ads head

Advertisement

Selasa, 26 September 2017

Status Anak akibat Pembatalan Perkawinan

Pengaturan Pembatalan Perkawinan di dalam Undang-Undang No. 1 
Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Di Indonesia terdapat peraturan khusus yang mengatur mengenai
perkawinan, yaitu diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Undang-Undang tersebut menjadi pedoman atau dasar hukum untuk
melangsungkan perkawinan yang sah. Agar suatu perkawinan dapat dikatakan
sah, maka perkawinan tersebut harus memenuhi syarat-syarat perkawinan yang
terdapat di dalam Undang-Undang Perkawinan. Selain mengatur mengenai
perkawinan diatur juga mengenai pembatalan perkawinan, yang diatur di dalam
satu bagian khusus yaitu pada BAB IV Undang-Undang Perkawinan. Di dalam
BAB IV tersebut dijabarkan mengenai alasan-alasan terjadinya pembatalan
perkawinan, pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, dan
cara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.
Pengajuan pembatalan perkawinan tidak dapat dilakukan secara
sembarangan, syarat untuk mengajukan pembatalan yang pertama yaitu harus
memiliki alasan yang kuat sesuai dengan yang sudah diatur di dalam Undang-
Undang Perkawinan seperti perkawinan yang dilakukan dibawah ancaman,
adanya pelanggaran batas umur perkawinan, dst. Yang kedua yaitu pihak-pihak
yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, suami atau istri, pejabat yang
berwenang seperti jaksa, pejabat yang ditunjuk (Pasal 23 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan), wali nikah, pengampu, pihak yang
berkepentingan (Pasal 14 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).3 Untuk tata cara pengajuan pembatalan perkawinan sama dengan
cara pengajuan gugatan perceraian, hanya berbeda di bagian materinya saja.

Status Anak akibat Pembatalan Perkawinan

Di Pengadilan Negeri Denpasar pernah terjadi kasus mengenai pembatalan
perkawinan. Gugatan pembatalan perkawinan tersebut diajukan pada tahun 2010
oleh istri pertama (Penggugat) yang menggugat suami dan istri kedua dari
suaminya (Para Tergugat). Pihak penggugat dan suaminya (Tergugat 1) telah
melangsungkan perkawinan secara sah pada tanggal 16 Juni 1971 dan telah
dikaruniai 4 orang anak. Namun, pada Tahun 2008 pihak Tergugat 1 dan Tergugat
2 (Para Tergugat) telah melangsungkan perkawinan tanpa izin dari istri sah yaitu
Penggugat. Para Tergugat ini telah memiliki seorang anak yang lahir sebelum
Para Tergugat melangsungkan perkawinan. Maka dari itu Penggugat di dalam
gugatannya meminta agar perkawinan antara Para Tergugat ini dibatalkan dan
anak dari Para Tergugat tersebut dinyatakan sebagai anak yang tidak sah.
Terhadap dalil-dalil gugatan dari Penggugat maka Majelis Hakim mengadili untuk
mengabulkan seluruh gugatan dari Penggugat yaitu menyatakan perkawinan dari
Para Tergugat batal karena perkawinan tersebut telah melanggar Pasal 9 Undang-
Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa seorang yang masih terikat tali
perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin kecuali dalam hal yang
disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan. Selanjutnya mengenai anak
dari Para Tergugat yang lahir diluar perkawinan yang sah tidak dapat diakui
sebagai anak sah dalam perkawinan Para Tergugat. Putusan Pengadilan Negeri
Denpasar ini sendiri dikuatkan lagi dengan Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar
No. 50/ Pdt./ 2011/ PT.Dps.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklan