini
bernama Wetendriabeng, yang oleh masyarakat Tolaki lebih dikenal dengan
nama Walandiate atau juga Watandiabe
Dikarenakan
cara bertutur orang Tolaki dan orang Bugis tidaklah sama dalam hal
pengucapan, maka Wetendriabe perlahan berubah menjadi Watandiyate.
****
Suku
Tolaki yang menjadi bahasan utama Artikel ini, Secara geografis
masyarakatnya mendiami bagian tenggara daratan Sulawesi dan didalam peta
indonesia wilayah ini
disebut Provinsi Sulawesi tenggara.
Secara
Garis besar, Masyarakat Suku Tolaki menjadi Etnis terbesar pada
beberapa daerah kabupaten dan Kota disulawesi tenggara diantaranya
Kabupaten Konawe, Kota
Kendari,
Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Kolaka,
Kabupaten Kolaka Utara, dan Kabupaten Kolaka Timur. kabupaten kabupaten
tersebut
kesemuanya berada di daerah daratan Sulawesi bagian Tenggara.
Suku
Tolaki dapat dikatakan salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi
Sulawesi Tenggara di samping suku suku lainnya seperti Suku Buton, Suku
Muna Suku Mornene dan lainnya.
Masyarakat
Suku Tolaki tersebar di Kab. Kendari (Asera, Lasolo, Wawotobi, Abuki
dan Tinanggea) dan Kab. Kolaka (Mowewe, Rate-rate dan Lambuya)
Suku
Tolaki Umumnya menafkahi hidup dengan cara bertani, Dan dalam
bermasyarakat Suku tolaki terkenal memiliki rasa persaudaraan serta
semangat gotong royong yang
tinggi.
Asal KataTolaki
Dari berbagai Sumber, Kata Tolaki memiliki arti dan sejarah dimana kata Tolaki diambil dari dua kata yaitu :
TO
yang berarti orang atau manusia sedangkan kata LAKI berarti laki-laki,
merujuk dari Dua Kata tersebut maka kata 'TOLAKI' dapat di artikan
sebagai manusia yang
memiliki sifat kejantanan yang tinggi, Ksatria, berani serta menjunjung tinggi nilai nilai kehormatan diri (harga diri).
Orang Tolaki pada awal mulanya menyebut dirinya sebagai Tolohianga (orang dari langit).
Pengertian
kata “langit” disini tak lain adalah “kerajaan langit” seperti yang ada
pada budaya China. Hal ini Erat kaitannya dengan penggunaan kata “hiu”
yang dalam
bahasa China Kata ini berarti “langit” sedangkan kata “heo” (dalam bahasa Tolaki) dapat pula berarti “ikut pergi ke langit”.
Kalosara dalam Suku Tolaki
Dalam
hal Suku adat dan budaya, dapat dipastikan hampir semua manusia dan
masyarakat memilikinya, Hanya saja Lingkungan, alam dan manusianya
masing masing berbeda
hingga
faktor inilahnya yang kemudian ikut mempengaruhi serta melahirkan
Keberagaman budaya itu sendiri, seperti yang ada di bumi Nusantara
indonesia.
Suku
Tolaki yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara, dalam adat serta
budayanya mmiliki simbol adat yaitu “Kalo.‘ Dalam tradisi masyarakat
Tolaki disebut Kalosara.
Simbol
Kalo yang terbuat dari bahan rotan ini dibentuk secara melingkar,
Menjadi simbol persatuan dan kesatuan Suku Tolaki. Masyarakat Mekongga
dan Tolaki sangat paham makna kalo, untuk itu Makna Kalo selalu
digunakan untuk menyelesaikan masalah masalah sosial yang terkadang
timbul ditengah masyarakat.
Makna dan arti Kalo sara
Kalo (Lingkaran)
Secara
harfiah, Kalo adalah simbol dari sebuah benda yang berbentuk melingkar
(lingkaran). Sebagai benda yang berbentuk lingkaran, Kalo terbuat dari
bahan rotan, Namun
dibeberapa
tempat Kalo dapat ditemui terbuat dari bahan lainnya, seperti emas,
besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan
sebagainya.
Konsep
dari Simbol Kalo dalam kebudayaan suku Tolaki memiliki makna dan ruang
lingkup yang sangat luas. Secara garis besarKalo meliputi 'o sara' (adat
istiadat),
terkhusus
'sara owoseno tolaki' atau sara mbu’uno tolaki, yaitu adat pokok, yang
menjadi sumber dari segala yang terkait adat-istiadat suku Tolaki yang
diterapkan
dalam segala aspek kehidupan masyarakatnya.
Kalo adalah adat pokok yang dapat digolongkan ke dalam segala unsur adat pokok yang disebut :
1. Sara wonua : adat pokok dalam unsur pemerintahan;
2. Sara mbedulu : adat pokok dalam hubungan kekerabatan, kekeluargaan serta persatuan pada umumnya;
3. Sara mbe’ombu : adat pokok dalam hal aktivitas agama serta kepercayaan;
4. Sara mandarahia : adat pokok dalam pekerjaan yang terkait dengan keahlian serta keterampilan;
5.
Sara monda’u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti : adat
pokok dalam kegiatan brtani,berladang, berkebun, beternak, berburu,
ataupun menangkap ikan.
Bagi Masyarakat Suku Tolaki , Kalo adalah pedoman yang besar pengaruhnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Tingkat
kalo pada nilai nilai budaya adalah sistem norma adat yang sangat
berfungsi dalam hal mewujudkan ide ide yang mengkonsepsikan hal utama
yang paling bernilai
dalam kehidupan masyarakat tolaki.
Pada
tingkatan aturan khusus,kalo menjadi bagian yang mengatur segala
aktivitas yang sangat jelas dan memiliki batas batas serta ruang lingkup
dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dalam
konsep Kalo yang mengatur aktivitas tersebut dikenal dengan istilah
Meraou, yaitu aturan khusus yang mengatur setiap individu dalam bertutur
serta berbahasa yang mengedepankan sopan santun (tata krama)
Atora, yaitu aturan khusus dalam komunikasi sosial.
Simbol
Kalo secara antropologis adalah bagian dari kebudayaan yang menjadi
unsur utama dalam kebudayaan masyarakat Tolaki, sehingga mendominasi
segala aktivitas atau
pranata lainnya dalam kehidupan masyarakat Tolaki.
Fokus kebudayaan dari keberadaan masyarakat disebut
cultural
interest atau social interest, yakni suatu kompleks unsuryang ada pada
kebudayaan yang terlihat sangat digemari oleh warga atau masyarakatnya,
Sehingga terlihat seakan ikut mendominasi seluruh kehidupan masyarakat
terkait.
Simbol kalo dan Jenis jenisnya
Berdasarkan
bahan utama pembuatannya serta manfaatnya, maka jenis-jenis Kalo
terbagi beberapa jenis dimana masing-masing jenis kalo tersebut memiliki
maksud serta arti
yang berbeda.
Berikut jenis kalo, bahan, manfaat serta artinya :
Kalo yang terbuat dengan menggunakan bahan dasar rotan
Kalo jenis ini ada yang disebut Kalosara, yaitu Kalo yang difungsikan sebagai alat dalam upacara seperti :
Upacara dalam rangka perkawinan adat
upacara dalam rangka pelantikan raja atau pemimpin
upacara dalam hal menyambut tamu penting
upacara untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa
Alat bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan usul,saran pendapat kepada pejabat ataupun penguasa
alat untuk menyampaikan undangan penyelenggaraan pesta keluarga.
Untuk
Kalosara jenis ini dalam penggunaan atupun pemanfaatannya dilengkapi
dengan wadah anyaman yang bahannya diambil dari tangkai daun palem serta
memakai kain putih
sebagai alas.
Kalo yang bahan utamanya terbuat dari emas yang biasa juga disebut Kalo eno-eno
Kalo jenis ini difungsikan sebagai alat dalam upacara sesaji
alat
tebusan atas pelanggaran janji untuk melangsungkan upacara peminangan
gadis dalam rangkaian perkawinan, sebagai salah satu dari mas kawin,
serta dikenakan sebagai kalung perhiasan bagi mempelai wanita.
Kalo yang bahan utamanya terbuat dari besi
Jenis kalo yang dimaksud ini ini disebut dengan Kalo kalelawu
Kalo kalelawu digunakan atau difungsikan sebagai cincin pada hidung kerbau.
Kalo yang bahan utamanya terbuat dari perak disebut Kalo sambiala, Kalo bolosu, dan Kalo o langge
yaitu Kalo yang masing-masing digunakan sebagai bagian dari perhiasan
dada, Gelang tangan, Gelang kaki, yang biasa dikenakan baik bagi anak-anak maupun bagi remaja putri.
Kalo
yang bahan utamanya terbuat dari benang atau yang biasa disebut Kalo
kale-kale ¸ Digunakan sebagai alat pengikat pergelangan pada tangan dan
kaki bayi
dan Kalo ula-ula yang digunakan sebagai alat menyampaikan kabar tentang adanya orang yang meninggal dunia.
Kalo dari bahan kain putih disebut Kalo lowani, yaitu Kalo yang dipakai di kepala sebagai tanda berduka cita atau berkabung
Kalo
dari bahan kain biasa disebut Kalo usu usu , yaitu jenis Kalo yang
difungsikan pada bagian kepala sebagai pengikat ataupun penutup kepala
bagi orang orang tua.
Kalo
yang bahan utamanya terbuat dari akar atau kulit kayu atau yang biasa
disebut Kalo pebo, Kalo pebo adalah Kalo yang digunakan sebagai pengikat
pada pinggang bagi orang dewasa
Kalo yang khusus terbuat dari akar bahar disebut Kalo kalepasi , adalah Kalo yang digunakan sebagai perhiasan untuk orang dewasa
Kalo
dari akar hawa disebut juga Kalo parahi atau Kalo mbotiso , yaitu Kalo
yang difungsikan sebagai pemberi tanda/patok atas kepemilikan
tanah/lahan hutan yang akan diolah menjadi sebidang ladang pertanian
maupun perkebunan.
Kalo
yang bahan utamanya terbuat dari daun pandan disebut Kalo kalunggu ,
Kalo kalungu adalah Kalo yang dipakai sebagai pengikat kepala bagi gadis
gadis remaja.
Kalo
yang bahan utamanya terbuat dari bambu disebut Kalo kinalo , adalah
Kalo yang difungsikan sebagai penjaga ladang/kebun serta tanam tanamanan
yang ada di dalamnya.
Kalo
yang bahan utamanya terbuat dari kulit kerbau ini disebut juga Kalo
parado , adalah Kalo yang dimanfaatkan para pemburu sebagai jerat untuk
menangkap kerbau kerbau
liar.
Makna Kalo (Makna Lingkaran) dari berbagai sudut pandang
Kalo
adalah simbol bagi masyarakat suku Tolaki-Mekongga dalam memandang
kehidupan. Kalo yang terbuat dari jalinan tiga rotan pilihan serta
berwarna kuning mengandung berbagai Arti dan makna bagi Masyarakat suku
Tolaki dan Mekongga.
1. Bentuk Lingkaran pada Kalo melambangkan kesatuan rohani serta jasmani dari unsur manusia seutuhnya
2.
Jalinan rotan yang terdiri atas tiga jalur dengan satu simpul pada
kedua ujung rotan melambangkan kesungguhan atau keharusan untuk bersatu
antara Tuhan dan pemerintahan serta rakyat.
3.
Adapun Kain berwarna putih yang keberadaannya ditempatkan sebagai bagin
dari alas pertama dari simbol Kalo tersebut melambangkan hal yang
terkait dengan kesucian, ketentraman, kesejahteraan serta lambang
kemakmuran.
4.
Talang persegi empat yang terbuat dari anyaman berbahan daun palem
hutan sebagai alas dasar dari Kalo tersebut melambangkan unsur kesucian
terhadap air dan sumber mata angin yang senantiasa memberi kehidupan
serta kesegaranbagi rohani dan jasmani tiap tiap manusia.
Simbol
Kalo itu bilamana diletakkan bersamaan dengan segenap kelengkapannya
pada upacara adat (Kalo sara), selain sebagai syarat upacara hal ini
juga menunjukkan cara
suku
Tolaki menempatkan manusia serta alam semesta pada tatanan nilai nilai
budaya, terkait norma-norma, sistem hukum serta segala aturan khusus
yang berlaku.
Bagi suku Tolaki-Mekongga, Kalo merupakan simbol dari tiga komponen stratifikasi sosial.
1. Golongan bangsawan disimbolkan dengan lingkaran rotan
2. Golongan orang kebanyakan disimbolkan dengan kain putih
3. Golongan budak disimbolkan dengan wadah anyaman.
Lingkaran
rotan yang berada pada posisi atas dari kain putih serta wadah anyaman
memberi arti bahwa golongan bangsawan itu adalah pemerintah dan penguasa
berkewajiban memberi perlindungan pada golongan orang kebanyakan serta
golongan budak.
Kain
putih yang letaknya berada pada posisi di bawah dari rotan yang
berbentuk lingkaran dan posisinya berada di atas wadah memberi arti
bahwa golongan orang kebanyakan/pemangku adat itu adalah pendukung
golongan bangsawan dan menjadi pembela dari golongan budak/rakyat
jelata.
Adapun
wadah yang terbuat dari bahan anyaman serta berada di bawah posisi kain
warna putih serta lingkaran rotan, memberi arti bahwa golongan budak
maupun rakyat jelata menjadi bagian dari segenap pendukung golongan para
pemangku adat serta pemuja golongan bangsawan.
Dalam
keterkaitannya dengan kosmologi serta sistem keagamaan masyarakat
Tolaki, Kalo mengandung tiga bagian , yaitu Kalo sebagai simbol dalam
mengekspresikan bentuk dan tatanan alam semesta berikut isinya, baik
yang ada di alam nyata maupun itu yang ada di alam gaib, serta bentuk
tubuh manusia dan susunannya;
Symbol Kalo dalam proses upacara adat merujuk pada cara pandangan masyarakat Tolaki bahwa Kalo merupakan benda yang sacral
Bentuk lingkaran rotan menjadi simbol dunia atas
Kain putih menjadi simbol dunia bagian tengah
Wadah anyaman adalah simbol dunia bawah.
Tak sedikit masyarakat tolaki ada yang mengartikan bahwa
Rotan yang melingkar itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang;
Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol SANGIA MBU‘U (Dewa tertinggi yakni Allah Taala)
SANGIA I LOSOANO OLEO (Dewa yang ada di bagian Timur) dan SANGIA I TEPULIANO WANUA (Dewa penguasa kehidupan yang ada di bumi)
Sedangkan wadah yang terbuat dari anyaman merupakan simbol SANGIA I PURI WUTA (Dewa yang berkuasa di dasar bumi)
Kalo juga disebut sebagai simbol dari manusia.
Dimana
Lingkaran rotan adalah gambaran dari kepala manusia, kain putih adalah
simbol dari bagian tubuh dan adapun wadah anyaman di simbolkan sebagai
bagian tangan
dan kaki.
Dalam
berbagai upacara adat di tengah masyarakat tolaki, Kalo adalah bagian
terpenting. Tanpa adanya Kalo, maka suatu upacara tidak dapat
dilangsungkan, hal ini dikarenakan
Kalo menjadi inti dari upacara.
Kalo
dalam hal ini mengekspresikan unsur utama upacara yang sifatnya adalah
timbal balik serta dapat menggambarkan maksud juga tujuan dari proses
sebuah upacara.
Bentuk lingkarannya adalah lambang persatuan dan kesatuan,
Kain putih di lambangkan sebagai kesucian serta ketentraman
Wadah anyamannya yang terbuat dari tangkai daun palem sebagai lambang kemakmuran juga kesejahteraan.
Bagi Masyarakat Tolaki, Kalo merupakan benda sakral yang merupakan representasi dari leluhur mereka.
Bagi Masyarakat Tolaki menghargai, mensucikan dan mengkeramatkan Kalo, berarti mentaati ajaran leluhur.
Hal
itu berarti juga dapat membawa keberkahan di kehidupan mereka. Adapun
sebaliknya, Jika tidak dapat menghargai serta mensucikan Kalo berarti
tidak menghargai ajaran leluhur, kualat, serta kedurhakaan.
Kesimpulan terakhir
Suku
adat dan Kebudayaan Nusantara itu sangat beragam, dan keberadaannya
menyebar diseluruh daerah di Indonesia. Keunikan budaya masing-masing
antara satu daerah
dengan daerah lainnya itu banyak yang berbeda
Demikian juga dengan yang ada di Sulawesi Tenggara dimana suku Tolaki berada.
simbol kalo dalam tradisi inilah yang menjadi pemersatu serta sumber hukum didalam adat isti adatnya.
Sungguh
sangat sarat dengan pesan serta maknanya Hal inilah yang perlu untuk
terus dilestarikan oleh generasi muda pewaris bangsa, sebagai bagian
dari jati diri suku
bangsa yang berbudaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar