ads head

Advertisement

Kamis, 15 Februari 2018

Pentingnya Pendidikan Seksual di Sekolah dalam Perspektif Sosiologi

Pentingnya Pendidikan Seksual di Sekolah dalam Perspektif Sosiologi

Pendidikan seks merupakan usaha sadar untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang betul-betul matang (well adjusted) dapat menggunakan seksualitasnya dengan bertanggung jawab, sehingga membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan lingkungan/masyarakatnya. (Ary H. Gunawan, 2000:146)

Pada International Conference of Sex Eduction and Family Planning tahun 1962 dicapai kesepakatan, bahwa “tujuan dari pendidikan seks untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang dapat menjalankan kehidupan yang berbahagia karena dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungannya, secara bertanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap orang-orang lain.” Dalam suasana demikian dapat membina keluarga yang utuh serta penuh kasih sayang yang saling harga-menghargai sehingga dapat mendidik anak-anak yang sehat dan bahagia pula. (Ary H. Gunawan, 2000:146)

Dari eksperimen yang dilakukan di Rusia dan Swedia, ternyata tidaklah mudah untuk mengajarkan di sekolah-sekolah, terutama tentang tanggung jawab dari kegiatan seksual (sexual activity) terhadap masyarakat, bila tanpa adanya latar belakang keluarga yang bahagia. Bukti-bukti menunjukkan, bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga bahagia, dikemudian hari dapat membentuk perkawinan dan keluarga yang bahagia pula. (Ary H. Gunawan, 2000:147)

Mengapa perlu pendidikan seks? Hasil survei Mc. Curry di sekolah menengah di USA beberapa waktu lalu menunjukkan, kebanyakan siswa-siswa melontarkan kritik terhadap para orang tua karena tidak pernah memberikan informasi tentang seks kepada anak-anaknya. Dua per tiga dari mereka sama sekali tidak mendapat informasi apa-apa, sedang sisanya hanya mendapatkan penerangan sekadarnya. (Ary H. Gunawan, 2000:147)

Persoalannya sekarang, bagaimana mendidik para kawula muda kearah sikap seksual yang sehat, bila masyarakat dewasa pun  belum sepaham dalam hal ini. Biasanya pendapat-pendapat mengenai pendidikan seks berbeda-beda mulai dari mereka yang menganjurkan untuk sama sekali tidak mencari pengalaman-pengalaman seks, sampai kepada mereka yang menganjurkan kebebasan seks yang seluas-luasnya.

Durkheim juga memiliki perhatian pada kajian pendidikan seksual. Durkheim bersama Jacques AmedeeDoleris (1852-1938) yang berjudul Sur l’EducationSexuelle; Par la Science, Par la Morale etl’Hygiene. Doleris adalah ginekolog (dokter spesialis kandungan dan kebidanan) dari Prancis yang sering bekerjasama dengan Louis Pasteur. Buku ini pertama kalinya di perkenalkan oleh Durkheim dan Dolerispada 28 Februari 1911 di depan Societe Francaise de Philosophie. Ketika itu mereka menginisiasi program pendidikan seks di sekolah.Doleris sendiri ketika itu menjadi anggota dari l’Academie de Medecine di Prancis. Dalam diskusi tersebut terjadi perdebatan yang tajam tentang seksualitas dan normal seksual. Dalam perdebatan tersebut, kalangan dokter menganggap pendidikan seksual sebagai tindakan biologis. Dalam bagian ini, pendidikan seksual dijelaskan kaitannya dengan basis moral dalam masyarakat. Perspektif moral tampak sangat kuat dalam diskusi tentang pendidikan seksual. Pendidikan seksual menjelaskan dua tampak yang harus diperhatikan generasi muda yaitu dampak fisik dan dampak moral. Risiko fisik terkait dengan medis karena masalah seksual yang dialami generasi muda. Adapun risiko moral terjadi pada kasus-kasus kelahiran anak tanpa pernikahan yang sah atau aborsi. Bagian ini juga menjelaskan bagaimana pernikahan menjadi kekuatan moral yang bisa mengintegrasikan masyarakat. Di sisi lain risiko moral dan sosial akan lahir dalam kasus pernikahan yang tidak sah. Generasi muda yang menikah sesuai dengan koridor hokum  sementara mereka yang  melakukan seks komersial diluar pernikahan dianggap sebagai tindakan tidak bermoral. Berbagai pertanyaan ini perlu di jelaskan dalam pendidikan seksual yang diajarkan disekolah. (Rakhmat Hidayat, 2014:96)

Pendidikan seks lebih berkaitan dengan pengetahuan tentang alat refroduksi laki-laki dan perempuan, pembuahan, kehamilan dan kelahiran, perilaku seksual dan hubungan seksual.Jadi, tidak tepat jika ada yang berpendapat bahwa remaja tidak perlu mendapatkan wawasan ini karena khawatir akan melakukan hubungan badan sebelumsaatnya. Sebaliknnya, remaja perlu diberi pengetahuan yang benar sedini mungkin, sehingga mereka bisa bersikap dengan bertindak dengan cara yang benar. Karenanya, untuk membentuk kerangka berpikir yang lebih luas.( Anna Farida, 2014:125-126)

Wacana seksualitas yang berkembang di masyarakat turut memengaruhi praktik pendidikan di sekolah. Sebelumnya, Durkheim (1956) telah menyatakan bahwa sekolah merupakan model miniature masyarakat. Norma sosial yang berlaku di sekolah hamper sama dengan norma sosial yang berlaku di masyarakat umum. “ Pendidikan dilakukan oleh orang dewasa kepada mereka yang belum siap untuk memasuki kehidupan sosial yang nyata. (NanangMartono, 2014:157-158)

Wacana seksualitas dalam pendidikan memiliki sejarah yang sama dengan muncul tenggelamnya wacana seksualitas diruang public lainnya. Di Barat, wacana seksual telah menjadi bahan diskusi di lembaga pendidikan sejak abad ke 20. Materi seksualitas dimasukkan kedalam kurikulum setelah sebelumnya wacana ini tidak mendapatkan tempat di sekolah. Seksualitas tidak sebatas menjadi wacana moralitas, etika, danekonomi, akan tetapi seks juga menjadi bahan diskusi penting dari aspek kesehatan. Inilah yang kemudian memicu wacana seksualitas masuk dalam ranah pendidikan karena ia terkait dengan masalah sosialisasi mengenai kesehatan (reproduksi), perkembangan psikologis, moralitas anak, serta penegakan etika dan normal sosial. “Seksualitas bukan sekadar fakta individu, namun ia merupakan sebuah konsep budaya.Setiap individu tidak dilahirkan sebagai makhluk seksual, namun ia belajar bagaimana menjadi diri mereka dengan bertindak sesuai peran budaya. (Nana Martono, 2014:158-159)

Foucault melihat bahwa sekolah menjadi tempat efektif untuk mengembangkan dan menyosialisasikan wacana ini. Dalam pandangan Foucault (1976) anak-anak merupakan makhluk yang sangat “seksual”, dan seksualitas merupakan sesuatu yang berbahaya bagi anak-anak, sehinggah arus dipantau dan di kendalikan. Seksualitas anak menjadi pusat perhatian utama, misalnya dalam hal: pembagian kelas di sekolah, pembagian asrama, pengaturan rekreasi, bentuk tempat tidur (ditutup dengan pintu atau cukup dengan tirai), aturan mengenai kegiatan mereka di malam hari. Semua ini diatur sedemikian rupa, sehingga sekolah dan keluarga harus selalu mengawasi mereka. (Nana Martono, 2014:159)

Menurut Miller (1993) dan Middleton (1998), di era 1990 anwa cana seksualitas mulai terbuka lebar untuk masuk di ruang-ruangsekolah. Siswa mulai dikenalkan dengan berbagai kosakata yang berkaitan dengan wacana ini termasuk kosa kata homo seksual, gay dan lesbian. Padahal sebelumnya kosa kata ini tidak mendapat tempat dalam materi pelajaran di kelas. Membicarakan homo seksual bukanlah hal tabu lagi. ((Nana Martono, 2014:160)

Standar Pendidikan Seksualitas Nasional, yang dikembangkan oleh para ahli di bidang pendidikan kesehatan masyarakat dan seksualitas, sangat dipengaruhi oleh dan disesuaikan dengan Standar Nasional Pendidikan Kesehatan (Health Education Education Standards - NHES). NHES dikembangkan untuk membangun, mempromosikan dan mendukung perilaku peningkatan kesehatan bagi siswa di semua tingkat kelas dari pra taman kanak-kanak sampai kelas 12. Mereka menyediakan kerangka kerja bagi guru, administrator, dan pembuat kebijakan dalam merancang atau memilih kurikulum, mengalokasikan sumber pembelajaran , dan menilai prestasi dan kemajuan siswa. Kebanyakan dari mereka memberikan harapan konkret untuk pendidikan kesehatan. Sementara NHES meletakkan dasar untuk pendidikan kesehatan, Standar Pendidikan Seksualitas Nasional (National Sexuality Education Standards - NSES) memberikan panduan minimum tentang konten dan keterampilan penting untuk membantu siswa membuat keputusan tentang kesehatan seksual. ((Mary Beth Szydlowski, 2015)

Perilaku seks bebas remaja saat ini sudah cukup parah. Peranan agama, dan keluarga sangat penting mengantisipasi perilaku anak remaja rentan resiko gangguan kesehatan. Pembinaan pendidikan formal (sekolah), sekolah sebagai lingkungan kedua setelah keluarga memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam pembinaan sikap mental, pengetahuan dan keterampilan anak. (Erni, 2013)
Seluruh Pendidikan menurut Emile Durkheim dianggap sebagai pendidikan moral (all education is moral education). Durkheim mendefinisikan moralitas sebagai satu set tugas dan kewajiban yang memengaruhi perilaku individu. Gagasan awal moralitas yang dikaitkan dengan keyakinan agama,pendidikan moral yang sangat menentukan masa depan kohesivitas suatu masyarakat. (Rakhmat Hidayat, 2014)

Dari segi perspektif sosiologi yang digunakan yaitu Functionalist Hidden Curriculum bahwa penting untuk mempelajari perilaku sosial yang sesuai dengan kehidupan sosial ini mengajarkan moral anak-anak. Sekolah bertindak sebagai jembatan antara keluarga dimana nilai dan tradisi particular mendominasi dan masyarakat luas dimana nilai-nilai universalistik meluas. Murid belajar bahwa penghargaan berbeda diperoleh untuk tingkat pencapaian yang berbeda dan ini mendorong kompetisi. Sistem dilihat sebagai ‘adil’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklan