BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Manusia adalah mahluk
sosial yang saling membutuhkan antara
satu dengan yang lain, terutama berkomunikasi dengan menggunakan bahasa. Bahasa
adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis sehingga dapat dipergunakan
sebagai alat komunikasi manusia. Oleh karena itu, manusia dan bahasa tidak bisa dipisahkan satu sama
lain, sebab dengan bahasa manusia dapat menyampaikan perasaan dan keinginannya
kepada orang lain. Manusia dan bahasa memegang peran yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya kedudukan bahasa sebagai unsur
kebudayaan yang selalu ditetapkan pada peringkat pertama. Hal ini bahasa
bersifat universal, yaitu berlaku setiap suku bangsa atau kelompok manusia.
Pada hakikatnya, setiap masyarakat
memiliki sistem dan mereka terus menerus memakai sistem ketika berkomunikasi,
baik ketika berbicara untuk menyampaikan pesan maupun ketika mendengarkan untuk
menerima pesan. Setiap bahasa memiliki kata,
yakni bentuk linguistik atau satu bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri
dalam pemakaian bahasa. Selain itu, setiap bahasa memiliki frasa, yaitu satu kata atau
gabungan dua kata atau lebih yang tidak dapat dipisahkan dan tidak melampaui
batas fungsi. Bahwa juga memiliki kalimat,
yaitu satuan bahasa secara gramatikal terdiri dari satu atau lebih klausa yang
ditata menurut pola tertentu
dan
dapat berdiri sebagai satu kesatuan. Kalimat dibentuk dari kata atau kelompok
kata, seperti di dalam
pembentukannya atau penyusunan kalimat-kalimatnya,
baik itu
bahasa Indonesia, bahasa asing maupun bahasa daerah.
Di Indonesia
selain bahasa Indonesia, terdapat juga bahasa-bahasa daerah dan bahasa Asing, disini ada kemungkinan terjadi
kontak bahasa yang sangat besar. Mackey (dalam Rohmana, 2000:12) memberikan
pengertian bahwa kontak bahasa sebagai pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa
yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontak bahasa terjadi
apabila seorang penutur menguasai dua bahasa atau lebih dengan menggunakan
bahasa yang dikuasainya secara bergantian.
Akibat kontak bahasa dan kedwibahasawan
dapat menimbulkan saling pengaruh antara dua bahasa yang bersangkutan.
Peristiwa kontak bahasa terjadi campur kode tuturan. Kita tidak dapat
memungkiri kenyataan bahwa bangsa kita
terdiri atas beratus-ratus suku dan memiliki bahasa daerahnya masing-masing,
tetapi kenyataan itu tidak mempengaruhi penggunaan bahasa Nasional kita dalam
pergaulan sehari-hari.
Salah satu yang menyebabkan kontak
bahasa adalah bahasa daerah. Oleh karena itu, bahasa daerah merupakan salah satu
warisan budaya Nasional
yang harus dipelihara, dan dibina serta ditumbuh kembangkan agar nilai-nilai
budaya yang dikembangkan tetap hidup dan tumbuh ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Keberadaan
bahasa daerah dalam hubungannya dengan pembakuan bahasa Nasional serta
kepentingan pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa di Indonesia, harus
diselamatkan dari ancaman kepunahan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa
Indonesia menjadi bahasa
baku kedua oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, setelah bahasa daerah atau
bahasa ibu. yang berada di Indonesia,
jika Ada beberapa bahasa daerah khususnya di Sulawesi
Tenggara di antaranya
adalah bahasa Wajo,
bahasa Tolaki, bahasa Muna, bahasa Bajo, bahasa Moronene dan sebagainya.
Bahasa Moronene sebagai salah
satu bahasa daerah yang digunakan sebagai alat komunikasi etnis Moronene di
samping bahasa Indonesia. Hal ini akan memungkinkan terjadinya campur kode
dalam interaksi sosial dengan suku Moronene,
khususnya suku Moronene
yang ada di Kelurahan
Tandebura Kecamatan Watubangga.
Dalam upacara pernikahan di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka terjadinya
campur kode antara bahasa Moronene dengan bahasa Indonsia, dalam tuturan adat, yaitu; (1) Apuno raha (tuan rumah), (2) Sara (tokoh adat), (3) Damotu’a (tokoh masyarakat/yang pernah
menjadi tokoh adat), (4) Pamarenta (pihak pemerintah/kepala desa), (5) Dampekuna-kunahako (orang yang bertanya
kepada tuluwea/tolea ntama), (6) Tuluwea/Tolea ntama (Juru bicara
laki-laki), dan bercampur kode seperti: dakita nta onto ”tampak” i’olota.
Kata ”tampak” di
dalam bahasa Moronene
berarti “lolonto”. Penutur adat (tolea
ntama) menggunakan sebagai kosa kata bahasa Indonesia (campur kode) bahasa Indonesia dalam
menuturkan bahasa adat. Hal inilah yang
menyebabkan keinginan penulis untuk mengkaji/meneliti campur kode khususnya “Campur kode dalam
upacara pernikahan etnis Moronene di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga
Kabupaten Kolaka”.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian yang ada dalam
latar belakang di atas, maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini
adalah “Bagaimanakah campur kode dalam upacara pernikahan etnis Moronene di
Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka”.
1.3 Tujuan
Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah
di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan “Bagaimanakah
campur kode dalam upacara pernikahan etnis Moronene di Kelurahan Tandebura
Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka”.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bahan
masukan sebagai salah satu pusat pembinaan dan pengembangan bahasa untuk
membina dan mengembangkan bahasa daerah dan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan
mempertimbangkan fungsinya masing-masing.
2. Sebagai
bahan pembanding bagi mereka yang berminat untuk mengadakan penelitian yang
lebih rinci tentang kebahasaan.
3. Bahan
informasi bagi penggunaan bahasa daerah yang berhubungan dengan penggunaan
campur kode dalam bahasa Indonesia
dan bahasa Moronene
dalam berkomunikasi.
4. Bagi
guru, penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pembelajaran di sekolah,
terutama di sekolah yang menempatkan bahasa daerah sebagai mata pelajaran
muatan lokal.
1.5 Ruag Lingkup
Ada beberapa tahap-tahap pelaksanaan dalam upacara pernikahan suku Moronene khususnya wilayah yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka.
Adapun tahap-tahap upacara pernikahan suku Moronene
pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Metitiro/mo’ombo
(menjejaki/melirik jodoh)
2. Mongkira-kira
(merencanakan untuk meminang)
3. Mowindahako/modio
ninyapi (tahap meminang resmi)
4. Pontangkia/pompetukanaiha
(membawa/bertanya)
5. Lumanga (penyerahan/menaikan
mahar)
6. Molangarako (proses
kedua pengantin dibawa ke rumah orang tua mempelai laki-laki).
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada bentuk campur
kode yang terjadi pada acara Mowindahako/Modio Ninyapi
(tahap meminang melamar), Pontangkia/Pompetukanaiha (membawa/bertanya), lumanga (penyerahan mahar), dan faktor yang menyebabkan
terjadinya campur kode.
Pada tahap Metitiro/mo’ombo
(menjejaki), Mongkira-kira
(merencanakan untuk meminang), Molangarako (proses kedua pengantin dibawa
ke rumah
orang tua mempelai laki-laki) tidak
memungkinkan terjadinya campur kode pada tahap ini yang dilakukan pihak pria,
yaitu mencari dan merencanakan untuk meminang. Molangarako (kedua pengantin dibawa kerumah orang tua mempelai
laki-laki) pada tahap ini juga tidak memungkinkan terjadinya campur kode karena
pada tahap ini yang dilakukan hanyalah
membaca doa syukuran.
1.6 Batas Operasional
Pemahaman dalam kata operasional dalam
suatu penelitian dipadankan suatu keharusan, pemahaman operasional dalam
penelitian ini adalah untuk mencegah kesimpangsiuran penafsiran operasional
yang digunakan dalam penelitia ini, istilah-istilah tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Campur
kode, yaitu pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan
unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain.
b) Bentuk campur kode adalah penggunaan bahasa daerah yang
bercampur kode dengan bahasa Indonesia yang berbentuk kata, penggabungan kata
dan kalimat yang dilakukan secara sederhana dengan maksud tertentu.
c) Bahasa
daerah adalah bahasa yang berfungsi sebagai alat komunikasi antara warga
masyarakat dilingkungan daerah Moronene
di Kelurahan Tandebura Kecamatan Tatubangga Kabupaten Kolaka.
d) Acara
pernikahan etnis di Kelurahan
Tandebura Kecamatan Watubangga dalam
penelitian ini saya ikut fokus dengan hasil tuturan yang dikeluarkan; (1) Tuluwea/Tolea ntama (juru bicara laki-laki),
(2) Apuno raha (tuan
rumah), (3) Sara (tokoh adat), (4) Damotu’a (tokoh masyarakat/yang pernah
menjadi tokoh adat), (5) Pamarenta
(pihak pemerintah/kepala desa), (6) Dampekuna-kunahako
(orang yang bertanya kepada Tuluwea/Tolea ntama),
dan Potulu (pembawa acara/penengah),
pada saat pertemuan pihak mempelai laki-laki yang datang kerumah mempelai
wanita, dalam pertemuan di bawalah
itu syarat-syarat adat yang dibutuhkan.
e) Tuluwea/Tolea ntama
adalah juru bicara dari pihak laki-laki yang telah ditunjuk langsung dan
dipercaya oleh pihak keluarga laki-laki untuk memediasi pertemuan antara pihak
wanita.
f) Potulu adalah
moderator/pembawa upacara
KAJIAN
PUSTAKA
Dalam kajian teori ini
dijelaskan mengenai; (1) pengertian sosiolinguistik, (2) kajian sosiolinguistik,
(3) kegunaan sosiolinguistik, (4) ruang lingkup sosiolinguistik, (5) pengertian
kontak bahasa, (6) kedwibahasawan dan dwibahasawan, (7) pengertian kode, (8) pengertian campur kode,
(9) bentuk campur kode,
(10) jenis campur kode,
(11) fungsi campur kode, (12) faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode, untuk
menjelaskan persoalan tersebut, berikut ini adalah penjelasannya masing-masing.
2.1
Pengertian
Sosiolinguistik
Istilah Sosiolinguistik terdiri dari
kata “sosio” dan “linguistik”. Sosio sama dengan kata sosial yaitu berhubungan
dengan masyarakat dan fungsi-fungsi kemasyarakatan, kelompok-kelompok masyarakat
dan fungsinya. Linguistik adalah ilmu yang mempelajaridan membicarakan bahasa,
khususnya dalam unsur-unsur bahasa (fonem,
morfem, kata, frasa, klausa dan kalimat) dan hubungan antara
unsu-unsurnya (terstruktur),
termasuk hakikat dan hubungan dalam pembentukan unsur-unsurnya.
Sosiolinguistik ialah kajian yang
menyusun teori-teori tentang hubungan masyarakat dengan bahasa. Sedangkan yang
dimaksud pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam
situasi konkrit.
Sosiolinguistik merupakan kajian seluk
beluk hubungan anake pemakaian bahasa dengan prilaku sosial masyarakat. Berarti
sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem
komunikasi serta bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Sosiolinguistik berusaha mengetahui bagaimana masyarakat
itu terjadi, berlangsung dan tetap ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu
yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek
kajiannya. Sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari
bahasa dalam kaitannya dngan penggunaan bahasa itu di
dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik adalah
ilmu yang mempelajari tentang aspek-aspek bahasa yang digunakan oleh
masyarakat.
2.2 Kajian Sosiolinguistik
Objek kajian bahasa
sosiolinguistik, sebagaimana disebutkan dalam pengertian sosiolinguistik, yaitu
sosiolinguistik dalam penggunaannya di dalam masyarakat. Chaer dan Agustina
(2010:3) menjelaskan bahwa dalam sosiolinguistik bahasa tidak dilihat sebagai
bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat sebagai
sarana interaksi sosial di dalam masyarakat. Konferensi
sosiolinguistik pertama yang pertama berlangsung di Universitas of California,
LA, tahun 1964 telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian
sosiolinguistik. Adapun ketujuh dimensi tersebut, yaitu; (1) identitas sosial penutur, (2)
identitas sosial pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3)
lingkungan tempat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik
dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan
perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6)
tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis penelitian
sosiolinguistik (Ditmar dalam Chaer dan Leonie
Agustina, 2010:7). Dalam
sosiologi disebut pula istilah gregarosness yang berarti manusia
memberi untuk selalu hidup
bersama orang lain. Proses sosialisai antar manusia ini hanya dimungkinkan
karena dengan bahasa manusia dapat mengungkapkan pikiran, perasaan, dan
kehendaknya yang ia bisa
memenuhi hasrat sosialnya seperti berikut ini:
a) Hasrat
berhubungan dengan manusia disekelilingnya. Dalam sosiolinguistik manusia di
sekelilingnya disebut “speech community” (masyarakat
ujar).
b) Hasrat
berhubungan atau menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya.
Tinjauan
sosiolinguistik lainnya adalah bahwa bahasa memungkinkan penuturnya fleksibel
dalam memainkan berbagai hubungan peran sewaktu berkomunikasi. Penutur membatasi diri pada norma-norma hubungan peran
dalam memilih ragam bahasa tertentu. Inilah yang menjadi objek sosiolinguistik,
yaitu siapa yang bertutur kata (variasi),
bahasa apa, kepada siapa, dan tentang siapa.
Dapat disimpulkan bahwa
masyarakat diikuti oleh bahasa, sebab dengan bahasa seseorang dapat
bersosialisai, kita bisa berkomunikasi dengan seseorang hanya karena mereka
bersama kita memiliki cara bertingkah laku yang disepakati. Bahasa dalam arti
sepakat, yaitu
aturan yang mutlak diperlukan yang memungkinkan anggotanya berhubungan satu
sama lain, bahasa daerah adalah lembaga sosial.
2.3 Kegunaan Sosiolinguistik
Setiap
bidang ilmu tertentu mempunyai kegunaan dalam kehidupan praktis. Kegunaan
sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa sebagai alat
komunikasi verbal manusi tentunya mempunyai aturan-aturan tertentu. Dalam
penggunaan sosiolinguistik
memberikan pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa aspek atau segi sosial
tertentu, seperti dirumuskan oleh
Fishman (1967:15) bahwa yang dipersoalkan dalam sosiolinguistik adalah“Who speak, What language, to who, when and
to what end”. Dari rumusan Fishman
itu dapat dijabarkan manfaat atau kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan
praktis.
Pertama-tama sosiolinguistik dimanfaatkan
dalam berkomunikasi atau berinteraksi. Sehingga sosiolinguistik memberikan pedoman untuk
berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa, atau gaya bahasa apa yang
harus kita gunakan jika berbicara dengan orang tertentu. Sosiolinguistik
juga digunakan dalam pengajaran bahasa di sekolah.
2.4
Ruang Lingkup Sosiolinguistik
Adapun
ruang lingkup dalam sosiolinguistik meliputi tiga hal, yaitu bahasa
masyarakat, hubungan antara bahasa dan masyarakat. Cangkupan sosiolinguistik
akan semakin jelas apa bila dibandingkan dengan bidang studi lainya. Sedangkan
ruang lingkup sosiolinguistik dibagi menjadi dua macam, yaitu sosiolinguistik
mikro dan sosiolinguistik makro.
2.4.1
Sosiolinguistik
Mikro
Sosiolinguistik mikro berhubungan dengan
kelompok kecil. Titik pusat pengkajian mikro sosiolinguistik adalah tingkat
ujar (speech act) yang terjadi di
dalam kelompok-kelompok primer menurut sosiolog, dan tingkat ujar itu
dimodifikasi oleh variabel-variabel seperti status keakraban (intimasi), pertalian keluarga, sikap,
dan tujuan antara tiap anggota kelompok.
2.4.2 Sosiolinguistik Makro
Sosiolinguistik makro berhubungan dengan
masalah, prilaku bahasa, dan struktur sosial. Kajian intinya merupakan
komunikasi antar kelompok, barang kali di dalam konteks satu kelompok
masyarakat, misalnya tentang penggunaan bahasa ibu dan bahasa lokal oleh
kelompok-kelompok linguistik minoritas.
2.5
Pengertian Kontak bahasa, Kedwibahasawan dan Dwibahasawan
2.5.1
Pengertian Kontak bahasa
Menurut
Rusyana yang berdasarkan konsep Weinrich (dalam Nine Rusmiati, 2009:136) menyatakan
bahwa dua bahasa atau lebih dikatakan bahwa keadaan kontak bahasa apabila
digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama. Individu pemakai bahasa
atau penutur bahasa itu merupakan kontak bahasa. Kontak bahasa cenderung
mengarah pada gejala bahasa. Kontak
bahasa meliputi segala persentuhan antara beberapa bahasa yang mengakibatkan
kemungkinan terjadinya pergantian pemakaian bahasa oleh seorang penutur dalam
lingkungan sosialnya. Kontak bahasa juga dapat mengakibatkan atau menguntungan berupa
pinjaman kosa kata, di samping akibat yang dirugikan, seperti
penyimpangan-penyimpangan kaidah bahasa, contohnya interferensi. Kontak bahasa yang
dapat menimbulkan interferensi yang sering dianggap sebagai peristiwa negatif,
karena memasukkan unsur-unsur bahasa pertama (B1) ke dalam bahasa Kedua (B2)
atau sebaliknya menyimpang dari kaidah bahasa masing-masing.
Menurut pendapat
Weinrich (dalam Pranomo, 1996:6) menyatakanbahwa interferensi adalah
penyimpangan kaidah salah satu bahasa pada orang dwibahasawan akibat kebiasaan
pemakaian bahasa lebih dari satu.
Berdasarkan
beberapa uraian dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kontak
bahasa adalah penguasaan dua bahasa atau lebih dan menggunakan bahasa secara
langsung maupun tidak lanngsung sehingga menimbulkan interferensi dan transfer
yang dianggap sebagai peristiwa negatif.
2.5.2
Pengertian Kedwibahasawan
Kedwibahasawan biasa disebut
juga dengan istilah (bahasa Inggris:
bilingualisme) dari istilah secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud
dengan (bilingualisme), yaitu
berkenaan dengan pengguna dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara
sosiolinguistik, kedwibahasawan secara umum dapat diartikan sebagai pengguna
dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian. Untuk menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai
kedua bahasa tersebut. Pertama bahasa ibu sendiri (B1), dan yang kedua adalah
bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (B2).
Menurut Suwito (dalam Nurlina, 2013:229) menambahkan
apa bila terdapat dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur
yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam keadaan saling
kontak. Jadi kontak bahasa terjadi dalam diri penutur secara individual. Penggunaan
dua bahasa dapat diartikan menguasai dua sistem
kode, dua dialek, atau ragam bahasa dari bahasa yang sama. Menurut pendapat Weinrich
(dalam Rohmana, 2000:14), yaitu pemakaian dua bahasa secara silir
berganti. Orang yang terlibat dalam praktek pemakaian bahasa itu disebut
kedwibahasawan.
Demikian pula menurut pendapat Rene
apple (dalam Chaer, 2010:88)
menyatakan bahwa apa yang disebut dua bahasa dalam bilingualisme adalah
termasuk juga dua variasi bahasa.
Sedangkan menurut
Bloomfield (dalam Rohmana, 2000:13) menyatakan
bahwa kedwibahasawan ialah gejala penguasaan bahasa kedua dengan derajat
kemampuan yang sama seperti aslinya.
Beberapa pendapat para ahli di atas
peneliti dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kedwibahasawan (bilingualisme) adalah penguasaan dua
bahasa yang erat dalam berinteraksi, hal ini sejalan dengan disampaikan yang
Suwito dan diperkuat oleh Weinrich yang telah disebutkan di atas. Di
antara ke dua bahasa yang dimaksud adalah bahasa pertama dan bahasa kedua.
2.5.3
Pengertian Dwibahasawan
Dwibahasawan
adalah orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa. Menurut Kamus
Bahasa Indonesia I terbit oleh pusat pembinaan dan perkembangan bahasa 1983
(dalam Tarigan,
1987:2) menyatakan bahwa orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa, seperti
bahasa Nasional dan bahasa Asing, bahasa daerah,
bahasa Nasional dan sebagainya
dalam pemakaian dua bahasa.
Sejalan
dengan pendapat (Oestreicher 1974; Communis
dan Swai dalam Tarigan, 1987:4) menyatakan
bahwa dwibahasawan adalah orang yanag dapat mendomenstrasikan penggunaan dua
bahasa yang berbeda tanpa intenfernsi antar kedua proses linguistik itu.
Beberapa
pendapat para ahli di atas
peneliti dapat disimpulkan bahwa perbedaan setiap tingkat dwibahasawan, yaitu tergantung pada
setiap individunya. Dengan ini dapat dikatakan bahwa dwibahasawan itu mampu
mengadakan suatu peranan yang cukup penting dalam perubahan bahasa Indonesia
(BI) sebagai bahasa kedua. Sebagai kontak bahasa, di samping kontak budaya,
akan terjadi ambil-mengambil atau pindah memindah pemakaian unsur-unsur bahasa
dan dapat pula dikatakan bahwa terjadi suatu pemindahan identitas bahasa.
Dengan kata lain, seorang dwibahasawan telah menggunakan identitas bahasanya
pada bahasa kedua, atau sebaliknya ia mempergunakan unsur-unsur bahasa kedua dalam bahasa sendiri.
2.6 Pengertian kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di
dalam herarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu pada bahasa seperti
bahasa Inggris, Belanda, Jepang, dan Indonesia, juga mengacu pada variasi
bahasa seperti variasi regional bahasa Jawa dialek Banyumas, Jogja-Solo, dan
Surabaya, juga varian kelas dialek di sebut sosial atau sosiolek seperti bahasa
jawa halus dan kasar, varian ragam dan di rangkum gaya dalam laras bahasa
seperti gaya sopan, gaya hormat, dan gaya santai, dan varian kegunaan dalam
register seperti bahasa bahasa pidato, doa, dan lawak. Kenyataan seperti di
atas menunjukan bahwa herarki kebahasaan di mulai dari bahasa level varian
paling di susul atas kode yang terdiri dari atas varian ragam, gaya, dan register. Istilah kode
dimaksud untuk menyebut varian dari herarki kebahasaan. Manusia adalah mahluk
berbahasa (homo lingual) maka yang
dimaksud dengan bahasa adalah alat verba yang dipergunakan oleh manusia untuk
berkomunikasi. Kita dapat menyebut misalnya bahasa Bugis, bahasa Wajo, bahasa Muna, bahasa Tolaki, bahasa Moronene dan lain-lain
yang merupakan bahasa.
Kode
dijabarkan Holmes (dalam Nathaline,
2013:13) menyatakan sebagai salah satu variasi yang terdapat pada suatu
percakapan. Kode adalah suatu yang bersistem baik yang berupa simbol, sinyal,
maupun gerak-gerik isyarat yang dapat mewakili pikiran, perasaan, ide, benda, dan
tindakan untuk di sepakati yang maksud tertentu. Kode juga sebagai media
perantara untuk menyampaikan pesan berupa ide, pikiran, perasaan, dan tindakan
dari suatu pemberi kode kepada penerima kode tersebut.
Menurut
pendapat Syamsudin, dkk (1997:123) menyatakan bahwa kode adalah suatu sistem
tutur yang penerapan unsur ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur,
relasi penutur, dengan lawan bicara dan situasi yang ada. Dengan demikian,
dapat dikatakan dalam kode tersebut terdapat unsur-unsur bahasa seperti kalimat-kalimat,
kata-kata, morfem, dan fonem. Hanya saja ada suatu pembatasan umum yang
membatasi pemakaian unsur-unsur bahasa
tersebut. Pemakaian unsur-unsur bahasa sangat memiliki keistimewaan-keistimewaan. Keistimewaan itu
antara lain terdapat pada bentuk, distribusi, frekuensi bahasa itu. Kode biasa
berbentuk varian-varian bahasa masyarakat bahasa. Bagi suatu eka bahasawan (mongolingual)
kode-kode jadinya adalah varian-varian dari bahasa yang satu tetapi bagi
masyarakat yang dwibahasa atau aneka bahasa (multilingual),
infentarisasi kode itu menjadi lebih luas dan mencangkup varian-varian dua
bahasa atau lebih. Kode-kode dengan
sendirinya mengandung arti yang sifatnya menyerupai arti unsur-unsur bahasa
yang lain (Soedarmo, 1976:3).
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kode dalam
penelitian ini adalah sistem tutur yang menerapkan unsur bahasa sebagai
mediumnya sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan
bicara. Kode juga adalah suatu sistem yang dipakai oleh dua orang atau lebih
untuk berkomunikasi.
2.7
Pengertian Campur Kode
Campur
kode adalah masuknya serpihan-serpihan bahasa lain ke dalam
bahasa yang sedang digunakan (Pageyasa,
2017 pada saat wawacara di Welala).
Oleh karena itu tidak mengherankan bila tempat-tempat tertentu dalam situasi
tertentu seperti ditempat upacara pernikahan maupun di tempat-tempat lainnya
terjadi campur kode sebagai akibat bahasa yang multilingual. Campur kode dalam
pemahaman sebagai gejala adanya saling ketergantungan fungsi kontekstual dan
situasi relevansional di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih. Oleh karena itu, campur kode lebih ditekankan pada gejala pemakaian bahasa
(Djajasudarma, 1994:25). Kemudian gejala lain, yaitu campur kode. Gejala alih kode biasanya diikuti dengan gejala campur
kode, Thelander (1976) dalam Wahida (2008:4) mengatakan apabila di dalam suatu peristiwa tutur terdapat klausa-klausa atau frasa-frasa yang digunakan terdiri dari
klausa dan frasa campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa dan frasa tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi ini
adalah campur kode.
Menurut pendapat Suwito (dalam
Nurlina, 2013:229) mengatakan campur kode, yaitu suatu keadaan berbahasa lain
ialah bilamana orang yang mencampur dua
(atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada
sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam
campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai
bahasa tertentu. Unsur-unsur tersebut dapat berupa kata-kata, tetapi dapat juga
berupa frasa atau kelompok kata. Jika berwujud kata biasanya gejala itu disebut
peminjaman. Hal yang menyulitkan timbul ketika memakai kata-kata pinjaman
tetapi kata-kata pinjaman ini sudah tidak dirasakan sebagai kata asing
melainkan dirasakan sebagai bahasa yang dipakai. Sebagai contoh si A berbahasa
Indonesia. Kemudian ia berkata “sistem operasi komputer ini sangat lambat”.
dari sini terlihat si A banyak menggunakan kata-kata asing yang dicampurkan
kedalam bahasa Indonesia. Namun ini tidak dapat dikatakan sebagai gejala campur
kode atau pun alih kode. Hal ini disebabkan penutur jelas tidak menyadari
kata-kata yang dipakai adalah kata-kata pinjaman, bahkan ia merasa semuanya
merupakan bagian dari bahasa Indonesia karena proses peminjaman tersebut sudah
terjadi sejak lama.
Sementara menurut Fasold (dalam
Wahida, 2008:4) menjelaskan bahwa jika seorang penutur suatu
bahasa menggunakan satu kata atau frasa dari bahasa lain, dia telah melakukan
campur kode. Sejalan dengan pendapat Suwito (dalam
Rohmana, 2000:24) menambahkan
latar belakang terjdinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sikap
(attitudinal typ), yakni
latar belakang sikap penutur dan kebahasaan (linguistik
type), yakni latar belakang keterbatasaan
bahasa sehingga ada alasan indetifikasi peranan, identifikasi ragam, dan
keinginan untuk menjelaskan atau penafsiran. Demikian campur kode terjadi
disebabkan karena hubungan timbal balik peranan penutur, bentuk bahasa, dan
fungsi bahasa.
Menurut
pendapat Nababan (dalam Nurlina,
2013:230) menyatakan bahwa adanya ciriyang
menonjol dalam campur kode ini
adalah yang berupa kesantain atau situasi normal.
Berdasarkan unsur serapan yang
menimbulkan campur kode. Campur kode dibagi menjadi tiga, yaitu:
a) Campur
kode ke dalam
(Innercode-Mixing)
Campur
kode ke dalam menurut Jendra (dalam
Nurlina, 2013:230) menyatakan
bahwa campur kode
ke dalam ialah campur kode yang menyerap
unsur-unsur bahasa daerah yang sekerabat. Umpamanya gejala campur kode pada
peristiwa tuturan bahasa Indonesia
terdapat didalamnya unsur-unsur bahasa daerah atau begitu sebaliknya seperti
bahasa Wolio, bahasa Moronene, bahasa Muna, dan lain-lain.
b)
Campur kode keluar (Outer Code-Mixing)
Campur kode keluar menurut pendapat
Jendra (dalam Nurlina,
2013:230) menyatakan bahwa campur kode keluar
ialah campur kode yang menyerap unsur-unsur bahasa Asing. Misalnya campur
kode pada pemakaian bahasa Indonesia terdapat
sisipan dari bahasa Asing
seperti bahasa Inggris,
bahasa Arab, bahasa Prancis, dan lain-lain.
c)
Campur kode campuran
Campur kode campuran menurut Jendra (dalam Nurlina, 2013:230) menyatakan
bahwa campur kode campuran ialah campur kode (mungkin klausa atau kalimat) yang
telah menyerap bahasa Wolio,
bahasa Moronene, bahasa Muna, bahasa Tolaki, (bahasa daerah)
dan bahasa Asing.
Berdasarkan uraian pendapat para
ahli di atas
maka peneliti dapat menarik Kesimpulan
bahwa campur kode adalah peristiwa percampuran kode dari bahasa Indonesia dalam bahasa
daerah. Misalnya
peristiwa tutur yang melibatkan dua orang, seorang penutur menggunakan kode A (seperti bahasa Moronene) dan dalam
proses campur kode B (bahasa Indonesia)
maka perpidahan pemakaian bahasa seperti itu disebut campur kode (Soedarmo, 1976:6).
2.7.1 Bentuk Campur Kode
Dalam
penelitian ini akan di bahas pula tentang bentuk-bentuk dalam suatu peristiwa
campur kode. Adapun bentuk campur kode tersebut
adalah berupa kata dasar, frasa, serta klausa yang semuanya itu merupakan unsur
yang terdapat dalam analisis sintaksis,
yaitu analisis tentang hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal
yang ditandainya atau analisis tentang makna atau arti dalam bahasa (Chaer,
2002:2).
Kata
dasar adalah kata yang belum mendapatkan tambahan yang berupa imbuhan (afiks)
yang termasuk morfem bebas. Dalam
bahasa Indonesia kita memiliki
empat kategori sintaksis, yaitu: (1) verba atau kata kerja, (2) nomina atau
kata benda, (3) adjektif atau kata sifat, (4) adverb atau kata keterangan
(Alwi, 2003:36). Sedangkan menurut pendapat yang
dikemukakan Putrayasa (2007:3) frasa adalah kelompok atau kata yang menduduki
sesuatu fungsi di dalam kalimat.
Menurut
pendapat Kridalaksana (dalam Putrayasa,
2007:11) menyatakan bahwa campur kode juga terdapat dalam bentuk klausa. Klausa
merupakan satuan gramatikal berupa gabungan kata yang sekurang-kurangnya
terdiri atas subjek dan predikat.
Sedangkan
menurut pendapat Alwi (2003:39) menjelaskan istilah klausa dipakai untuk
merujuk pada deretan kata yang paling tidak memiliki subjek dan predikat,
tetapi belum memiliki intonasi atau tanda baca tertentu.
Untuk
mendapatkan gambaran tentang campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Moronene dalam acara
pernikahan dapat dilihat pada contoh berikut ini:
Penutur
I/Tolea ntama: ngkanaumpem ini (adiie)
masalahanto ?
(Bagaimana ini masalahnya kita?)
Penutur II/Apuno Saha: umbe kato serahan (sarahakomo)
hai adati.
(ia kita serahkan pada adat)
Berdasarkan
kenyataan, kita sering
melihat terjadinya perpindahan kode. Persoalannya adalah mengapa pembicara
segera bercampur kode dengan lawan pembicaranya. Hal ini disebabakan:
a. Adanya
keselipan dari lawan bicara
b. Pembicara
teringat pada hal-hal yang perlu dirahasiakan
c. Salah
bicara
d. Hal
yang sudah direncanakan
27.2 Jenis Campur Kode
Jenis campur kode
menjadi di bagi dua, yaitu: (1) campur kode sementara, dan (2) campur kode
permanen. Campur kode sementara terjadi apabila pemakai bahasa sedang mensitir
kalimat bahasa B2 ketika sedang ber-B1, atau sebaliknya. Sedangkan campur kode
permanen terjadi karena perubahan relasi antara pembicara dengan mitra bicara,
misalnya mitra bicara mulanya sebagai teman akrab tetapi mitra bicara itu sekarang menjadi
atasan,biasanya pembicara mengganti kode bahasa yang dipakainya secara
permanen, karena adanya perubahan status sosial dan relasi kepribadian yang
ada.
2.8 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya
Campur Kode
Sama halnya campur kodepun
disebabkan oleh masyarakat tutur yang multilingual. Campur kode tidak mempunyai
maksud dan tujuan yang jelas untuk digunakan karena campur kode digunakan
biasanya tidak disadari oleh pembicara atau dengan kata lain reflek pembicara
atas pengetahuan bahasa asing yang diketahuinya. Kemudian penyebab terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Sikap yang
melatarbelakangi penutur,
b. Kebahasaan yang melatarbelakangi keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi
ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan Suwito
(dalam Rohmana, 2000:24).
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik
antara peranan penutur, bentuk bahasa,dan fungsi bahasa. Ada
beberapa wujud campur kode di antaranya, yaitu:
a.
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata
b.
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa
c.
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa
d.
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata
e.
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom
f.
Penyisipan unsur-unsur yan
berwujud bentuk baster (gabungan pembentuk asli dan Asing)
Peristiwa
tutur yang mengakibatkan terjadinya campur kode dalam acara pernikahan mengacu
pada kemungkinan terjadinya pada antara bahasa, antara varian, antara ragam,
dan antara budaya. Campur kode dapat juga dikatakan sebagai istilah umum untuk menyebut
pergantian (peralihan) pemakai dua
bahasa atau lebih fungsi kontekstual dan situasi relevansi dinilai cocok.
Menurut Djajasudarma dkk (1994: 24)
bahwa faktor penyebab terjadinya campur kode dalam peristiwa tutur, yaitu: (1) ingin bergengsi, (2) penutur lupa
dengan bahasa daerah sehingga penutur menggunakan bahasa Indonesia, (3) penegasan atau
memperjelas tuturan karena pendengar tidak memahami bahasa daerah, dan (4)
pokok pembicaraan.
Campur kode dipengaruhi beberapa
faktor, di antaranya faktor situsional yang mempengaruhi campur kode, ialah:
a. Siapa yang berbicara dan pendengar
b. Pokok pembicaraan
c. Konteks verba
d. Bagaimana bahasa dihasilkan
e. Lokasi
Berdasarkan kenyataan, kita sering kali melihat terjadinya perpindahan
kode. Persoalannya ialah mengapapembicara
segera bercampur kode kepada lawan pembicaranya ?. Hal ini disebabakan:
a.
Adanya keselipan dari
lawan bicara
b. Pembicara teringat pada hal-hal yang
perlu dirahasiakan
c. Salah bicara
d. Hal yang sudah
direncanakan
Berdasarkan hal tersebut di atas maka Rane Appe
(dalam Pateda, 1987:91) melihat campur kode dari dua aspek, yaitu:
a.
Percampuran kode yang disebabkan oleh faktor-faktor
situsional.
b.
Percampuran kode karena diubah oleh situasi.
Pada dasarnya campur kode yang
terjadi pada masyarakat dilatar belakangi oleh sikap penutur dan kebahasaan
tutur. Atas dasar sikap dan kebahasaan penutur saling bergantungan dan sering
bertumpang tindih, maka dapat didefinisikan beberapa penyebab terjadinya campur
kode, bahwa penyebab campur kode dalam peristiwa tutur adalah sebagai berikut:
a.
Penutur lupa dengan bahasa daerahnya sehingga penutur
menggunakan bahasa Indonesia
b. Penegasan atau memperjelasa tuturan
c. Pokok pembicaraan
d. Penutur ingin menunjukkan
gengsinya pada lawan bicaranya, dan
e. penutur lupa yang akan
dibicarakan sehingga penutur menggunakan bahasa
lain.
2.8.1 Faktor Sosial Campur Kode
Dalam membahas dua “piranti bahasa”, yaitu alih kode dan
campur kode ada dua pra-anggapan; (1) ada kontak bahasa atau pun dialek, dan
(2) ada alasan fungsionsal atau pragmatik
untuk penggunaan campur kode atau alih kode. Campur kode digunakan sebagai
strategi komunikasi dengan ragam motivasi.
Menurut
pendapat Irnawati (dalam Rohmana,
2000: 23) mengemukakan bahwa ada dua faktor utama sebagai penyebab campur kode, yaitu: (1) sebagai
jawaban situasi tutur, misalnya masuknya orang ketiga atau adanya pergantian
topik pembicaraan, penggunaan frasa tertentu dalam berbagai salam, dan (2)
sebagai alat retorik, misalnya penekanan pentingnya kata tertentu dengan jalan
menggunakan kata padanan dalam bahasa lain atau untuk menghindari penggunaan
kata-kata tabu dengan mengambil kata-kata dari bahasa lain.
2.8.2 Alasan Akademik
Terkadang orang-orang
yang berlatarbelakang pendidikan tentu ingin menunjukkan kemampuan dirinya
dibidang masing-masing.oleh karena itu, ia sering menggunakan istilah-istilah
asing dalam bahasa Inggris
maupun bahasa asing lainnya. Terjadinya campur kode ini biasanya kalau bukan
menggunakan bahasa lisan tentunya dalam bahasa tulisan.
2.8.3 Gengsi
Sehubungan
dengan alasan akademis juga merebak pada arus globalisasi dan modernisasi yang
menyebabkan banyaknya orang-orang berlomba-lomba untuk menguasai bahasa Inggris dan
bahasa-bahasa Asing
lainnya. Oleh karena itu, alasan agar tidak di anggap ketinggalan zaman, banyak
orang yang senang menggunakan kata-kata bahasa Inggris.
Dari pembahasan singkat di atas, dapat disimpulkan
beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
a.
Campur kode bukanlah
kebiasaan yang turut dilestarikan bahasa indonesia. Meskipun campur kode tidak
begitu disarankan dalam kasus-kasus tertentu, campur kode tidak dapat
dihindari. Syaratnya hanya kata asing tersebut tidak memiliki padanan dalam
bahasa Indonesia.
b.
Secara umum, ada dua
alasan yang melatarbelakangi penggunaan campur kode, yaitu alasan akademis dan
alasan gengsi.
2.9 Fungsi Campur Kode
Sehubungan dengan
faktor-faktor terjadinya campur kode sebagaimana yang telah diuraikan pada poin
2.6.4 tersebut, percampuran kode dalam suatu peristiwa tutur yang dilakukan
oleh dua orang atau lebih itu semua untuk mencapai maksud tertentu, antara lain untuk menggambarkan hubungan
antara penutur dan penanggap penutur. Dengan demikian
campur kode yang terjadi dalam suatu peristiwa tutur yang mempunyai fungi
tertentu.
Berdasarkan
uraian tersebut, Djajasudarma, dkk (1999:24) menguraiakan fungsi campur kode
adalah sebagai berikut:
a. Sebagai
acuan yang tidak kurang dipahami di dalam bahasa yang digunakan, kebanyakan
terjadi karena pembicara tidak mengetahui suatu kata dalam bahasa lain.
b. Fungsi
derektif, dalam hal ini pendengar dilibatkan langsung dalam penutur, serta
ujaran dalam percakapan ini dapat dipikirkan tentang fungsi penggunaan bahasa.
c. Fungsi
ekspresi, dalam hal ini pembicara menekankan identitas campur kode melalui
penggunaan dua bahasa wacana yang sama.
d. Berfungsi
sebagai untuk menunjukan perubahan nada konvensi.
e. Berfungsi
sebagai meta bahasa (metalinguage)
dengan pemahaman dengan campur kode digunakan dalam mengulas suatu bahasa baik
secara langsung maupun secara tidak langsung.
f. Berfungsi
sebagai humor atau permainan, sehinga yang sangat berperan di dalam masyarakat
bilingual.
2.10 Pengertian Alih Kode
Alih kode didefinisikan Nicole Muller dan Martini J. Ball
(dalam Nathaline, 2013:13) sebagai segala fenomen yang di dalamnya terkandung
elemen dari sedikitnya dua sistem bahasa (bahasa yang berbeda atau variasi yang
berbeda dalam satu bahasa) yang digunakan dalam situasi tutur yang sama.
Sejalan dengan pendapat Appel
(dalam Chaer, 2010:107) mendefinisikan alih kode itu sebagai gejala peralihan
pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Alih kode disebabkan oleh beberapa
hal, antara lain karena orang yang bersangkutan berlatih menggunakan suatu
bahasa tertentu karena kurangnya kata atau istilah dalam salah satu bahasa yang
dikuasainya untuk mengungkapkan gagasannya (Suhardi dan Sembiring, dalam
Nathaline, 2013:13).
Berdasarkan konsep yang diuraikan
para ahli di atas, dapat disimpilkan bahwa alih kode merupakan peralihan dari
kode yang satu ke kode yang lain karena perubahan situasi yang mungkin terjadi
antara bahasa, antarvarian (baik regional maupun sosial) antarregister,
antarragam, ataupun antar gaya.
2.11 Asal Usul Bahasa
Moronene Dan Adat Istiadatnya
2.11.1 Asal Usul Bahasa
Moronene
Suku
Moronene merupakan salah satu suku yang
terdapat di Sulawesi
Tenggara. Populasi orang
Moronene diperkirakan
sekitar 5.000 orang. Istilah “Moronene” berasal dari kata “Moro” yang berarti “serupa” dan “Nene” yang berarti “pohon resam”. Pohon resam adalah sejenis
tanaman paku, yang banyak ditemukan di daerah ini. Kulit batangnya bisa
dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue lemper. Resam hidup
subur didaerah lembah atau pinggiran sungai yang mengandung air. Di daerah pemukiman suku Moronene biasanya di daerah yang
banyak kawasan sumber air.
Pada
awalnya mereka adalah bangsa nomaden, yang selalu berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lain, hingga akhirnya mereka menetap di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai. Sebuah peta yang dibuat oleh pemerintah belanda pada tahun 1820
sudah tercantum nama kampung Hukaea
sebagai kampung terbesar suku Moronene,
yang saat ini wilayah pemukiman mereka ini masuk dalam areal Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai. Kampung pemukiman suku Moronene
ini terbesar ditujuh tempat Kecamatan yang berada di Kabupaten Buton dan Kabupaten Kolaka. Penyebaran orang
Moronene ini terdapat
juga di Kabupaten Kendari, mereka
mengungsi dan berimigrasi akibat gangguan keamanan dari darul Islam sekitar tahun
1952-1953. Kampung Hukaea,
Lea, dan Lampopala, bagi orang Moronene disebut sebagai
Tobu Waworaha
atau perkampungan tua bekas tempat tinggal para leluhur mereka.
2.11.2 Adat dan Budaya Moronene
Suku
Moronene adalah salah satu suku bangsa yang mempunyai beranekaragam
adat istiadat dan kebiasaan yang dijalankan oleh masyarakat sebagai warisan budaya leluhur yang terus
menerusdilestarikan sampai saat ini.Salahsatu tradisi adat Moronene yang menjadi ciri keunikan
dengan suku lain adalahadat perkawinan (kawia). Adat perkawinan (kawia) ini masih tetap di junjung tinggi dan dilaksanakan karena terikat dengan
hukum-hukum adat yang wajib ditaati oleh segenap masyarakatnya. Juga merupakan
salahsatu pencerminan kepribadianatau penjelmaan dari pada suku Moronene itu
sendiri dalam memperkaya budaya-budaya di Indonesia.
Hal ini merujuk pada pribadi yang berbeda sifat,watak, kepribadian, sikap, latar belakang,
menjadi satu bagian utuh dalam mahligai pernikahan untuk membentuk keluarga
baru. Pernikahan memiliki unsur-unsur terpenting di dalamnya, seperti
agama dan budaya.
Sebagai
salah satu produk budaya, simbol benda-benda yang digunakan dalam adat
perkawinan merupakanbentuk pengungkapan yang pada prinsipnya bertujuan untuk mengkomunikasikan pikiran dan
perasaan masyarakat yang tumbuh dan
berkembang dari waktu ke waktu.Salah satu bentuk pengungkapan simbol sebagai
produk budaya adalah folklor yaitu yang berbentuk ungkapan tradisional (James Danandjaja dalam Sirajudin, 1993:2). Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang
tersebar dan diwariskan secara turun temurun, diantara kolektif macam apa saja
secara tradisional dalam versi yang berbeda.
Masyarakat
Watubangga sebagai salah
satu suku bangsa di Indonesia
dengan keaneka ragaman suku yang mendiami seluruh pelosok tanah air
melambangkan pula keaneka ragaman hukum
adat yang mengatur perkawinan. Berlakunya hukum adat perkawinan dalam setiap
masyarakat atau suku sering berda-beda. Tata cara adat perkawinan antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Demikian pula adat perkawinan
suku moronene memiliki adat perkawinan yang berbeda-beda dengan berbagai suku
bangsa di Indonesia
akan tetapi adanya perbedaan-perbedaan tersebut justru merupakan unsur yang
penting yang memberikan identitas kepada setiap suku bangsa di Indonesia.
Berdasarkan
pengamatan diketahui bahwa hubungan kekerabatan pada suku Moronene khususnya di
Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka terlihat sangat kuat
dari berbagai persiapan proses adat perkawinan yang akan dilaksanakan, salah
satunya adalah persiapan bahan, benda atau alat yang digunakan dalam prosesi
adat perkawinan. Dimana
benda-benda digunakan tersebut merupakan syarat yang wajib dilaksanakan sebagai
sebuah simbol yang memiliki makna tersendiri.
Makna simbolik benda yang
digunakan dalam prosesi adat pernikahan masyarakat Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga, di tinjau dari fungsinya adalah sebagai
pemantapan lahir dan batin bagi kedua mempelai, dimana kedua mempelai adalah dua
insan yang berlainan jenis dari segala sisi namun sama dalam titik hidup dan kehidupan.
Di lihat dari lahirnya, makna simbol dari benda-benda dalam adat perkawinan suku Moronene itu, disesuaikan dengan proses atau tahap-tahap dalam prosesi adat perkawinan suku
Moronene, mengenai bentuk dan jenis benda tersebut telah ditetapkan dalam
ketentuan hukum adat suku Moronene, yaitu; (1) Tahap Mongapi (peminangan) disini telah ditentukan
benda yang digunakan, yaitu Pinca (piring), Rebite (daun sirih), Tagambere (gambir), Ahu (tembakau), (2) Alat dan bahan yang digunakan pada saat Pompetukanaiha (mempertanyakan ketersediaan pengantin perempuan) dan Pontangkia (mengantar buah) adalah Nilapa (ikan
salaiyang dibungkus di pelepah pinang), Punti (pisang), Towu (tebu), Nii Mongura (kelapa muda), Gola (gula merah), Tagambere (gambir), Wua (pinang), Rebite (sirih), Kompe (keranjang
yang terbuat dari daun agel), Nyiru (duku), (3) Lumanga, adapun benda-benda dalam (Lumanga), yaitu berupa Karambau (kerbau), Sawu (sarung)
dan Kaci (kain putih) serta Empe (tikar
yang terbuat dari daun pandan), (4) Molangarako (mengantar kedua pengantin kerumah
orang tua laki-laki), adapun benda yang digunakan adalah Kaci (kain putih), Inisa (beras), Nohu (lesung), Pali (kampak), dan Soronga (peti).
Namun
generasi muda tidak memahami dengan jelas makna apa yang sebenarnya tersirat
dalam benda-benda adat yang digunakan dalam proses adat perkawinan suku Moronene,
sehingga nilai-nilai yang terkandung didalamnya hanya diketahui oleh kalangan
tokoh-tokoh adat saja. Ini terlihat bahwa kurangnya inisiatif dari para pemuda
atau remaja untuk mempelajari adat istiadat budayanya sendiri, yang diharapkan
dapat menjadi penerus dan pemelihara kelestarian budaya lokal sebagai ciri khas
suku Moronene di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga.
Seiring dengan berjalannya
perkembangan zaman, belakangan ini disadari bahwa tidaksecara perlahan dalam
adat perkawinan suku Moronene telah mengalami pergeseran nilai dan tata cara. Di antaranya adalah sarana dan nilainya
tidak lagi berdasarkan status sosial, atau kelengkapan adat sebagaimana yang
digariskan dalam hukum adat, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman dan
kemampuan ekonomi seseorang. Sebagaimana yang telah terjadi pada masyarakat di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka mencerminkan benda-benda yang
digunakan dalam adat perkawinan tidak lagi sesuai dengan kebiasaan pada zaman nenek moyang kita terdahulu, meskipun tanpa menghilangkan hukum adat yang menggariskan cara dan
nilai perkawinan tersebut.
Faktor-faktor
pendorong terjadinya pergeseran nilai-nilai ini adalah pendidikan yang dimana
terjadi perkembangan pola pikir yang semakin kompleks mengikuti perkembangan
zaman sehingga kadang kala cenderung untuk melupakan budaya sendiri. Faktor
ekonomi juga sangat berpengaruh dengan terjadinya pergeseran nilai dalam
pelaksanaan adat perkawinan suku Moronene sebab kadang kala pokok adat bisa
diganti dengan uang. Faktor keterbukaan masyarakat juga menjadi salah satu
penyebab yang mempengaruhi sikap dan tingkah laku masyarakat dalam proses adat
perkawinan suku Moronene di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga. Tanpa memikirkan sesuatu yang masuk
dari luar itu tidak selalu positif dan patut diterima sepenuhnya.
2.11.3 Agama
Sebagian besar orang Moronene memeluk agama islam, seperti
suku-suku lain yang berada di wilayah
Sulawesi Tenggara. Agama Islam telah lama
berkembang di kalangan masyarakat suku moronene ini. Orang Moronene yang memeluk
agama islam sampai saat ini tetap mengunjungi Tobu
sambil memberihkan kuburan leluhur mereka ketika hari raya idul fitri dan idul
adha. Akhir-akhir ini banyak orang moronene yang dari daerah lain kembali
pulang kekampung hukaea atau laea, karena kuburan-kuburan leluhur mereka banyak
hilang dipindahkan oleh orang yang tak dikenal.
Kehidupan
tenang masyarakat suku Moronene
ini mulai terusik oleh pemerintah sejak tahun 1990 yang menetapkan wilayah adat
suku Moronene sebagai Kawasan Taman Nasional. Dengan alasan
itulah aparat pemuda Sulawesi Tenggara
mengerahkan polisi dan tentara untuk menggelar operasi sapu jagat untuk
mengusir keluar orang-orang Moronene.
Alasanya, biar hutan tidak rusak sehingga bisa dijual sebagai objek ekoturisme
dan sumber pendapatan daerah lainya. Sekali lagi nasib rakyat tertindas oleh
pemerintah yang sewenang-wenang merampas tanah adat mereka. Padahal hak
masyarakat adat atas tanah wilayah mereka telah diakui oleh Undang-Undang Kehutanan tahun 1999.
BAB
III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Metode
dan
Jenis penelitian
3.1.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif karena penelitian ini
berusaha menyajikan kenyataan-kenyataan secara objektif sesuai dengan kenyataan
yang ditemukan di lapangan tentang penggunaan campur kode bahasa Moronene pada acara
pernikahan. Digunakan
metode kualitatif karena penelitian ini
menguraiakan fakta-fakta atau fenomena pengguna campur kode ke dalam bentuk
kata-kata, gabungan kata atau kalimat ke dalam struktur yang benar.
3.1.2
Jenis penelitian
Jenis
penelitian ini tergolong penelitian lapangan. Oleh karena itu, penelitian
langsung dilokasi penelitian yaitu
disalah satu acara pernikahan di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga untuk mendapatkan data
sesuai dengan fenomena bahasa yang hidup pada penuturnya, sehingga penelitian
ini berdasarkan berdasarkan fakta atau bahasa dipaparkan apa adanya.
3.2
Data dan Sumber Data
3.2.1
Data
Data
dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan yang digunakan dalam acara
pernikahan di Kelurahan
Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka. Tuturan tersebut
merupakancampur kode yang digunakan masyarakat dalam acara pernikahan di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka. Data tersebut
diperoleh dalam bentuk pengamatan, hasil rekaman, dan juga bentuk catatan
lapangan yang dituturkan; (1) Tuluwea/Tolea ntama (juru bicara laki-laki),
(2) Apuno raha (tuan
rumah), (3) Sara (tokoh adat), (4) Damotu’a (tokoh masyarakat/yang pernah
menjadi tokoh adat), (5) Pamarenta
(pihak pemerintah/kepala
desa), (6) Dampekuna-kunahako (orang yang
bertanya kepada tuluwea/tolea ntama), dan (7) Potulu,
(pembawa acara/penengah).
3.2.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah hasil tuturan;
(1) Tuluwea/Tolea ntama (juru bicara
laki-laki), (2) Apuno raha (tuan
rumah), (3) Sara (tokoh adat), (4) Damotu’a (tokoh masyarakat/yang pernah
menjadi tokoh adat), (5) Pamarenta
(pihak pemerintah/kepala desa), (6) Dampekuna-kunahako
(orang yang bertanya kepada tuluwea/tolea ntama), dan (7) Potulu, (pembawa acara/penengah),dalam
acara pernikahan di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga kabupaten kolaka. Tolea ntama ditentukan oleh keluarga
pihak laki-laki yang dipercayai sebagai juru bicara, Tolea ntina juga ditentukan oleh keluarga pihak laki-laki yang
dipercaya sebagai juru bicaranya, Tolea
ntina juga ditentukan oleh keluarga pihak perempuan yang dipercaya sebagai
juru bicaranya, sedangkan yang lain adalah tokoh-tokoh adat. Sasaran yang
menjadi sumber informan penelitian ini adalah hasil tuturan dari; (1) Tuluwea/Tolea ntama (juru bicara
laki-laki), (2) Apuno raha (tuan
rumah), (3) Sara (tokoh adat), (4) Damotu’a (tokoh masyarakat/yang pernah
menjadi tokoh adat), (5) Pamarenta
(pihak pemerintah dalam hal ini kepala desa), (6) Dampekuna-kunahako (orang yang bertanya kepada Tuluwea/Tolea ntama), dan (7) Potulu,
(pembawa acara/penengah), dalam acara pernikahan di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
3.3
Instrumen Penelitian
Instrumen
merupakan alat bantu bagi peneliti sebagai alat
mengumpulkan data. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan cara mengamati atau mencatat sebuah
percakapan dengan mengunakan alat buku
dan pulpen yang
dilakukan oleh sampel. Dengan cara tersebut maka sumber data akan
diperoleh secara akurat dan jujur (apa
adanya).
3.4
Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1) Pengamatan
berperan serta merupakan metode yang dilakukan dengan cara mengamati objek yang
diteliti dan mencatat fenomena penggunaan bahasa yang sebenarnya.
2) Wawancara
terbuka merupakan salah satu teknik pengumpulan data dimana peneliti
menyampaikan terlebih dahulu kepada informan (Tolea ntama)
mengenai tujuan wawancara dan batasan data yang dikumpulkan.
3) Catat merupakan pengumpulan data yang
digunakan dengan cara mencatat percakapan informan (Tolea ntama),
yang berhubungan dengan campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Moronene dalam tuturan
pernikahan.
3.5
Teknik Analisis Data
Analisis data adalah merupakan
salah satu kegiatan yang dilakukan setelah peneliti menyeleksi data sesuai
dengan kriteria yangakan di teliti. Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah merupakn teknik analisis dengan menggunakan pendekatan
sosiolinguistik bahasa. Teknik ini dipilih karena cocok dengan karakteristik
malasah peneliti, yakni campur kode dalam pernikahan etnis Moronene di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka secara langsung.
Selain itu rancangan ini akan memberikan gambaran yang objektif, sistematik,
dan cermat mengenai fakta-fakta dari tuturan; (1) Tuluwea/Tolea
ntama (juru
bicara laki-laki), (2) Apuno raha (tuan
rumah), (3) Sara (tokoh adat), (4) Damotu’a (tokoh masyarakat/yang pernah
menjadi tokoh adat), (5) Pamarenta
(pihak pemerintah/kepala
desa), (6)
Dampekuna-kunahako (orang yang
bertanya kepada Tuluwea/Tolea ntama),
dan (7) Potulu, (pembawa acara/penengah), dalam
acara pernikahan etnis Moronene di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka. Teknik analisis data
ini sangat membantu peneliti untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena
campur kode dalam pernikahan etnis Moronene
di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka. Data yang
dianalisis dalam penelitian ini adalah data dari hasil wawancara, dan catat.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
DAN PENBAHASAAN
4.1 Deskripsi Hasil
Penelitian
Sesuai dengan masalah penelitian tentang
campur kode dalam penggunaan bahasa Moronene yang dilakukan peneliti pada
upacara adat pernikahan suku Moronene di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka, maka data hasil penelitian tersebut mencangkup dua
campur kode, yaitu campur kode BI dengan BM dan campur kode BA dengan BM dan
serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode pada upacara adat
pernikahan suku Moronene yang dimulai dari acara Mowindahako/Modio Ninyapi (melamar/meminang), Potangkia/Mompetukanaiha (membawa/mertanya ), dan Lumanga (mahar).
4.2 Campur Kode BI
dalam BM pada Upacara Pernikahan di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga
Kabupaten Kolaka yang Terjadi pada Acara Mowindahako/Modio
Ninyapi (Melamar/Meminang)
Mowindahako/Modio
Ninyap yang artinya melamar/meminang. Cara pelaksanaannya
adalah orang tua laki-laki dengan bantuan Tolea
Ntama pergi ke rumah orang tua perempuan untuk meminang anak
gadis/perempuan yang telah menjadi pilihan orang tua laki-laki dan perempuan
yang disetujui oleh anak mereka. Sedangkan
bahan-bahan yang dibawa oleh Tolea Ntama,
yaitu sebuah piring, daun sirih 2 bungkus masing-masing 9 helai, tembakau 2
bungkus, gambir 2 bungkus, dan selembar kain sarung atau benda yang berharga
lainnya. Sarung yang masih terlipat itu diletakkan di atas piring. untuk
golongan bangsawan piring yang digunakan
berbunga biru atau merah, dan untuk rakyat biasa adalah piring yang putih polos. Kemudian Tolea Ntama meletakkan dimuka orang tua
perempuan atau yang mewakilinya. Setelah itu, Tolea Ntama menyampaikan maksudnya dengan memakai bahasa
perlambangan dan bertutur kata yang sopan penuh dengan tasmil dan ibarat.
Dalam acara peminangan ini, orang tua
perempuan belum dapat menjawab maksud tutur kata Tolea Ntama dan pendampingnya serta pihak keluarga laki-laki akan
segera pulang ke rumah orang tua laki-laki untuk melaporkan bahwa ia telah
melaksanakan tugasnya, yaitu Mowindahako/Modio Ninyapi (Melamar).
Setelah itu Tolea Ntama akan pulang ke rumahnya menunggu jawaban pinangan. Orang tua perempuan
akan mengembalikan Mowindahako/Ninyapi ke
rumah orang tua laki-laki dengan dua kemungkinan, yaitu:
1. Apabila
dikembalikan pada hari itu juga dengan disungkupkan piring lain berarti lamaran
ditolak karena anak gadis yang dilamar telah ada yang duluan melamar. Jika
apabila dikembalikan dalam keadaan tersungkup dan diikat dengan simpul hidup
berarti peluang bagi laki-laki yang melamar tergantung dari kepandaian
berdiplomasi oleh Tolea Ntama, tetapi
apabila itu adalah simpul mati berarti tidak ada peluang sama sekali dan
kegiatan pelamaran akan dihentikan.
2. Apabila
dikembalikan pada hari itu juga beberapa hari (biasanya dua sampai tiga hari
kemudian) dan tidak disungkup dengan piring lain berarti anak gadis yang
dilamar itu belum ada yang melamar sehingga ada lowongan melanjutkan acara berikutnya,
yaitu Tolea Ntama akan melakukan
komunikasi dengan keluarga kedua belah pihak untuk membicarakan besarnya
biaya/beban konsumsi Lumanga
(penyerahan/mahar) yang akan ditanggung oleh keluarga pihak laki-laki. Setelah
itu akan ditetapkan waktu Potangkia/Mompetukanaiha
(membawa/bertanya).
Di dalam acara Mowindahako/Ninyapi terdapat dua bentuk campur kode, yaitu campur kode yang
berbentuk kata dan campur kode yang berbentuk gabungan kata/frasa. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
1.2.1
Campur
Kode BI dalam BM yang Berbentuk kata
Bentuk
canpur kode berbentuk kata yang terjadi pada upacara adat pernikahan suku
Moronene di
Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka pada acara Mowindahako/Modio Ninyapi (melamar).
Adapun sebaran datanya sebagai berikut:
Data
1. BM : Adie
datepolele ira’i, “terbentang” i’olotanto.
BI : Ini yang terletak
dimuka, “terbentang” dihadapan kita.
Kutipan
tuturan pada data di atas
dengan jelas langsung terlihat campur kode BI dengan BM yang berbentuk kata.
Tuturan tersebut dituturkan oleh Tolea
Ntama. Campur kode tersebut disebabkan penutur lupa bahasa daerahnya. Kata “terbentang” memiliki
padanan arti dalam B yang berarti “tewoleako” atau bias juga “telengako”.
Maksud dari kalimat tersebut adalah dihadapan orang tua si pengantin perempuan
dan keluarga sudah diletakkan perangkat adat yang sudah diketahui oleh semua
hadirin bahwa syarat-syarat adat sudah diletakkan dihadapan orang tua si
pengantin perempuan. Lokasi terjadinya tuturan tersebut adalah di rumah orang
tua si pengantin perempuan yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
Data
2. BM : Kana-kanamo
wae-waea, ganda, wulu “padi” nte’asi.
BI :
Laksana sebiji kemiri, gemdang, bulu “padi”
terselip.
Kalimat
tuturan tersebut mengalami campur kode BI dalam BM yang terbentuk kata yang
ditandai dengan kata “padi” di dalam
BM berarti “mpae”. Kata “padi” memiliki
padanan arti BM dalam bahasa sehari-hari berarti “kina”. Kalimat tersebut merupakan kalimat
ungkapan yang berarti ibarat kemiri yang ada di dalam gendang apabila digonceng akan kesana kemari seperti
bulu padi yang berarti segan dan malu-malu.
Sebab
terjadinya campur kode tersebut adalah kebiasaan penutur mennggunakan BI,
kemungkinan penutur memamerkan keahliannya dalam berbahasa Indonesia. Oleh
karena itu, penutur menyisipkan BI dalam kalimat tuturannya. Di dalam tuturan
penutur bermaksud memberikan penjelasan karena kata “mpae” dalam BM banyak
orang yang tidak mengerti artinya. Kata “mpae” tersebut adalah kata dalam BM
terdahulu, sekarang kata tersebut dipadankan dengan kata “kina”.
Tuturan
tersebut dituturkan oleh Apuno Raha
(tuan rumah) pada saat perangkat adat dibicarakan.
Tuturan tersebut diucapkan dalam situasi formal. Lokasi terjadinya tuturan
tersebut adalah di rumah orang tua si pengantin perempuan yang berada di
Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka.
1.2.2
Campur
Kode BI dalam BM yang Berbentuk Gabungan Kata/Frasa
Campur
kode BI dalam BM yang dituturkan selaku pembicara adat pada upacara adat
pernikahan suku Moronene di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten
Kolaka, yang berbentuk gabungan kata/frasa.
Data
1. BM : “Sekianlah
sampai disini” Danta
tianio rongo mokomoicco, yahoo
raro mino motua.
BI : “Sekianlah
sampai di sini” yang akan bertambah dan memperbaiki, ialah para
orang-orang tua.
Kalimat
tuturan tersebut mengalami campur kode BI dalam BM yang ditandai dengan adanya
frasa “sekianlah sampai di sini” yang dituturkan oleh potulu (pembawa acara) saat berakhirnya
suatu acara Mowindahako/Modio Ninyapi (pelamaran).
Gabungan kata “sekianlah sampai di sini” yang dituturkan oleh potulu (pembawa acara) memiliki padanan
dalam BM, yakni “Nta peranomo ina’i” frasa yang memiliki padanan arti, yaitu “salapasiakono
petompa di cena”. Dalam tuturan
adat sekarang tidak lagi menggunakan frasa Mowindahako/Modio Ninyapi (pelamaran) “Nta peranomo ina’i”
melaikan frasa “salapasiakono petompa di cena”. Makna dari tuturan tersebut
adalah sekianlah sampai di sini acara
Mowindahako/Modio Ninyapi (pelamaran), lebih dan kurangnya yang telah
dituturkan Tolea Ntama akan dibicarakan lebih lanjut dengan kedua
orang tua si perempuan dan kedua orang tua si laki-laki.
Sebab
terjadinya campur kode pada tuturan tersebut adalah sengaja menyelipkan BI
dalam tuturannya karena dengan maksud tertentu, yaitu untuk mengeakrabkan
suasana dengan memberikan kepada hadirin bahwa upacara adat lamaran akan segera
selesai. Frasa “salapasiakono petompa di cena”. Banyak orang tidak mengerti
artinya karena tuturan tersebut jarang digunakan dalam berbahasa sehari-hari.
Tuturan
tersebut dituturkan pada saat akan berakhirnya pelamaran. Setelah Mowidahako/
Modio Ninyapi (lamaran) disampaikan/disimpan di rumah orang tua
perempuan, kegiatan selanjutnya adalah menunggu jawaban lamaran tersebut,
apakah lamaran diterima atau ditolak. Waktu menunggu selama 3 hari. Setelah
itu, orang tua perempuan akan bertanya kepada sang anak apakah Mowindahako/Modio Ninyapi (pinangan/lamaran)
itu diterima atau ditolak. Jika tidak dikembalikan pada hari ke 4 berarti
pinangan/lamaran diterima oleh pihak perempuan. Selanjutnya Tolea Ntama (juru bicara laki-laki)
segera mengadakan komunikasi yang intensif kepada orang tua perempuan, sara (tokoh adat), serta pemerintah
untuk menetapkan waktu Mompentukanaiha (bertanya).
Kalimat
tuturan tersebut dituturkan oleh Potulu (pembawa
acara) bermaksur untuk memberitahukan kepada para hadirin bahwa acara adat
pelamaran telah selesai. Kalimat tuturan diucapkan dalam situasi formal. Lokasi
terjadinya tuturan tersebut adalah di rumah orang tua si pengantin perempuan
yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka.
Data
1. BM : Yahoo luwuno ootuano hai “orang tua perempuan”, nta
meperanomo di cena.
BI : Ada semuanya
keputusan sama “orang tua perempuan”, sekianlah
sampai di sini.
Tuturan
tersebut mengalami campur kode BI dalam BM yang dibuktikan dengan adanya
gabungan kata “orang tua perempuan” berarti
“mianomotu’ano
tina”. Penutur dalam hal ini sara (tokoh adat) menggunakan campur
kode BI dalam BM dengan mengatakan “orang
tua perempuan” dikarenakan penutur sengaja menggunakan BI agar semua
hadirin tau bahwa keputusan diserahkan kepada orang tua perempuan atau keluarga
yang memutuskan apakah lamaran ini diterima atau ditolak . Kalau diterima maka Tolea Ntama akan membicarakan lebih
lanjut mengenai mahar dan syarat-syarat lainnya.
Kalimat
tuturan tersebut dituturkan oleh sara (tokoh
adat) pada saat proses Mowidahako/ Modio Ninyapi (lamaran)
berlangsung dan dituturkan dalam situasi resmi/formal. Lokasi terjadinya
tuturan tersebut adalah di rumah orang tua pengantin perempuan yang berada di
daerah di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka.
4.3
Campur Kode BI dalam BM pada Upacara Pernikahan di Kelurahan Tandebura
Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka yang Terjadi pada Acara
Potangkia/Mompentukanaiha (Membawa/Bertanya)
Potangkia berasal
dari kata“Tangki” yang
berari “bawa”. Ditambahkan dengan
imbuhan “Pon” yang
berrati waktu/saat. Maka Pontangkia adalahwaktu
yang disepakati untuk mengantarkan konsumsi ke rumah orang tua pengantin si
perempuan dari pihak laki-laki dipilih oleh Tolea
Ntama (juru bicara laki-laki). Sementara sara (tokoh adat) dan orang tua perempuan menunggu kedatangan Tolea Ntama (juru bicara laki-laki) dan
rombongannya.
Mompetukanaiha yang berasal dari kata “Metukana”
yang artinya “Tanya”. Mompetukanaiha
berarti waktu untuk bertanya kepada
pihak perempuan secara resmi. Apakah perempuan itu suka dengan laki-laki yang
datang melamarnya, dan apabila si perempuan sudah
siap untuk dinikahi, maka barulah akan ditentukan waktu penyerahan
Lumanga (mahar).
Biasanya acara Potangkia/mompetukanaiha (membawa/bertanya)
dilakukan pada malam hari, setelah perempuan mengatakan bersedia untuk dinikahi
maka penyerahan Lumanga (mahar) akan dilaksanakan
keesokan harinya. Kemudian Tolea Ntama (juru
bicara laki-laki) dan sara (tokoh
adat) akan menuntukan jam untuk melakukan acara penyerahan Lumanga (mahar).
Dalam acara tersebut terdapat dua
bentuk campur kode tuturan, yaitu campur kode yang berbentuk kata dan campur
kode yang berbentuk gabungan kata/frasa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada uraian berikut ini.
4.3.1 Campur Kode BI
dalam BM yang Berbentuk Kata
Campur
kode BI dalam BM yang dituturkan oleh pembicara adat pada upacara pernikahan di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka yang berbentuk kata. Adapun data-datanya dapat
dilihat sebagai berikut:
Data
1. BM : Ira
indo “pemerintah” ronga miano motuanaamo pera daledan
nimarou’a.
BI
:
Dihadapan “pemerintah” bersama orang
tua serta hadirin dimuliakan.
Kalimat tuturan tersebut mengalami campur kode BI
dalam BM yang terbentuk kata yang ditandai dengan kata “pemetintah” di dalam BM berarti “pamarenta”. Pada zaman
dahulu BI pada Kata “pemerintah” memiliki
padanan dalam BM berarti “dawawa wonua”.
Sebab
terjadinya campur kode pada tuturan tersebut adalah sebagian besar masyarakat
suku Moronene yang berada di Kelurahan Tandebura menguasai bahasa lebih dari
tiga bahasa atau bisa dikatakan masyarakatnya Multilingual karena masyarakatnya memiliki ragam suku dan bahasa.
Berkaitan dengan campur kode BI dalam BM pada kata “pemetintah”, yaitu pada zaman dahulu digunakan kata pada Kata“dawawa
wonua” dan diubah ke dalam BI menjadi kata “pamarenta” mungkin
karena pengaruh era modernisasi sehingga sekarang ini masyarakat erbiasaan menggunakan kata “pemerintah”
dalam berkomunikasi sebagai bahasa sehari-hari. Maksud dari kalimat
tersebut adalah dalam proses adat pernikahan juru bicara, pemerintah/ketua
adat, dan orang tua tersebut sangat dimuliakan. Penutur dalam hal ini Tolea Ntama (juru bicara dari pihak
laki-laki) menggunakan campur kode BI dalm BM karena penutur ingin
mempertegaskan ucapannya tentang juru bicara, pemerinta/ketua adat, dan orang
tua bahwa mereka sangat dimuliakan dalam upacara adat pernikahan khususnya
upacara adat suku Moronene.
Tuturan tersebut diucapkan oleh Tolea Ntama pada saat akan memulai acara
adat pernikahan Potangkia/Mompetukanaiha (penyerahan/menaikan
mahar). Kalimat tuturan di atas
dituturkan dalam suasana formal. Lokasi
terjadinya tuturan tersebut adalah di rumah orang tua si pengantin perempuan
yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka.
Data
2. BM : “Kenapa”oruano tangkeno ni’i keseda’a tepo’onto
meronga kai rapi mo’onto.
BI : “Kenapa” kedua tangkainya kelapa tidak
terlihat sama-sama supaya rapi keliatannya.
Kalimat
tuturan tersebut mengalami campur kode BI dalam BM yang terbentuk kata yang
ditandai dengan kata Tanya “kenapa”.
Kata “kenapa”di dalam kamus bahasa
Indonesia itu tidak baku. Maksud penutur pada tuturan ini adalah bertanya. Kata
“kenapa” dibakukan menjadi “mengapa” di dalam BM berarti “Nte hapai”. Maksud dari tuturan tersebut adalah
penutur menyampaikan kepada hadirin bahwa kedua tangkai kelapa harus
dimunculkan agar rapi kelihatannya dan tangkai kelapa tidak boleh dipotong.
Ketentuan tersebut sudah dari leluhur suku Moronene. Sebab terjadinya campur
kode BI, yaitu karena faktor penutur sering mennggunakan BI dalam
kesehariannya. Penutur adalah Asli suku
Moronene dan penutur sangat faham dengan hukum-hukum adat pernikahan di
Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka.
Tuturan
tersebut dituturkan pada saat upacara adat Mompentukanaiha,
yang dimaksud adalah pada saat Tolea
Ntama menyodorkan Nyiru besar
berisi benda-benda adat pernikahan dihadapan Apuno Raha (tuan rumah) dan semua hadirin terutama kepada keluarga
pihak perempuan yang menyaksikan acara tersebut. Benda-benda adat yang
dibicaran dalam tuturan ini adalah kesempurnaan dan kerapian isi Nyiru agar bisa diterima oleh Aponu Raha (tuan rumah)yang mewakili
orang tua pihak perempuan dan semua keluarga besar pengantin perempuan yang
hadir pada saat acara tersebut berlangsung.
Penutur
dalam hal ini adalah Sara (tokoh
adat). Tuturan tersebut dituturkan dalam situasi formal. Lokasi terjadinya
tuturan tersebut adalah di rumah orang tua si pengantin perempuan yang berada
di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka.
Data
2. BM : Co ba ribite sampu mpuno na opia lewe asa “ikat”? nangkua di nanda olima daho da opitu, sampu mpuno da maina da banara.
BI
: Itu sirih
sebenarnya berapa lembar dalam satu “ikat”?
ini ada yang lima ada yang tujuh, sebenarnya mana yang benar.
Kalimat tuturan tersebut
mengalami campur kode BI dalam BM. Hal ini ditandai dengan kata “ikat”. Yang mana makna kata “ikat” dalam
BM berarti “iyu”. Kata “iyu” memiliki padanan arti
dalam BM, yaitu “kokoh”.
Kalimat tersebut dituturkan oleh Potulu (pembawa
acara).
Maksud dari tuturan tersebut
adalah penutur bertanya kepadaTolea Ntama (juru
bicara laki-laki) bahwa sebenarnya berapa lembar daun sirih dalam satu ikat,
karena terkadang ada yang lima ada yang tujuh dalam satu ikat. Secara tidak
langsung jawaban dari pertanyaan penutur memberitahukan kepada hadirin. Bahwa
dalam satu ikat daun sirih terdiri dari tujuh lembar dan harus tujuh ruasnya.
Sebab
terjadinya campur kode BI, yaitu karena faktor tidak kesengajaan. Penutur
sebenarnya mampu berbahasa Moronene dengan baik, hanya penutur di saat bertutur
agak gugup karena situasi upacara adat menegangkan.
Tuturan
tersebut dituturkan pada saat upacara adat Mompentukanaiha.
Munculnya tuturan tersebut pada saatbenda-benda adat
dibicarakan/didiskusikan. Kalimat di atas diucapkan dalam suasana formal.
Lokasi terjadinya tuturan tersebut adalah di rumah orang tua si pengantin
perempuan yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten
Kolaka.
4.3.2
Campur Kode BI dalam BM yang Berbentuk Klausa
Campur kode BI dalam BM
yang dituturkan oleh pembicara adat pada upacara adat pernikahan di Kelurahan
Tandebura Kecamatan Watubangga yang berbentuk gabungan kata/frasa.
Data 2. BM
: “Kalau begitu”,kanadi perongeku, tuluwe, kato nunu’o
ataorano adati mperiounto ngkana atorano mbueto da meriou, di susunano adatinto
“pelan-pelan terkikis”.
BI : “Kalau begitu”, begini
pendengaranku,juru bicara laki-laki, kita ikuti aturan adat yang dulu seperti
aturan nenek moyang, karena susunan
adatnya“pelan-pelan mulai terkikis”.
Kalimat
tuturan tersebut mengalami campur kode BI dalam BM yang ditandai dengan adanya
frasa “Kalau begitu” dan “pelan-pelan
mulai terkikis” yang dituturkan oleh Pamarenta
(Pemerintah/Kepala Desa) kepada Tolea
Ntama (juru bicara laki-laki) dan Opuno
Raha (tuan rumah/orang tua pengantin perempuan) pada saat berlangsungnya acara pernikahan. Gabungan
kata “kalau begitu” dalam BM berarti “Ngkana
Co’o”. Sedangkan gabungan kata “pelan-pelan mulai terkikis” dalam
BM berarti “Ngkolako-lako Nte Kikisi” memiliki padanan arti
lain tergantung dari penempatan kalimat. Bisa juga berarti jalan-jalan. Sebab
terjadinya tuturan tersebut, yaitu karena frasa “pelan-pelan terkikis” tidak
ditemukan arti BM oleh penutur. Dalam bahasa sehari-hari masyarakat pun
menggunakan BI pada frasa. Sifat dan gaya hidup masyarakatnya sekarang
berkembang sesuai zaman. Faktoryang mempengaruhi terjadinya campur kode pada
tuturan tersebut adalah faktor akademis, karena penutur ingin menunjukkan
keahliannya sehingga penutur menyelipkan BI dalam tuturannya.
Tuturan
tersebut dituturkan pada saat upacara adat Morono
kompe (membawa bakul). Sebelum
adat Lumanga dilaksanakan, terlebih
dahulu diadakan Morono kompe (membawa
bakul) yang berisibahan konsumsi pernikahan serta Langa (mahar) yang dibungkus dengan tikar pandan kemudian diikat
sedemikian rupa dan dibawa oleh Anan
Ntolea. Dalam tradisi masyarakat di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Morono kompe dilakukan
dengan arak arakkan yang dipimpin oleh Tolea
Ntama dan diikuti oleh pengantin
laki-laki serta rombongan yang lainnya yang membawa bahan konsumsi menuju rumah
perempuan.
Kalimat
tuturan tersebut dituturkan oleh Pamarenta
(pemerintah/Kepala Desa) dalam situasi resmi. Lokasi terjadinya tuturan
tersebut adalah di rumah orang tua
pengantin perempuan yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
4.4
Campur Kode BI dalam BM pada Upacara Pernikahan di Kelurahan Tandebura
Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka yang Terjadi pada Acara Lumanga (Membawa mahar)
Lumanga berasal
dari kata “Langa” kemudian ditambahkan dengan infiks“um” yang berarti
memberikan /menyerahkan. mengenai Langa menurut
pandangan hidup suku Moronene di Kelurahan Tandebura penyerahan Langa (mahar) adalah syarat untuk
melakukan suatu pernikahan. Langa diberikan kepada keluarga perempuan dari pihak
keluarga laki-laki sebelum berlangsungnya akad nikah. Langa terdiri dari benda-benda adat yang memiliki arti emas kawin
yang berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam dan biasanya berbentuk
uang/sajadah. Sedangkan Langa diberikan
sebelum berlangsungnya akad nikah. Mahar/emas kawin adalah pemberian wajib
berupa uang atau benda-benda dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan,
ketika akad nikah berlangsung. Kemudian mahar disimpan dan dipakai sendiri kepada
mempelai perempuan. Sedangkan Langa yang
berupa personifikasi pengganti perempuan yang akan dinikahi. Oleh karena itu, Langan akan diambil dan dipergunakan
oleh orang tua perempuan, akan tetapi Langa
tersebut juga dibagikan kepada
anggota keluarga pengantin perempuan yang lain.
Dari
segi Pranata ritual, bahwa mempelai
perempuan Tabu (dilarang untuk
menggunakan sebagian atau sekeluruhan Langa
kepada dirinya sendiri, sebab Langa adalah
simbol diri perempuan (jasmani dan rohani). Lumanga
dilaksanakan setelah acara Potangkia/Mompetukanaiha
(setelah pinangan diterima).
Di
dalam proses acara Lumanga ini
terdapat tiga bentuk campur kode tuturan, yaitu campur kode yang berbentuk
kata, campur kode yang berbentuk gabungan kata/frasa , dan campur kode yang
berbentuk klausa.
4.4.1
Campur Kode BI dalam BM yang Berbentuk Kata
Campur
kode BI dalam BM yang dituturkan oleh pembicara adat pada upacara adat
pernikahan di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga yang berbentuk kata .
Data 1. BM :
Iramo “para” damotu’a mokodungku’o.
BI :
Meraka “para” ketua adat yang akan
mengucapkannya.
Kalimat
tuturan tersebut mengalami campur kode BI dalam BM yang ditandai dengan kata “para”. Kata “para” dalam BM berarti “Raro”.
Tuturan tersebut dituturkan oleh Potulu (pembawa
acara). Maksud dari tuturan tersebut adalah apabila Laga (mahar) yang telah diberikan belum dianggap cukup, maka pihak
perempuanlah yang mencukupi, karena pihak laki-laki kemampuannya hanya sampai
disitu seperti yang telah disepakati pada saat pelamaran.
Penutur menggunakan campur kode
BI dalam BM karena faktor kebiasaan menggunakan BI sebagai bahasa sehari-hari.
Selain itu dikarenakan untuk memperjelas maksud dan arah pembicaraan agar mudah
dipahami orang-orang yang hadir pada saat pernikahan berlangsung. Kalimat
tuturan tersebut dituturkan dalam situasi resmi/formal. Lokasi terjadinya
tuturan tersebut adalah di rumah orang tua
pengantin perempuan yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
Data 2. BM :
Co tuluwea kuanta “perhatikan” momoico
fungke-fungke adati dani biasa konto coira kamondo-mondoahano.
BI
:
Kamu juru bicara laki-laki harus “perhatikan”
seluruhnya baik-baik benda adat yang
biasanya dan kelengkapannya.
Kalimat tuturan
tersebut mengalami campur kode BI dalam BM yang ditandai dengan kata “perhatikan”. Kata “perhatikan” dalam BM
berarti “Perhatika’o”. Tuturan tersebut dituturkan oleh Damotu’a (orang yang pernah menjadi
tokoh adat) kepada Tolea Ntama (juru
bicara laki-laki).
Sebab
terjadinya campur kode dalam tuturan ini adalah karena faktor gengsi. penutur
menunjukkan keahliannya atau
kemampuannya dalam berbahasa Indonesia. Sehubungan dengan arus globalisasi dan
modernisasi, inilah yang menyebabkan banyaknya orang yang berlomba-lomba untuk
menggunakan BI dan bahasa-bahasa Asing lainnya dalam berkomunikasi. Oleh karena
itu, banyak orang yang menggunakan kan
BI agar tidak dianggap ketinggalan zaman. Penutur lebih memilih
menggunakan BM karena penutur memperjelas tuturannya agar sang Tolea Ntama ( juru bicara laki-laki)
memperhatikan seluruh kelengkapan benda-benda adat yang akan disodorkan dihapanAponu Raha (tuan rumah) agar tidak
terjadi banyak kesalahan, terutama penempatan-penempatannya serta membuat
suasana menjadi lebih akrab.
Tuturan
tersebut dituturkan pada saat upacara adat Lumanga
atau Tundulako Langa (Penyerahan
peti/ mahar) kepada Apuno Raha (tuan
rumah). Tundulako Langa merupakan
salah satu proses yang sangat penting karena di dalam upacara adat pernikahan
suku Moronene akan disampaikan berbagai macam-macam argumen, sehubungan dengan Langa yang telah disepakati sebelumnya.
Ada dua kemungkinan yang terjadi di dalam acara ini, yakni Langa diterima atau dikembalikan. Jika dikembalikan berarti sebuah
keberuntungan bagi pihak laki-laki yang berarti beban yang pernah disepakati
untuk disediakan itu tidak akan diambil oleh pihak perempuan dan akan
dikembalikan kepada pihak laki-laki. Sedangkan jika Langa tersebut dinyatakan akan diambil oleh pihak perempuan dalam hal ini diwakili oleh Aponu Raha (tuan rumah) berarti semua
kerbau sarung, kain putih, dan sebagainya yang telah ditentukan akan menjadi
milik orang tua dan keluarga pihak perempuan.
Kalimat
tuturan tersebut dituturkan dalam situasi resmi/formal. Lokasi terjadinya
tuturan tersebut adalah di rumah orang tua
pengantin perempuan yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
Data
2. BM : Tekana-kanam
tuluwea ngana arumai ngkanaumpe co
kolihe-lihe,“penglihatan” co inhino soronga. “Apakah” tekonamo hela mondoomo.
BI : Laksana juru
bicara laki-laki bagaimana setelah kita melirik-lirik, “penglihatan” kita
tentang isi peti itu. “Apakah” sudah
benar dan lengkap.
Kalimat tuturan tersebut
mengalami campur kode BI dalam BM yang ditandai dengan kata “penglihatan” dan
“Apakah”. Kata “penglihatan ” dalam BM
berarti “Peontoto” dan
“Apakah” di
dalam BM berarti “hapaico”. Tuturan tersebut
dituturkan oleh Dampekuna-kunahako (orang
yang bertanya kepada Tolea Ntama).
Maksud
dari tuturan kalimat tersebut adalah Dampekuna-kunahako
(orang yang bertanya kepada Tolea
Ntama) sengaja bertanya kepada Tolea
Ntama (juru bicara laki-laki) tentang kelengkapan isi peti yang disodorkan
dan disaksikan langsung oleh para hadirin yang hadirin di tempat, terutama oleh
orang tua pengantin perempuan. Sebab
penutur menggunakan campur kode BI dalam tuturannya adalah suatu unsur
kesengajaan karena dengan maksud tertentu.
Penutur
dalam hal ini “Dampekuna-kunahako” menggunakan
campur kode BI dalam BM karena ingin menggambarkan kepada semua hadirin bahwa
simbol adat dalam peti tidak perlu
diragukan kebenaran dan kelengkapannya.
Tuturan
tersebut dituturkan pada saat Dampekuna-kunahako
(orang yang bertanya kepada Tolea
Ntama) tentang isi peti tersebut supaya disaksikan pada semua hadirin
tentang kelengkapan isi dalam peti tersebut.
Kalimat
tuturan tersebut dituturkan dalam situasi resmi/formal. Lokasi terjadinya tuturan
tersebut adalah di rumah orang tua
pengantin perempuan yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
4.4.2
Campur Kode BI dalam BM yang Berbentuk Gabungan Kata/Frasa
Campur kode BI dalam BM
yang dituturkan oleh pembicara adat pada saat upacara adat pernikahan di
Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga yang berbentuk gabungan kata/frasa.
Data 1. BM : Rua
pulu “lembar pemisahnya”, darua
pulu tangkeno po olono.
BI : Dua puluh “lembar pemisahnya ”, dan dua puluh tangkai lembar pemisahnya.
Kalimat tuturan tersebut
mengalami campur kode BI dalam BM yang ddibuktikan dengan adanya frasa dalam
BI, yakni “lembar pemisahnya” yang di dalam BM berarti “Lebo poolono”. Arti
dalam kalimat tuturan tersebut adalah
semoga orang tua perempuan dan para keluarga yang hadir ditempat
tersebut tidak tersinggung atas kedatangan Tolea
Ntama (juru bicara laki-laki). Sebab terjadinya campur kode dalam
tuturan ini adalah karena faktor akademik. Penutur ingin menunjukkan
keahliannya atau kemampuannya dalam
berbahasa Indonesia. Penutur menggunakan campur kode BI dalam BM karena penutur
ingin memperjelas tuturannya dihadapan para hadirin terutama kepada orang tua
pengantin perempuan dan para keluarganya bahwa jangan ada yang tersinggung
dengan kedatangan Tolea Ntama (juru
bicara laki-laki).
Kalimat tuturan tersebut dituturkan olehSara (tokoh adat) pada saat dimulainya
adat upacara sebelum Pontunua peahua (bakar rokok) pernikahan
suku Moronene.secara filosifisPontunua
peahua (bakar rokok) berarti pertemuan antara pengantin perempuan dan
pengantin laki-laki untuk pertama kalinya. Hal dilakukan karena pada zaman
dahulu, ketika seorang laki-laki menginginkan perempuan, kemudian seorang
laki-laki diperkenankan bertemu dengan seorang
perempuan tersebut adalah sebuah aib jika perempuan dan laki-lakiapabila
bertemu berduaan, dan itu merupakan salah
satu pelanggaran adat.
Kalimat
tuturan tersebut dituturkan dalam situasi resmi/formal. Lokasi terjadinya
tuturan tersebut adalah di rumah orang tua
pengantin perempuan yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
Data 2. BM :
Nde’e tuluwe, kaudam penda “merangkak
mondar-mandir ” kana-kanam
na owose’a aico parlu’u dasahina tompano .
BI : Ada
apa lagi juru bicara laki-laki,kenapa lagi “merangkak
mondar-mandir ” kaya-kayanya ada lagi perlumu yang
sangat besar.
Kalimat tuturan tersebut mengalami campur kode BI
dalam BM yang ditandai dengan gabungan kata/frasa, yakni “merangkak mondar-mandir”. Frasa “merangkak mondar-mandir” memiliki padanan arti di dalam BM adalah “i’iyu morangkurumai”.
Kalimat tersebutdituturankan oleh Potulu (pembawa
acara) kepada Tolea Ntama
(juru bicara laki-laki) pada saat pernikahan adat berlangsung. Sebab terjadinya campur
kode dalam tuturan tersebut, yaitu sengaja meneyelipkanBI dalam tuturannya
karena penutur tidak mengetahui bahasa daerahnya. Penutur kekurangan kosa kata
dalam BM, ini disebabkan karena gaya
hidup masyarakat sekarang berkembang sesuai zaman, pengaruh globalisasi dimana
masyarakat sudah mulai menggunakan BI sebagai bahasa sehari-hari. Penutur
menggunakan campur kode BI dalam BM karena penutur ingin memperjelas dan
mempertegas kepada para hadirin terutama kepada orang tua pengantinperempuan
dan keluarganya. Maksud dari gerakkan Tolea
Ntama (juru bicara laki-laki) yang “merangkak
mondar-mandir”, gerakkan ini menunjukkan bahwa Tolea Ntama (juru bicara laki-laki masih ada perlunya yang sangat
besar kepada keluarga pengantin perempuan di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
Kalimat
tuturan tersebut dituturkan dalam situasi resmi/formal. Lokasi terjadinya
tuturan tersebut adalah di rumah orang tua
pengantin perempuan yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
4.4.3
Campur kode BI dalam BM yang berbentuk Klausa
Campur kode BI dalam BM yang
dituturkan oleh pembicara adat pernikahan di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
Data
1. BM : Hapaponde’e
penda sahina saa’i unta merende,
katodapo leu afa apuno sara kaingkana
“masih ada lagi keinginanmu
”, metompa ngkana aico petukanangku.
BI : Ada apa lagi
saudara merendah, kenapa datang ketemu tuan rumahseluruh tokoh adat sepertinya “masih ada lagi keinginanmu”, sampai di
sini dulu pertanyaanku.
Kalimat tuturan tersebut mengalami campur kode BI
dalam BM yang ditandai dengan adanya gabungan kata “masih ada lagi keinginanmu” dalam BM berarti “Nandaapo penda dani
mperendeakonto ”. Kalimat
tersebut dituturankan oleh sara (tokoh
adat) kepada Tolea Ntama (juru bicara
laki-laki) pada saat upacara untuk Polangarako
(meminta izin) bahwa upacara pernikahan akan dilakukan. Penutur menggunakan
campur kode BI dalam BM karena penutur sengaja agar keinginannya untuk
memperjelas dan mempertegas kepada para hadirin terutama kepada orang tua
pengantin perempuan bahwa Tolea Ntama (juru
bicara laki-laki) masih ada keinginannya kepada sara (tokoh adat) untuk meminta izin kepada pihak keluarga
perempuan untuk membawa kedua mempelai pengantin ke rumah mempelai laki-laki. Sebab terjadinya campur
kode dalam tuturan tersebut, yaitu penutur sengaja bercampur kode dengan alasan
bahwa pada acara ini sangat penting untuk diketahui oleh semua hadirin yang
menjadi pemandu adat dan lain-lain, agar memahami maksud tuturannya. Penutur
sengaja bercampur kode karena jangan sampai ada salah satu hadirin yang tidak
memahami tujuan tuturan tersebut. Ini disebabkan karena faktor pemakaian bahasa
daerah yang tidak sempurna. Kalimat
tuturan tersebut dituturkan pada saat upacara adat oleh molangarako (unduh mantu/proses kedua pengantin dibawa ke rumah
orang tua mempelai laki-laki) akan dilaksanakan. Tuturan terjadi setelah
selesai akad nikah. Utusan keluarga
laki-laki datang kepada orang tua perempuan meminta izin untuk membawa ke rumah
orang tua mempelai laki-laki.
Kalimat
tuturan tersebut dituturkan dalam situasi resmi/formal. Lokasi terjadinya
tuturan tersebut adalah di rumah orang tua
pengantin perempuan yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
Data 2. BM : Kita petamaangku
sara, hamo damotua ngaka potamano pesosainaanto hamopompesi kokonaano sara hio
nde’e kakudaa nta lako mokokonta’o atawa sai wukahio hinangkuamo nana daano ,
hitoari lako molembi mentade saba tangkio, na’angku adie‘e “saya minta juga”hai kita perano petamaangku sara hamo’o
da motu’a kayo tulunuihira tangkiyira yi ile dumondo salapasiakino kuna metompa
di cena.
BI : Kita
pemangku adat, anggota adat dan tokoh masyarakat yang mewakili keluarganya
kenapa lagi saya akan tahan atau tidak
izinkan kalau sudah begitu adanya, kitadari pergi melipat berdiri untuk datang
bawa,karena ini “saya minta juga”
sama kita semua pemangku adat dan tokoh masyarakat kita bersama-sama bawa
mereka besok pagi, sekian sampai di sini.
Kalimat tuturan tersebut mengalami campur kode BI
dalam BM yang ditandai dengan adanya frasa “saya
minya juga” dalam BM berarti “Kuna moito na’angku”. Kalmiat
tersebut dituturankan oleh Aponu Raha (tuan
rumah) utusan dari orang tua mempelai perempuan.
Penutur
menggunakan campur kode BI dalam BM karena penutur ingin menciptakan suasana arab bahwasanya penutur
mengizinkan dengan hormat dan senang hati anaknya dibawa oleh suaminya.
Kalimat
tuturan tersebut dituturkan dalam situasi resmi/formal. Lokasi terjadinya
tuturan tersebut adalah di rumah orang tua
pengantin perempuan yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
4.5 Campur Kode BA dan BM dalam Upacara Pernikahan
Suku Moronene di Kelurahan Tandebura
Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka
Campur
kode BA dalam BM yang terjadi pada upacara pernikahan suku Moronene mutlak
kejadiannya. Untuk lebih lanjutnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Data
1. BA/BM :
“Assalamualaikum” Tabea aponu raha, tewaliom kako pesua?.
BI : “Semoga keselamatan
tercurahkan kepada kita semua” maaf tuan rumah, boleh kah kami masuk?.
Kutipan tuturan tersebut
menunjukan campur kode yang dilakukan penutur dalam upacara pernikahan di
Kelurahan Tandebura. Campur kode yang dilakukan penutur dengan bercampur kode
BA dengan BM, penanda campur kode itu ditandai dengan adanya ucapan salam.
Salam tidak memiliki padanan arti dalam BM, namun adanya dalam BI. Salam
dalam tuturan ini menunjukkan bahwa penutur memberikan salam hormat kepada
lawan tuturnya.
Tuturan tersebut merupakan ucapan salam yang wajib
diucapkan bagi umat muslim dam muslimah yang beragama Islam pada saat bertemu
atau pada saat akan masuk di rumah orang.Agama Islam mengajarkan bahwa ucapan
salam itu sangat wajib karena itu merupakan sapaan kepada orang lain.
Tuturan ini diucapkan pada saat Tolea Ntama (juru bicara laki-laki)
memberikan salam untuk masuk ke rumah mempelai perempuan, begitu pula sebaliknya.
Tuturan tersebut dituturkan dalam situasi resmi/formal. Lokasi terjadinya
tuturan tersebut adalah di rumah orang tua
pengantin perempuan yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
Data 1. BA/BM : “Bismillahirohmanirrohim” tabea rua pulu tabea.
BI : “Dengan
menyebut nama allah yang maha pengasih
dan lagi maha penyayang” maaf beribu-ribu maaf.
Kutipan tuturan tersebut menunjukan campur kode yang
dilakukan penutur dalam upacara pernikahan di Kelurahan Tandebura. Campur kode
yang dilakukan penutur dengan bercampur kode BA dengan BM, penanda campur kode
itu ditandai dengan adanya ucapan basmalah. basmalah tidak memiliki padanan
arti dalam BM, namun adanya dalam BI. Basmalah dalam tuturan ini adalah menunjukkan bahwa dengan mengucapkan basmalah
diawal tuturan menurut agama Islam, yaitu untuk mendapatkan keberkahan dari
yang maha kuasa.
Tuturan tersebut merupakan ucapan basmalah yang wajib
diucapkan bagi umat muslim dam muslimah yang beragama Islam pada saat akan memulai
atau membuka acara adat dan sebagainya. Menutut pandangan suku Moronene dan umat Islam secara umum bahwa bahwa
mengucapan basmalah itu wajib agar apa yang dikerjakan semoga mendapat berkah
dari yang maha kuasa.
Tuturan tersebut dituturkan dalam situasi formal.
Lokasi terjadinya tuturan tersebut adalah di rumah orang tua pengantin perempuan dan di rumah orang tua
pengantin laki-laki yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga
Kabupaten Kolaka.
4.6 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Campur
Kode dalam Penggunaan BM pada saat Upacara Pernikahan Suku Moronene di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga
Kabupaten Kolaka
Campur
kode BA dalam BM yang terjadi pada upacara pernikahan suku Moronene di
Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka.Tidak terjadi dengan
begitu saja, akan tetapi disebabkan oleh beberapa faktor. Adapu faktor yang
menyebabkan campur kode, yaitu penutur lupa dengan bahasa daerahnya. Penutur
ingin melakukan penegasan, penjelasan, perkembangan zaman, sengaja dan tidak
sengaja, gengsi dan akademik, yang selalu kebiasaan menggunakan bahasa
Indonesia.
4.6.1
Penutur Lupa Bahasa daerahnya
Salah
satu faktor terjadinya campur kode adalah karena penutur lupa bahasa daerahnya
yang diucapkan sehingga si penutur melakukan campur kode untuk meneruskan
perkataannya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Data
1. BM : Adie
datepolele ira’i, “terbentang” i’olotanto.
BI : Ini yang terletak
dimuka, “terbentang” dihadapan kita.
Kalimat
tuturan pada data di atas
pada acara Mowindahako/Modio Ninyapi (meminang/melamar)
tergambar bahwa ada gejala campur kode yang dilakukan oleh Tolea Ntama (juru bicara laki-laki) kepada Apono Raha (tuan rumah). Campur kode dilakukan karena Tolea Ntama (juru bicara laki-laki) lupa
dengan bahasa daerahnya, sehingga ia menggunakan bahasa Indonesia dengan kata “terbentang”. Campur kode bermula dari
percakapan antara Tolea Ntama (juru
bicara laki-laki) kepada Apono Raha (tuan rumah). Tolea Ntama (juru bicara laki-laki)
menyodorkan perangkat adat pinangan ditengah-tengah para tokoh-tokoh adat dan
hadirin yang menyaksikan acara tersebut. Ditengah-tengah percakapan yang mereka
lakukan tiba-tiba Tolea Ntama (juru
bicara laki-laki) lupa dengan bahasa daerahnya, sambil tundukkan kepala penutur
langsung bercampur kode, yaitu Tolea
Ntama (juru bicara laki-laki) menyebutkan kata “terbentang” dalam bahasa Indonesia dan bukan dalam bahasa
daerahnya. Penanda campur kode pada tuturan tersebut adalah “terbentang”. Di dalam BM kata “terbentang” berarti “Telenga”
bisa juga berarti “Tewoleako”. Tuturan tersebut terjadi pada saat dalam situasi resmi.
Data
2. BM
: Nde’e tuluwe, kaudam penda “merangkak
mondar-mandir” kana-kanam
na owose’a aico parlu’u dasahina tompano .
BI
:
Ada apa lagi juru bicara laki-laki, kenapa lagi “merangkak mondar-mandir” kaya-kayanya ada lagi perlumu yang sangat
besar.
Kalimat tuturan pada data di atas tergambarkan terjadinya campur kode yang dilakukan oleh Penutur.
Campur kode dilakukan karena Potulu (pembawa
acara) lupa dengan bahasa daerahnya. Campur kode berawal dari Potulu (pembawa acara) yang bertanya
kepada Tolea Ntama (juru bicara
laki-laki). Ditengah-tengah para tokoh-tokoh adat dan hadirin yang menyaksikan
acara tersebut. Ditengah-tengah tuturannya seorang penutur menoleh ke kiri dan
ke kanankarena penutur lupa dengan bahasa daerahnya, yaitu dengan menggunakan
kata “merangkak mondar-mandir”sehingga
penutur melakukan campur kode untuk meneruskan tuturannya. Frasa “merangkak mondar-mandir” dalam BM
berarti“i’iyu morangkurumai”. Penanda campur kode pada tuturan
tersebut termasuk kategori frasa.
Data 3. BM : “Kalau begitu”,kanadi
perongeku, tuluwe, kato nunu’o ataorano adati mperiounto ngkana atorano mbueto
da meriou, di susunano adatinto “pelan-pelan terkikis”.
BI : “Kalau begitu”, begini pendengaranku,juru
bicara laki-laki, kita ikuti
aturan adat yang dulu seperti aturan nenek moyang, susanan adatnya “pelan-pelan
mulai terkikis”.
Kutipan tuturan pada data di atas tergambarkan bentuk
campur kode yang disebabkan penutur lupa bahasa daerahnya pada frasa "kalau
begitu"sehingga penutur langsung bercampur kode untuk meneruskan
tuturannya. Campur kode diawali dengan kepala Desa/lurah yang memberitahukan
bahwa upacara adat pernikahan suku kita, yaitu suku Moronene, khususnya yang
berada di Kelurahan tandebura kini pelan-pelan mulai ditinggalkan contoh
kecilnya saja pada tahap memakan sirih kini sudah dimodernkan menjadi menghisap
rokok.
Hal
itu dilakukan karena penting untuk memberikan penegasan bahwa upacara adat
pernikahan harus dilestarikan. Ada pun penanda campur kode pada tuturan
tersebut adalah “Kalau begitu” dan “pelan-pelan terkikis” di dalam BM
berarti “Ngkana Co’o”. Sedangkan “pelan-pelan mulai terkikis”di dalam
BM berarti “Ngkolako-lako Nte Kikisi”.
Penanda campurkode pada data 3 tersebut termasuk dalam kategori campur kode
yang berbentuk frasa.
4.6.2
Penutur Melakukan Penegasan dan Penjelasan
Campur
kode disebabkan karena ingin menegaskan dan memjelaskan maksud apa yang
disampaikan. Penegasan dilakukan guna untuk melakukan penjelasan tuturan kepda
lawan tuturnya dan para hadirin yang tidak mengerti. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada uraian berikut ini.
Data
1. BM : “Sekianlah sampai di sini” Danta tianio rongo mokomoicco, yahoo raro mino motua.
BI :“Sekianlah
sampai di sini” yang akan bertambah dan memperbaiki, ialah para orang-orang
tua.
Tuturan pada
data di atas tergambarkan bahwa adanya campur kode tuturan, ini disebabkan
karena penutur sengaja bercampur kode dengan tujuan ingin mengakrabkan suasana
yaitu dengan memberitahukan para hadirin bahwa upacara adat lamaran akan segera
berakhir. Campur kode ini berawal dari potulu yang mengakhiri upacara
adat lamaran. Penanda campur kode pada tuturan ini adalah “sekian sampai
disini” dalam BI, dalam BMnya nta peranomo inaai atau bisa juga kato
petompa dicena. Tetapi dalam upacara pernikahan yang biasa dipakai adalah kato
petampo dicena. Penanda campur-campur kode pada data 1 tersebut termasuk
dalam kategori frasa.
Data 3. BM :
Co ba ribite sampu-mpuno na opia lewe
asa “ikat”? Nangkua dinanda da
olima daho da opitu, sampu-mpuno da maina da banara.
BI : Itu sirih
sebenarnya berapa lembar dalam 1 “ikat”?
Ini ada yang lima ada yang tujuh, sebenarnya mana yang benar.
Faktor –faktor
yang menyebabkan terjadinya campur kode bukan hanya pengaruh lupa bahasa daerah
akan tetapi karena adanya alasan untuk menegaskan/menjelaskan suatu tuturan
sehingga penutur bercampur kode. Hal ini dibuktikan dengan melihat kutipan data
5. Pada kutipan tersebut peristiwa campur kode terjadi. Peristiwa itu bermula
ketika penutur bertanya Sara kepada Tolea Ntama tentang lembar daun
sirih dalam satu ikat. Maksud si penutur adalah ingin menegaskan agar mudah
dipahami oleh seluruh hadirin. Adapun yang menjadi penanda campur kode pada
tuturan tersebut adalah pada kata “ikat”
di dalam BMnya berarti “iyu/koko” penanda campur kode tersebut termasuk
dalam kategori campur kode yang berbentuk kata.
Data 2. BM : Kita petamaangku sara hamo damotua ngaka
potamano pesosainaanto hamopompesi kokonaano sara, teteano inoawano sara, hiyo
nde’e kekudaa nta lako mokokonta’o atawa sai wukahio hinangkuamo nana daano,
hitoari lako molembi mentade saba tangkio, na’angku adie “saya minta
juga” hai kita perano pertamahangku sara hamoo daa motu’a kayo tilunuihira
tangkiyira yi ile dumondo salapasiakino kuno metompa dicena.
BI : Kita pemangku adat, anggota adat dan tokoh masyarakat
mewakilinya kekeluargaan kenapa lagi saya akan tahan atau tidak izinkan kalau
begitu adanya, kita dari pergi melipat berdiri datang bawa, karena ini “saya
minta juga” sama kita semua pemangku adat dan tokoh masyarakat kita
bersama-sama bawa mereka besok pagi, sekian sampai disini.
Kutipan tuturan tersebut pada data di atas tersebut tergambarkan
bentuk campur kode yang disebabkan oleh penegasan untuk mengakrabkan suasana
akrab. Campur kode tersebut diawali oleh Apuno Raha yang mengizinkan
kedua mempelai ke rumah orang tua perempuan dan Apuno Raha meminta
kepada tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh adat untuk mengantar mempelai ke rumah
orang tua laki-laki. Penanda campur kode pada data 7 adalah “saya minta juga”di
dalam BMnya “ngkuna moita naangku”. Penanda ampur kode pada data 7 tersebut
disebut dalam kategori klausa.
4.6.3 Pengaruh Perkembangan Zaman
Campur kode juga disebabkan oleh perkembangan zaman, artinya bahwa daerah
berubah karena pengaruh era modernisasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada uraian berikut ini.
Data 1. BM : Ira indo
“pemerintah” ronga miano
motuanaamopera daleu, dan naimarou’a.
BI : Di hadapan “pemerintah”
bersama orang tua serta hadirin yang dimuliakan
Tuturan tersebut
mengalami campur kode BI dalam BM yang ditandai dengan kata “pemerintah”, di
dalam BM berarti “pamarenta”. Pada zamandahulu BI pada kata “pemerintah” memiliki padanan dalam BM
yang berarti “dawawa wonua”. Sebab
terjadinya campur kode pada tuturan tersebut adalah sebagian besar masyarakat
suku Moronene yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten
Kolaka menguasai bahasa lebih dari tiga bahasa atau bisa dikatakan masyarakatnya
multilingual karena masyarakatnya memiliki ragam suku dan bahasa. Berkaitan
dengan campur kode BI dalm BM pada kata“pemerintah” yaitu pada zaman
dahulu digunakan kata dawawa wonuadan diadopsi dari bahasa
Indonesia menjadi kata pamarenta hingga karena pengaruh era
modernisasi sekarang ini masyarakat keterbiasaan menggunakan kata pemerintah
dalm komunikasi sebagai Bahasa sehari-hari.
4.6.4 Pengaruh Sengaja Atau Tidak Sengaja Menggunakan BI
Campur kode juga disebabkan karena ingin menegaskan dan menjelaskan
maksud apa yang disampaikannya. Penegasan dilakukan guna untuk melakukan
penjelasan tuturan kepada lawan tuturnya dan para hadirin yang tidak mengerti.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Data 2. BM : Kana-kanamo wae-waea, ganda, wulu ‘padi’
nte’asi.
BI :
Laksana sebiji kemiri, gendang, bulu “padi” terselip.
Kutipan tuturan
pada data di atas tergambarkan bentuk campur kode yang disebabkan kebiasaan
menggunakan BI sebagai bahasa sehari-hari. Penutur menggunakan campur kode
karena penutur menjelaskan bahwa kata “padi” berarti “mpae” dan
bisa juga berarti “kina”. Dalam BM Campur kode muncul berawal dariapuno raha yang menjawab tuturan Tolea
Ntama. Apuno raha bercampur kode karena pengaruh sering menggunakan BI
dalam bahasa sehari-hari. Kata “padi” diartikan dalam BM adalah “ mpae”
dan juga berarti “kina”, kata kinalah yang biasa dipakai dalam bahasa
sehari-hari. Penanda campur kode pada tuturan tersebut adalah kata “padi”.
Penanda campur kode tersebut termasuk dalam kategori campur kode yang berbentuk
kata.
Data 1. BM : Iramo “para” damotu’a mokodungku’o.
BI :
Mereka “para” tetuah adat yang akan mengucapinya.
Kutipan tuturan di
atas tergambarkan bahwa adanya gejala campur kode yang dilakukan penutur dalam
upacara adat pernikahan di Kelurahan Tandebura. Faktor yang menyebabkan
terjadinya campur kode tersebut adalah pengaruh.
Seringnya menggunakan BI dalam bahasa sehari-hari. Campur kode
digunakan penutur karena untuk memperjelas tuturnya agar mudah dipahami oleh
hadirin yang menyaksikan acara tersebut. Penanda campur kode pada tuturan
tersebut adalah “para” di dalam BMnya “raro”. Campur kode tersebut tergolong
campur kode yang berbntuk kata.
Data 3. BM : Tekana-kanam tuluwea/tolea ngkana arumai ngkanaumpe cokolihe-
lihe, “penglihatanto” co inhino soronga. Tekonamo hela mondoomo.
BI :Laksana
juru bicara laki-laki bagaimana melirik, “penglihatannya” kita tentang
isi peti itu “Apakah” sudah benar
dan lengkap
Kutipan tuturan di
atas pada data di atas memperlihatkan
bahwa adanya campur kode yang disebabkan oleh sengaja menggunakan bahasa
Indonesia dengan maksud tertentu. Peristiwa campur kode ini bermula dampekuna-kunahako
yang menegaskan bahwa kelengkapan isi peti/langka yang diperlihatkan di
depan para hadirin. Adapun penanda campur kode pada tuturan tersebut adalah “penglihatannya”
di dalam BM berarti “peontoto”. Penanda campur kode pada data di
atas itu termasuk dalam kategori kata.
Data 1. BM : Hapaponde’e
penda sehina saa’I unta merende kato dapo
leu afa apuno sara kaing kana “masih ada lagi keinginanmu”, metompa ngkana aico petukanangku.
BI :
Apa lagi saudara merende, kenapa datang ketemu tuan rumah seluruh tokoh adat
sepertinya “masih ada lagi keinginanmu”, sampai disini pertanyaanku.
Kutipan tuturan
tersebut tergambarkan campur kode yang dilakukan penutur. Campur kode
bermula dari tolea ntama yang meminta izin pada sarauntuk membawa
pengantin untuk ke rumah orang tua laki-laki. Sara melakukan campur kode
karena sengaja menggunakan bahasa Indonesia. Alasan saramelakukan campur
kode karena keinginannya untuk menjelaskan kepada hadirin terutama keluarga
pihak perempuan bahwa toleantama masih ada lagi keinginannya. Penanda
campur kode pada tuturan tersebut adalah “masih ada lagi keinginanmu” di
dalam BM berarti “nandapo penda danimperendeakabto”. Penanda campur kode
yang terjadi pada tuturan pada data 5 termasuk kategori frasa.
Data 2. BM : Yahoo luwuno ootuano hai “orang tua
perempuan”, nta meperanomo dicena.
BI : Ada semuanya keputusan sama “orang
tua perempuan”, sekianlah sampai disini.
Tuturan pada data di atas
mengalami campur kode yang ditandai dengan adanya frasa “orang tua
perempuan” campur kode terjadi
disebabkan oleh penutur yang sengaja menggunakan BI karena penutur
memberitahukan bahwa keputusan diserahkan kepada orang tua perempuan. Penanda
campur kode yang terjadi pada tuturan ini adalah “orang tua perempuan”
didalam BM berarti “miano motuano tina”. Penanda campur kode pada
tuturan ini termasuk dalam kategori frasa.
4.6.5 Faktor Gengsi dan Akademik
Campur kode juga disebabkan karena faktor gengsi dan akademik.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Data
1. BM : Co tuluwea kuanta “perhatikan”
momoico fungke-fungke adati
danibiasakonto coira komando-mondoahano.
BI
: Kamu juru bicara laki-laki harus “perhatikan” baik-baik
benda-benda adat yang biasa dan kelengkapannya.
Kalimat tuturan
di atas tergambarkan gejala campur kode yang terjadi. Campur kode terjadi
disebabkan karena faktor gengsi. Campur kode terjadi berawal dari penutur yang
menyuruh Tolea Ntama memperhatikan kelengkapan benda-benda adat. Campur kode terjadi karena
penutur ingin menunjukkan dirinya bahwa ia adalah orang yang terpandang
sehingga dalam tuturannya pun menyelipkan BI. Penanda campur kode pada tuturan
tersebut adalah “perhatikan” di dalam BM yang berarti perhatikan. Penanda
campur kode pada tuturan ini termasuk dalam kategori kata.
Data 2. BM : Rua pulu “lembah pemisahnya”, rua
pulu tangkeno po aino.
BI :
Dua puluh “lembah pemisahnya”, dua puluh gunung penyekatnya
Kutipan tuturan pada data di atas tergambarkan terjadinya campur kode yang
ditandai dengan frasa “lembah pemisahnya” di dalam BM “lebo po olono”. Campur kode yang terjadi pada tuturan ini
disebabkan oleh faktor akademis. Penutur berlatar pendidikan, ia adalah kepala
sekolah disalah satu sekolah yang berada di Kabaena. Penanda campur kode pada
tuturan di atas tergolong dalam kategori frasa.
4.6.6 Faktor
Tidak Memiliki Padanan BM
Campur kode juga disebabkan karena faktor-faktor tidak mmiliki
padanan BM Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Data 1. BA/BM
: “Assalamuallaikum”, tabea
apuno raha tewaliom kako pesua?.
BI
: “Semoga keselamatan tercurahkan kepada kita semua” boleh kah kami masuk?.
Data 2. BA : “Bissmillahirohmanirohim”,
tabea rua pulu tabea.
BI : “Dengan
menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang”, berlimpah-limpah
rahmat.
Kalimat tuturan pada ke dua data
tersebut tergambarkan campur kode. Campur kode pada kedua data tersebut
merupakan campur kode BA dan BM. Sebab terjadinya campur kode pada ke dua data
tersebut karena tidak terdapat dalam BM namun kehadiran campur kode pada data
tersebut mau tidak mau pasti terjadi karena dalam islam wajib kita mengucapkan
salam dan basmalah setiap awal langkah karena dalam Islam itu adalah doa semoga
senantiasa mendapatkan rahmat dari yang maha kuasa.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
` Berdasarkan data
yang ada, masyarakat Moronene yang berada di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka, yaitu termasuk penutur yang bilingual. Penutur yang
bilingual menyebabkan terjadinya campur kode bahasa daerah dengan bahasa
Indonesia. Campur kode terjadi dalam situasi formal pada upacara pernikahan
suku Moronene di Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka.
Bentuk campur kode
dalam penggunaan bahasa Moronene pada adat upacara pernikahan suku Moronene di
Kelurahan Tandebura Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka adalah berupa campur
kode berbentuk kata, campur kode berbentuk gabungan kata/frasa , dan campur
kode yang berbentuk klausa.
Faktor yang menyebabkan
terjadinya campur kode adalah faktor perkembangan zaman, penutur lupa bahasa
daerah, penutur melakukan penengasan/penjelasan, gengsi dan akademis, sengaja
dan tidak sengaja menggunakan BI, tidak memiliki bahasa daerah.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian mengenai campur kode dalam penggunaan
bahasa Moronene pada upacara adat pernikahan di Kelurahan Tandebura Kecamatan
Watubangga Kabupaten Kolaka.
Ada beberapa saran yang dikemukakan dalam kaitannya dengan
penelitian ini antara ini:
1.
Diharapkan para
peneliti selanjutnya
dapat meneliti campur kode dengan menggunakan bahasa yang lebih beragam;
2.
Demi terlaksana penelitian dalam bidang bahasa
daerah ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan bahasa daerah, maka
diharapkan pada kalangan mahasiswa Juusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya mahasiswa suku Moronene
yang cenderung memilih masalah bahasa daerah untuk dijadikan sasaran penelitian
terutama bahasa Moronene yang masih banyak masalah kebahasaannya yang belum
diteliti.
3.
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam pemantapan pelajaran muatan
lokal di sekolah yang mengajarkan bahasa daerah sebagai materi pembelajaran di
sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar