ads head

Advertisement

Kamis, 01 Februari 2018

Adab dan Metode Menyampaikan Nasihat (Dakwah)

Menyampaikan  nasihat adalah  bagian  dari kerja dakwah. Dalam berdakwah tidak  boleh  ada  yang  ditutup-tutupi  (disembunyikan),  semua  kebenaran harus  disampaikan,  walaupun  mungkin  akan berdampak buruk  bagi  yang menyampaikan,  seperti sabda  Rasulullah saw.,”Katakanlah yang benar walaupun terasa pahit”. Namun demikian, semua  pekerjaan  harus dikerjakan dengan cara yang terbaik. Begitu juga dengan dakwah. Memberikan nasihat kepada   orang  lain  harus  memperhatikan  banyak  aspek,  terutama  objek dakwah, yaitu orang yang akan kita beri nasihat (umat).

Orang yang akan kita nasihati adalah manusia yang memiliki beragam  adat, budaya,  kecenderungan, pengetahuan,  dan  latar  belakang  sosial lainnya. Semua  itu membuat manusia  menjadi  makhluk  unik yang  harus  didekati dengan cara yang berbeda-beda juga.

Oleh karena  itu, untuk  mengoptimalkan hasil dakwah  dan  meminimalisasi dampak buruknya, perlu diperhatikan adab berikut ini.

1.   Disampaikan dengan cara santun dan lemah lembut;
Dalam banyak ayat Allah Swt. mengajarkan kita bagaimana menyampaikan dakwah atau  nasihat  kepada  orang  lain dengan cara santun  dan lemah lembut, di antaranya dalam ayat berikut.
”Maka  disebabkan  rahmat  dari Allah-lah kamu  berlaku  lemah  lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” (Q.S. ²li 'Imr±n/3:159)
Ayat di atas menunjukan bahwa dalam memberikan nasihat janganlah kita berlaku kasar, egois, sok tahu, merasa paling benar, apalagi memojokkan, mereka  pasti tidak akan bersimpati  kepada  kita  bahkan  tidak mau lagi menggubris nasihat  kita. Lebih lanjut  terkait  dengan strategi  dakwah, simaklah ayat berikut!
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah  mereka dengan  cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui  tentang  siapa yang tersesat dari jalan-nya dan Dialah yang lebih mengetahui  orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. An-N±hl/16:125).
Dalam ayat di atas terdapat beberapa adab bertausiyah  atau berdakwah, seperti yang disebutkan  di bawah ini.
a.   Disampaikan dengan hikmah (bijak);
b.   Jika berbentuk nasihat  lisan, hendaknya  disampaikan  dengan cara yang baik;
c.   Jika harus bertukar argumen (debat, diskusi, atau dialog), hendaknya dilakukan dengan cara terbaik;
d.   Menghargai   perbedaan.  Ketika  kita   bertukar   argumen  dengan orang  yang  kita nasihati,  kemudian  tidak  terjadi  titik temu, hargai pendapat mereka, dan tidak semestinya  kita memaksa mereka untuk tunduk  kepada  pendapat dan ajakan kita. Dakwah adalah  mengajak dengan cara santun, bukan memaksa, karena Rasulullah pun dilarang memaksa,”Kamu bukanlah  seorang pemaksa  bagi  mereka”  (Q.S. al- Ghasyiyah/88:22).
2.   Memperhatikan  tingkat pendidikan.
Tingkat  pendidikan   dan   kemampuan  berpikir  objek   dakwah   harus menjadi pertimbangan dalam menyampaikan dakwah billisan, Rasulullah bersabda:  “Berbicaralah dengan manusia sesuai dengan kadar akal (daya pikir) mereka”(H.R. Dailami).

3.   Menggunakan bahasa yang sesuai.
Bahasa yang  digunakan  hendaknya  bahasa  yang  dapat  dipahami  dan sesuai  dengan tingkat  intelektual  objek  dakwah.  Ketika berbicara   di hadapan kalangan  masyarakat  awam,  gunakan  bahasa  yang  berbeda dengan yang digunakan  untuk berceramah di hadapan kaum terpelajar, dan sebaliknya.

4.   Memperhatikan budaya.
Di mana  bumi  dipijak, di situ langit  dijunjung. Pepatah  itu diperlukan dalam   dunia   dakwah.  Seorang   dai  yang   tidak  menghargai  budaya setempat, bukan saja sulit mendapat simpati, tetapi bisa jadi tidak punya kesempatan berdakwah  lagi ketika masyarakat  tersinggung dan merasa tidak dihargai budayanya.
Menghargai budaya bukan berarti melebur ke dalam kesesatan  yang ada dalam  sebuah  masyarakat, akan  tetapi  berdakwah  dengan cerdas  dan cermat  dalam  memilih  pendekatan dan  cara. Mengubah  budaya  yang mengandung kemungkaran harus tetap  dilakukan, tetapi lagi-lagi adalah “cara” yang digunakan harus dipertimbangkan masak-masak.
Di sinilah para dai dituntut untuk memiliki wawasan seluas-luasnya supaya mampu menyikapi setiap permasalahan dengan santun dan bijak.

5.   Memperhatikan tingkat sosial-ekonomi.
Kondisi ekonomi masyarakat sasaran kita berdakwah merupakan  hal yang harus diperhatikan  oleh para dai. Jika secara ekonomi  mereka termasuk dalam  kategori  mustahiq(orang   yang  berhak  menerima  zakat)  karena miskin, jangan didominasi materi tentang kewajiban zakat, tetapi motivasi
lagi menjadi mustahiq, tetapi menjadi muzakk³ (orang yang mengeluarkan zakat) karena sudah mandiri secara ekonomi.

6.   Memeperhatikan usia objek dakwah.
Saling menyayangi dan saling menghormati berlaku dalam segala urusan, apalagi  dalam  urusan  dakwah.  Pada  prinsipnya  semua   orang  punya potensi untuk menerima nasihat dan dakwah kita, tetapi adab kita dalam menasihati   orangtua tidak  bisa  disamakan  dengan menasihati   teman sebaya atau orang yang lebih muda. Jika ini tidak diperhatikan, orangtua yang kita harap mendukung dakwah kita dalam sebuah kampung misalnya, justru akan menjadi  hambatan karena mereka tersinggung dangan  cara kita.

7.   Yakin dan Optimis.
Seorang  dai harus yakin bahwa  yang disampaikan  adalah  nasihat  yang bersumber dari Yang Maha Benar, meskipun disampaikan sesuai dengan yang dipahaminya, dan penuh harap bahwa kebenaran yang disampaikan nantinya akan tegak menggantikan kebatilan. Firman Allah Swt.:
.. (apa yang telah kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari
Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang yang ragu-ragu. (Q.S.
²li 'Imr±n/3:60).
Dan katakanlah: “yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap” Sesungguhnya  yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (Q.S. al- Isr±/17:81).

8.   Menjalin kerja sama.
Dakwah adalah  kerja besar  yang tidak mungkin  dipanggul  sendiri oleh seorang  dai atau  banyak  orang  secara  mandiri  dan  terlepas  dari yang lain. Di antara  sesama  dai perlu ada jaringan dakwah yang terorganisasi dengan baik. Bukan hanya sesama dai, kerja sama juga perlu dijalin dengan pemerintah  sebagai   pemegang  kekuasaan,  dan  juga  dengan  semua lapisan masyarakat. Mereka harus bahu membahu dan saling menopang dalam menjalankan misi mulia ini, menegakkan “amar ma’ruf nahi munkar”. Barangkali inilah salah satu perwujudan dari perintah Allah Swt. berikut:
…Dan  tolong-menolonglah  kamu  dalam  (mengerjakan)  kebajikan  dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa- Nya. (Q.S. al-M±idah /4:2).

9.   Konsekuen dengan perkataan  (keteladanan).
Apa yang kita katakan seharusnya  sama dengan apa yang kita lakukan. Dengan keteladanan kita berharap orang yang kita nasihati mau mengikuti dengan suka rela. Jika kita belum dapat melakukan kebaikan seperti yang kita katakan, jangan kemudian berhenti  berdakwah, tapi jadikan nasihat- nasihat  yang kita sampaikan  itu sebagai  pemicu  dan motivasi agar kita
Singkatnya, kebenaran memang harus tetap  disampaikan meski itu pahit, tetapi  para dai wajib berbekal diri dengan wawasan seluas-luasnya, baik terkait  dengan  materi  dakwah  maupun  dengan  metodenya. Karena hanya dai yang berwawasan luas saja yang dapat memandang perbedaan sebagai  sesuatu  yang  biasa dan  menyikapinya  dengan wajar. Dai yang merasa  paling benar  dan tukang  paksa tidak akan mendapat tempat di hati  umat,  karena  bertentangan  dengan fitrah  manusia,  yaitu  bahwa semua manusia ingin dianggap keberadaannya dan dihargai.
Di sisi lain, dai juga  harus  berusaha  konsekuen  dengan perkataannya, sehingga  dapat  menjadi teladan  yang baik bagi umat. Dalam segala hal, Rasulullah saw.adalah teladan yang paripurna.   Mari kita teladani beliau!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklan