BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembicaraan tentang Tuhan merupakan pembicaraan yang
menyedot pemikiran manusia sejak jaman dahulu kala. Manusia senantiasa bertanya
tentang siapa di balik adanya alam semesta ini. Apakah alam semesta terjadi
dengan sendirinya ataukah ada kekuatan lain yang mengatur alam semesta ini.
Bertitik-tolak dari keinginan manusia untuk mengetahui keberadaan alam semesta
ini, maka manusia mencoba mengkajinya sesuai dengan kemampuan akal yang
dimilikinya. Hasil dari kajian-kajian yang dilakukan, manusia sejak jaman primitif
sudah mempercayai adanya kekuatan lain di luar diri manusia yang disebut dengan
Tuhan.
Namun, kepercayaan kepada adanya Tuhan berbeda-beda. Hal
ini disebabkan karena perbedaan tingkat kemampuan akal manusia. Menurut Ibnu
Thufail yang menulis kisah novel Hayy bin Yaqdzan mengatakan bahwa manusia
dengan akalnya mampu mempercayai adanya Tuhan.1 Demikian juga para pemikir dari
semua aliran teologi dalam Islam seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah
Bukhara dan Samarkand berpendapat bahwa mengetahui Tuhan dapat diketahui
melalui akal.2
Mengingat kepercayaan terhadap Tuhan berbeda-beda, lantas
apakah semua Tuhan yang dipercayai oleh manusia merupakan Tuhan yang Haq
(benar), dan bagaimana cara mengetahui Tuhan yang Haq (benar) tersebut? Tulisan
ini akan menjelaskan tentang Tuhan yang Haq (benar) dalam perspektif Islam, dan
menguji Tuhan-Tuhan yang ada dalam kepercayaan manusia di luar Islam.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
filsafat ketuhanan dalam islam?
2. Apa konsep
ketuhanan dalam islam?
3. Apa arti hakekat manusia?
4. Apa hakekat manusia menurut pandangan umum?
5. Apa hakekat manusia meurut Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
filsafat ketuhanan dlam islam.
2. Mengetahui
bagaimana konsep krtuhanan dalam islam.
3. Mengkaji
siapa Tuhan itu, bukti-bukti Ketuhanan dalam Islam, serta sejarah pemikiran
manusia tentang Tuhan.
4. Mengetahui
apa arti hakikat manusia.
5. Mengetahui
arti hakekat manusia menurut pandangan umum dan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat
Ketuhanan Dalam Islam
Secara harfiah, kata filsafat berasal
dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau
hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah.
Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah
hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif
terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti
mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia.
Sementara itu, A. Hanafi, M.A.
mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan
sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang
pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas
dapat diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi kebahasan atau semantik
adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat
adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau
kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Keimanan dalam Islam merupakan aspek
ajaran yang fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif.
Keimanan kepada Allah Swt, kecintaan, pengharapan, ikhlas, kekhawatiran, tidak
dalam ridho-Nya, tawakal nilai yang harus ditumbuhkan secara subur dalam
pribadi muslim yang tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran yang lain dalam
Islam.
Ketaatan merupakan karunia yang
sangat besar bagi muslim dan sebagian orang yang menyebut kecerdasan spiritual
yang ditindak lanjuti dengan kecerdasan sosial. Inti ketaatan tidak dinilai
menurut Allah Swt, bila tidak ada nilai pada aspek sosial.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan
intelektual sekaligus kecerdasan spiritual (QS. Ali Imran: 190-191) sehingga
sikap keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi tetapi didukung kecerdasan
pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut insya Allah menuju dan
berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum: 30).
Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam
bisa diartikan juga yaitu kebijaksanaan Islam untuk menentukan Tuhan, dimana Ia
sebagai dasar kepercayaan umat Muslim.
1. Siapa
Tuhan Itu?
Lafal Ilahi yang artinya Tuhan, menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan
dan dipentingkan manusia, misalnya dalam surat Al-Furqon: 43 yang artinya:
“Apakah engkau melihat orang yang menghilangkan keinginan-keinginan
pribadinya?”
Menurut Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat
yang tidak berijisim, azali, dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia
tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara
dengan-Nya, Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang lain
sementara yang lain membutuhkan-Nya.
Orang menyediakan hawa nafsunya,
yang dipuji dalam hidupnya, berarti telah berbuat syirik yang sebenarnya
menurut Islam hawa nafsu harus tunduk kepada kehendak Allah Swt. Dalam surah
Al-Qoshos: 38, lafal Ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri, yang
artinya:
“Dan
Fir’aun berkata, wahai para pembesar aku tidak menyangka bahwa kalian mempunyai
Ilah selain diriku”
Bagi manusia, Tuhan itu bisa dalam
bentuk konkret maupun abstrak/gaib. Al-Qur’an menegaskan Ilah bisa dalam bentuk
mufrad maupun jama’ (ilah, ilahian, ilahuna). Ilah ialah sesuatu yang
dipentingkan, dipuja, diminintai, diagungkan diharapkan memberikan kemaslahatan
dan termasuk yang ditakuti karena mendatangkan bahaya.
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah:
163 menegaskan, “Dan Tuhanmu, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.” Ilah yang dituju ayat di atas adalah
Allah Swt, yang menurut Ulama’ Ilmu Kalam Ilah di sini bermakna al-Ma’bud,
artinya satu-satunya yang diibadati/disembah. Sedang Al-Matbu’, yang dicintai,
yang disenangi, diikuti. Inilah yang disebut Tauhid Uluhiyah, bahwa
Allah Swt. satu-satunya Tuhan yang diibadahi, dicintai, disenangi, dan diikuti.
Allah Swt memfirmankan dalam
Al-Qur’an surat Thoha : 14, yang artinya: “Sesungguhnya Aku Allah. Tidak ada
Tuhan selain Aku (Allah), maka beribadahlah hanya kepada-Ku (Allah), dan
dirikanlah sholat untuk mengingatku”.
Kalimat
Tauhid keesaan secara konprehensif mempunyai pengertian sebagai berikut:
·
La
Kholiqo illa Allah: Tiada Pencipta selain Allah
·
La
Roziqo illa Allah: Tiada Pemberi rizqi selain Allah
·
La
Hafidha illa Allah: Tiada Pemelihara selain Allah
·
La
Malika illa Allah: Tiada Penguasa selain Allah
·
La
Waliya illa Allah: Tiada Pemimpin selain Allah
·
La
Hakima illa Allah: Tiada Hakim selain Allah
·
La
Ghoyata illa Allah: Tiada Yang Maha menjadi tujuan selain Allah
·
La
Ma’buda illa Allah: Tiada Yang Maha disembah selain Allah
Lafal Al-ilah pada kalimat tauhid[1][4]
menurut Ibnu Taimiyah memiliki pengertian yang dipuja dengan cinta sepenuh
hati, tunduk kepada-Nya merendahkan diri di hadapan-Nya, takut dan mengharapkan
kepadaNya, berserah hanya kepada-Nya ketika dalam kesulitan dan kesusahan,
meminta perlindungan kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan jiwa dikala
mengingat dan terpaut cinta denganNya. Ini yang disebut Tauhid Rububiyah.
Lawan tauhid adalah syirik, artinya
menyekutukan Allah Swt dengan yang lain, mengakui adanya Tuhan selain Allah,
menjadikan tujuan hidupnya selain kepada Allah. Dalam ilmu tauhid, syirik
digunakan dalam arti mempersekutukan Tuhan selain dengan Allah Swt, baik
persekutuan itu mengenai dzatNya, sifatNya atau af’alNya, maupun mengenai
ketaatan yang seharusnya hanya ditujukan kepada-Nya saja.
Syirik merupakan dosa yang paling
besar yang tidak dapat diampuni, syirik itu bertentangan dengan perintah Allah
Swt, juga berakibat merusak akal manusia, menurunkan derajat dan martabat manusia, serta membuatnya tak pantas
menempati kedudukan tinggi yang telah ditentukan Allah Swt. dalam kaitannya
dengan masalah ini, Allah Swt berfirman dalam surah Luqman : 13 yang artinya
“Dan (ingatlah ketika Luqman berkata kepada Anaknya. Wahai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah
benar-benar kedhaliman yang amat besar”.
Dan didalam ayat lain, Allah Swt
menjelaskan bahwa orang yang telah berbuat syirik kepadaNya, tergolong orang
yang telah berbuat dosa besar, sebagaimana firmanNya, “Sesungguhnya Allah tidak
mengampuni dosa syirik, bagi siapa berkehendak. Barang siapa yang mempersekutukan
Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar”. (QS. An-Nisa’: 48).
2.1.2.
2. Sejarah Pemikiran Manusia tentang
Tuhan
a.
Pemikiran Barat
Yang dimaksud dengan konsep
Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah hasil pemikiran tentang Tuhan baik
melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah dari penelitian rasional, maupun
pengalaman batin.
Max Muller berpendapat bahwa konsep
pemikiran barat tentang Tuhan mengalami evolusi yang diawali dengan Dinamisme,
Animisme, Politeisme, Henoteisme, dan puncak tertingginya monoteisme (Nisbi).
Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori
evolusionisme adalah sebagai berikut:
v Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui
adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang
berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada
manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif.
Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda,
seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu),
dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat
dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai
sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia dapat
dirasakan pengaruhnya.
v Animisme
Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh
dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh
masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun
bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu
hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang apabila kebutuhannya dipenuhi.
Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh
tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai
dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
v Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak
memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan.
Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan
kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab
terhadap cahaya, ada yangmembidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan
lain sebagainya.
v Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap
kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi,
karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan
manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya
mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui
Tuhan (Ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa
disebut dengan henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
v Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi
monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan
bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan
terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
a. Deisme yaitu suatu
paham yang berpendapat bahwa Tuhan sebagai pencipta alam berada di luar alam.
Tuhan menciptakan alam dengan sempurna dank arena telah sempurna, maka alam
bergerak menurut hokum alam. Antara alam dengan Tuhan sebagai penciptanya tidak
tidak lagi mempunyai kontak. Ajaran Tuhan yang dikenal dengan wahyu tidak lagi
diperlukan manusia. Dengan akal manusia mampu menanggulangi kesulitan hidupnya.
b. Panteisme berpendapat
bahwa Tuhan sebagai pencipta alam ada bersama alam. Di mana adal alam di situ
ada Tuhan. Alam sebagai ciptaan Tuhan merupakan bagian daripada-Nya. Tuhan ada
di mana-mana, bahkan setiap bagian dari alam adalah Tuhan.
c. Teisme (eklektisme) berpendapat bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai
pencipta alam berada di luar alam. Tuhan tidak bersama alam dan Tuhan tidak ada
di alam. Namun Tuhan selalu dekat dengan alam. Tuhan mempunyai peranan terhadap
alam sebagai ciptaan-Nya. Tuhan adalah pengatur alam. Tak sedikit pun peredaran
alam terlepas dari control-Nya. Alam tidak bergerak menurut hokum alam, tetapi
gerak alam diatur oleh Tuhan.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan
sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh
Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif.
Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama
monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada
wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak
mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka
berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya
sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan
memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa
ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau
wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam
kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam
penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat
primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu
Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).
b. Pemikiran Islam
Pemikiran tentang Tuhan dalam islam
melahirkan ilmu kalam, ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin dikalangan umat Islam,
setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat
liberal, tradisional dan ada aliran diantara keduanya. Ketiga corak pemikiran
ini mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan (teologi) dalam Islam.
Aliran-aliran tersebuut adalah:
1.
Muktazilah, adalah kelompok rasionalis
dikalangan orang Islam, yang sangat menekankan penggunaan akal dalam memahami
semua ajaran Islam. Dalam menganalisis masalah ketuhanan, mereka memakai
bantuan ilmu logika guna mempertahankan keimanan.
2.
Qodariyah, adalah kelompok yang
berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan berbuat.[2][5]
Manusia berhak menentukan dirinya kafir atau mukmin sehingga mereka harus
bertanggung jawab pada dirinya. Jadi, tidak ada investasi Tuhan dalam perbuatan
manusia.
3.
Jabariyah, adalah kelompok yang
berpendapat bahwa kehendak dan perbuatan manusia sudah ditentukan Tuhan. Jadi,
manusia dalam hal ini tak ubahnya seperti wayang. Ikhtiar dan doa yang
dilakukan manusia tidak ada gunanya.
4.
Asy’ariyah dan Maturidiyah, adalah kelompok yang mengambil jalan tengah antara Qodariyah dan Jabariyah. Manusia wajib berusaha semaksimal mungkin. Akan tetapi,
Tuhanlah yang menentukan hasilnya.
2.1.3. 3.
Konsep Ketuhanan Menurut Islam
Konsep Ketuhanan dapat diartikan
sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang dianggap penting oleh manusia
terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun konkret).[3][6]
Eksistensi atau keberadaan Allah disampaikan oleh Rasul melalui wahyu kepada
manusia, tetapi yang diperoleh melalui proses pemikiran atau perenungan.
Informasi melalui wahyu tentang
keimanan kepada Allah dapat dibawa dalam kutipan di bawah ini:
a. Surat
Al-Anbiya’ : 25 yang artinya “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum
kamu, melainkan Kami wahyukan kepadaNya, bahwasanya tidak ada Tuhan selain
Allah, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.
Sejak
diutusnya Nabi Adam AS sampai Muhammad Saw Rasul terakhir. Ajaran Islam yang
tAllah Swt wahyukan kepada para utusanNya adalah Tauhidullah atau monotheisine
murni. Sedangkan lafadz kalimat tauhid itu adalah laa ilaha illa Allah. Ada perbedaan ajaran tentang Tuhan yang ada
asalnya dari agama wahyu. Hal semacam itu disebabkan manusia mengubah ajaran
tersebut. Dan hal seperti itu termasuk kebohongan yang besar (dhulmun’adhim).
b.
Surat Al-Maidah : 72 “Dan Al masih berkata; Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku
dan Tuhanmu, sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka Allah pasti
mengharamkan baginya surga dan tempatnya adalah neraka”.
Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan
atas pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan pernah
benar. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga informasi tentang
Tuhan yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan sebagai hasil renungan
maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.
Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan
antara lain tertera dalam:
QS 21 (Al-Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama yang
diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu
seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah.
Mereka akan kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka.
Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia
bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan konsep tentang ajaran ketuhanan
sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan
dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul, Adam sebagai Rasul pertama
dan Muhammad sebagai terakhir.
Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan
di antara agama-agama adalah karena perbuatan manusia. Ajaran yang tidak sama
dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan kebohongan manusia yang
teramat besar.
QS 5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil
sembahlah Allah Tuhaku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya syurga, dan tempat
mereka adalah neraka.
QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang
Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan
Dia.”
Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan
adalah Allah. Kata Allah adalah nama isim jumid atau personal
name. Merupakan suatu pendapat yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan
dengan kata “Tuhan”, karena dianggap sebagai isim musytaq.
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal
ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65,
surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang
Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga.
Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan
Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha
ayat 98, dan Shad ayat 4.
Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka
menurut informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar
Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi
melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid
telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah
esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak
pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi
atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan
kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai
prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari
al-quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari
Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik
menjalani kehidupan.
1. Metode Pembuktian Ilmiah
Tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam
masalah metode pembuktian. Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan dan
pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan alam di luar indera, yang
tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada analogi dan induksi).
Hal inilah yang menyebabkan menurut metode ini agama batal, sebab agama tidak
mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga
tidak mempunyai landasan ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu,
walaupun belum diuji secara empiris. Di samping itu metode ini juga tidak
menolak analogi antara sesuatu yang tidak terlihat dengan sesuatu yang telah
diamati secara empiris. Hal ini disebut dengan “analogi ilmiah” dan dianggap
sama dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak
hanya karena percobaan itu dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu
analogi tidak dapat dianggap salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar
dan salah dari keduanya berada pada tingkat yang sama.
Percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains yang
pasti, karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada persoalan yang dapat diamati
dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori yang disimpulkan dari
pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk mengobservasi. Orang
yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat bahwa kebanyakan pandangan
pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi terhadap pengamatan dan
pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu banyak sarjana
percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara langsung. Sarjana mana
pun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang pada kata-kata seperti:
“Gaya” (force), “Energy”, “alam” (nature), dan “hukum alam”. Padahal tidak ada
seorang sarjana pun yang mengenal apa itu: “Gaya, energi, alam, dan hukum
alam”. Sarjana tersebut tidak mampu memberikan penjelasan terhadap kata-kata
tersebut secara sempurna, sama seperti ahli teologi yang tidak mampu memberikan
penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya percaya sesuai dengan bidangnya pada
sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman
kepada yang ghaib” dan ilmu pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan
ilmiah”. Sebab, baik agama maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya berlandaskan
pada keimanan pada yang ghaib. Hanya saja ruang lingkup agama yang sebenarnya
adalah ruang lingkup “penentuan hakikat” terakhir dan asli, sedang ruang
lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada pembahasan ciri-ciri luar saja. Kalau
ilmu pengtahuan memasuki bidang penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah
bidang agama, berarti ilmu pengetahuan telah menempuh jalan iman kepada yang
ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang lain.
Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang
menafsirkan pengamatan tidak kurang nilainya dari hakikat yang diamati. Mereka
tidak dapat mengatakan: Kenyataan yang diamati adalah satu-satunya “ilmu”
dan semua hal yang berada di luar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak dapat
diamati. Sebenarnya apa yang disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh orang
mukmin, adalah iman kepada hakikat yang tidak dapat diamati. Hal ini tidak
berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru merupakan interpretasi yang
terbaik terhadap kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para sarjana.
2.
Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan
rahasianya yang pelik, tidak boleh tidak memberikan penjelasan bahwa ada
sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak ada
batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula
bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani
setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika
harus percaya tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan:
<<Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya Khaliq>> adalah
suatu pernyataan yang tidak benar. Belum pernah diketahui adanya sesuatu yang
berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya,
pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan percaya bahwa alam
semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta?
3.
Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan bahwa alam
menciptakan dirinya sendiri (alam bersifat azali) masih banyak pengikutnya.
Tetapi setelah ditemukan “hukum kedua termodinamika” (Second law of
Thermodynamics), pernyataan ini telah kehilangan landasan berpijak.
Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan
energi atau teori pembatasan perubahan energi panas membuktikan bahwa adanya
alam tidak mungkin bersifat azali. Hukum tersebut menerangkan bahwa energi
panas selalu berpindah dari keadaan
panas beralih menjadi tidak panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin, yakni
energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas menjadi panas.
Perubahan energi panas dikendalikan oleh keseimbangan antara “energi yang ada”
dengan “energi yang tidak ada”.
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia
dan fisika di alam terus berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal itu
membuktikan secara pasti bahwa alam bukan bersifat azali. Seandainya alam ini
azali, maka sejak dulu alam sudah kehilangan energinya, sesuai dengan hukum
tersebut dan tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini. Oleh karena itu pasti
ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan.
4.
Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan,
yang jaraknya dari bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi
dan menyelesaikan setiap edarannya selama dua puluh sembilan hari sekali.
Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari matahari berputar pada
porosnya dengan kecepatan seribu mil per jam dan menempuh garis edarnya
sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Di samping bumi terdapat gugus
sembilan planet tata surya, termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan
kecepatan luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada suatu tempat tertentu,
tetapi ia beredar bersama-sama dengan planet-planet dan asteroid mengelilingi
garis edarnya dengan kecepatan 600.000 mil per jam. Di samping itu masih ada
ribuan sistem selain “sistem tata surya” kita dan setiap sistem mempunyai
kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut juga beredar pada
garis edarnya. Galaxy dimana terletak sistem matahari kita, beredar pada
sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia dengan memperhatikan sistem yang luar
biasa dan organisasi yang teliti, akan berkesimpulan bahwa mustahil semuanya
ini terjadi dengan sendirinya, bahkan akan menyimpulkan bahwa di balik semuanya
itu ada kekuatan maha besar yang membuat dan mengendalikan sistem yang luar
biasa tersebut, kekuatan maha besar tersebut adalah Tuhan.
Metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan
penghayatan keserasian alam tersebut oleh Ibnu Rusyd diberi istilah “dalil
ikhtira”. Di samping itu Ibnu Rusyd juga menggunakan metode lain yaitu “dalil
inayah”. Dalil ‘inayah adalah metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman
dan penghayatan manfaat alam bagi kehidupan manusia (Zakiah Daradjat,
1996:78-80).
B. Hakikat Manusia Menurut Islam
1. Arti Hakekat Manusia
Menurut bahasa,
hakikat berarti kebenaran atau sesuatu yang sebenar-benarnya atau asal segala
sesuatu. Dapat juga dikatakan hakikat itu adalah inti dari segala sesuatu atau
yang menjadi jiwa sesuatu. Dikalangan tasawuf orang mencari hakikat diri
manusia yang sebenarnya, karena itu muncul kata-kata diri mencari sebenar-benar
diri. Sama dengan pengertian itu mencari hakikat jasad, hati, roh, nyawa, dan
rahasia.
Manusia adalah makhluk paling sempurna
yang pernah diciptakan oleh Allah swt. Kesempurnaan yang dimiliki manusia
merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka
dumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah.
Jadi hakekat manusia adalah kebenaran
atas diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.[1]
2. Hakekat Manusia Menurut Pandangan Umum
Pembicaraan manusia dapat ditinjau dalam
berbagai perspektif, misalnya perspektif filasafat, ekonomi, sosiologi,
antropologi, psikologi, dan spiritualitas Islam atau tasawuf, anatar lain :
a. Dalam perspektif filsafat.
Disimpulkan bahwa manusia merupakan hewan yang
berpikir karena memiliki nalar intelektual. Dengan nalar intelektual itulah
manusia dapat berpikir, menganalisis, memperkirakan, meyimpulkan,
membandingkan, dan sebagainya. Nalar intelektual ini pula yang membuat manusia
dapat membedakan antara yang baik dan yang jelek, antara yang salah dan yang
benar.
1. Hakekat Manusia
Pada saat-saat tertentu dalam
perjalanan hidupnya, manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan
asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran pokok
filsafat yang memberikan jawaban atas
pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme dan
Kreasionisme (J.D. Butler, 1968). Menurut Evolusionisme,
manusia adalah hasil puncak dari mata
rantai evolusi yang terjadi di
alam semesta. Manusia sebagaimana halnya alam
semesta ada dengan sendirinya berkembang dari alam itu
sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain Herbert Spencer,
Charles Darwin, dan Konosuke Matsushita. Sebaliknya, Kreasionisme
menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam semesta adalah
ciptaan suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME. Penganut aliran
ini antara lain Thomas Aquinas dan Al-Ghazali. Memang kita
dapat menerima gagasan tentang adanya
proses evolusi di alam semesta termasuk pada diri
manusia, tetapi tentunya kita menolak pandangan yang
menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi
dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta.
2.
Wujud dan Potensi
Manusia.
Wujud Manusia.
menurut penganut aliran Materialisme yaitu Julien
de La Mettrie bahwa esensi manusia semata-mata
bersifat badani, esensi manusia adalah tubuh atau
fisiknya. Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau
rohaniah dipandangnya hanya sebagai resonansi dari
berfungsinya badan atau organ tubuh. Tubuhlah yang
mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada organ tubuh luka muncullah rasa
sakit. Pandangan hubungan antara badan dan
jiwa seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme
(J.D. Butler, 1968). Bertentangan dengan gagasan Julien
de La Metrie, menurut Plato salah seorang
penganut aliran Idealisme -bahwa esensi
manusia bersifat kejiwaan/spiritual/rohaniah. Memang
Plato tidak mengingkari adanya aspek badan,
namun menurut dia jiwa mempunyai kedudukan
lebih tinggi daripada badan.
b. Dalam Perspektif
Ekonomi.
Dalam perspektif ekonomi, manusia adalah makhluk
ekonomi, yang dalam kehidupannya tidak dapat lepas dari persoalan-persoalan
ekonomi. Komunikasi interpersonal untuk memenuhi hajat-hajat ekonomi atau
kebutuhan-kebutuhan hidup sangat menghiasi kehidupan mereka.
c. Dalam
Perspektif Sosiologi.
Manusia adalah makhluk social yang sejak lahir hingga matinya tidak pernah
lepas dari manusia lainnya. Bahkan, pola hidup bersama yang saling membutuhkan
dan saling ketergantungan menjadi hal yang dinafikkan dalam kehidupan
sehari-hari manusia.
d. Dalam
Perspektif Antropologi.
Manusia adalah makhluk antropologis yang mengalami perubahan dan evolusi. Ia
senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan yang dinamis.
e. Dalam
Perspektif Psikologi.
Manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa. Jiwa merupakan hal yang esensisal
dari diri manusia dan kemanusiaannya. Dengan jiwa inilah, manusia dapat
berkehendak, berpikir, dan berkemauan.[3]
3. Hakekat Manusia Menurut Pandangan Islam
Penciptaan manusia
terdiri dari bentuk jasmani yang bersifat kongkrit, juga disertai pemberian
sebagian Ruh ciptaan Allah swt yang bersifat abstrak. Manusia dicirikan oleh
sebuah intelegensi sentral atau total bukan sekedar parsial atau pinggiran.
Manusia dicirikan oleh kemampuan mengasihi dan ketulusan, bukan sekedar
refles-refleks egoistis. Sedangkan, binatang, tidak mengetahui apa-apa diluar
dunia inderawi, meskipun barangkali memiliki kepekaan tentang yang sacral.
Manusia perlu mengenali hakekat dirinya, agar akal yang digunakannya untuk
menguasai alam dan jagad raya yang maha luas dikendalikan oleh iman, sehingga
mampu mengenali ke-Maha Pekasaan Allah dalam mencipta dan mengendalikan
kehidupan ciptaanNya. Dalam memahami ayat-ayat Allah dalam kesadaran akan
hakekat dirinya, manusia menjadi mampu memberi arti dan makna hidupnya, yang
harus diisi dengan patuh dan taat pada perintah-perintah dan berusaha menjauhi
larangan-larangan Allah. Berikut
adalah hakekat manusia menurut pandangan Islam:
1. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah SWT.
Hakekat pertama ini berlaku umum bagi seluruh jagat raya dan isinya yang
bersifat baru, sebagai ciptaan Allah SWT di luar alam yang disebut akhirat.
Alam ciptaan meupakan alam nyata yang konkrit, sedang alam akhirat merupakan
ciptaan yang ghaib, kecuali Allah SWT yang bersifat ghaib bukan ciptaan, yang
ada karena adanya sendiri.[5]
Firman Allah SWT
mengenai penciptaan manusia dalam Q.S. Al-Hajj ayat 5 :
فانا خلقناكم من تراب ثم من
نطفة ثم من علقة ثم من مضغة مخلقة وغير مخلقة لنبين لكم
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air
mani menjadi segumpal darah, menjadi segumpal daging yang diberi bentuk dan
yang tidak berbentuk, untuk Kami perlihatkan kekuasaan Tuhanmu.”
Firman tersebut menjelaskan pada manusia tentang asal muasal dirinya, bahwa
hanya manusia pertama Nabi Adam AS yang diciptakan langsung dari tanah, sedang
istrinya diciptakan dari satu bagian tubuh suaminya. Setelah itu semua manusia
berikutnya diciptakan melalui perantaraan seorang ibu dan dari seorang
ayah, yang dimulai dari setetes air mani yang dipertemukan dengan sel telur di
dalam rahim.
Hakikat pertama ini berlaku pada umumnya manusia di seluruh jagad raya
sebagai ciptaan Allah diluar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan merupakan
alam nyata yang konkrit sedangkan alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib
kecuali Allah yang bersifat ghaib bukan ciptaan yang ada karena dirinya
sendiri.
2.
Kemandirian dan
Kebersamaan (Individualitas dan Sosialita).
Kemanunggalan tubuh dan
jiwa yang diciptakan Allah SWT , merupakan satu diri individu yang berbeda
dengan yang lain. setiap manusia dari individu memiliki jati diri masing -
masing. Jati diri tersebut merupakan aspek dari fisik dan psikis di dalam
kesatuan. Setiap individu mengalami perkembangan dan berusah untuk
mengenali jati dirinya sehingga mereka menyadari bahwa jati diri mereka
berbeda dengan yang lain. Firman Allah dalam Q.S. Al-A’raf 189:
هو الذي خلقكم من نفس واحدة
“Dialah yang
menciptakanmu dari satu diri”
Firman tersebut jelas menyatakan
bahwa sebagai satu diri (individu) dalam merealisasikan dirinya melalui
kehidupan, ternyata diantaranya terdapat manusia yang mampu mensyukurinya dan
menjadi beriman.
Di dalam sabda
Rasulullah SAW menjelaskan petunjuk tentang cara mewujudkan sosialitas yang
diridhoiNya, diantara hadist tersebut mengatakan:
“Seorang dari kamu
tidak beriman sebelum mencintai kawannya seperti mencintai dirinya sendiri” (Diriwayatkan
oleh Bukhari)
“Senyummu kepada
kawan adalah sedekah”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Baihaqi)
Kebersamaan (sosialitas) hanya akan terwujud jika dalam keterhubungan itu
manusia mampu saling menempatkan sebagai subyek, untuk memungkinkannya menjalin
hubungan manusiawi yang efektif, sebagai hubungan yang disukai dan diridhai
Allah SWT. Selain
itu manusia merupakan suatu kaum (masyarakat) dalam menjalani hidup bersama dan
berhadapan dengan kaum (masyarakat) yang lain. Manusia dalam perspektif agama
Islam juga harus menyadari bahwa pemeluk agama Islam adalah bersaudara satu
dengan yang lain.
3.
Manusia Merupakan
Makhluk yang Terbatas.
Manusia memiliki
kebebasan dalam mewujudkan diri (self realization), baik sebagai satu diri
(individu) maupun sebagai makhluk social, terrnyata tidak dapat melepaskan diri
dari berbagai keterikatan yang membatasinya. Keterikatan atau keterbatasan itu
merupakan hakikat manusia yang melekat dan dibawa sejak manusia diciptakan
Allah SWT. Keterbatasan itu berbentuk tuntutan memikul tanggung jawab yang
lebih berat daripada makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab yang paling asasi
sudah dipikulkan ke pundak manusia pada saat berada dalam proses penciptaan
setiap anak cucu Adam berupa janji atau kesaksian akan menjalani hidup di dalam
fitrah beragama tauhid. Firman Allah Q.S. Al-A’raf ayat 172 sebagai berikut:
واذ اخذ
ربك من بني ادم من ظهورهم ذريتهم واشدهم على انفسهم الست بربكم قالوا بلى شهدنا
“Dan ingat lah
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian jiwa mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami dan kami bersaksi.”
Kesaksian tersebut merupakan sumpah yang mengikat
atau membatasi manusia sebagai individu bahwa didalam kehidupannya tidak akan
menyembah selain Allah SWT. Bersaksi akan menjadi manusia yang bertaqwa pada
Allah SWT. Manusia tidak bebas menyembah sesuatu selain Allah SWT, yang sebagai
perbuatan syirik dan kufur hanya akan mengantarkannya menjadi makhluk yang
terkutuk dan dimurkaiNya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketuhanan dalam islam
bisa diartikan yaitu kebijaksanaan islam untuk menentukan tuhan, dimana ia
sebagai dasar kepercayaan umat islam.
Hakekat
manusia adalah kebenaran atas diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diciptakan
oleh Allah SWT. Tetapi terdapat dua sudut pandang yang dapat digunakan untuk
memahami apa hakekat manusia itu, yaitu dari pandangan umum dan pandangan agama
Islam.
Hakekat manusia menurut
pandangan umum mempunyai arti bermacam-macam, karena tedapat berbagai ilmu dan
perspektif yang memaknai hakekat manusia itu sendiri. Seperti dalam perspektif
filsafat menyimpulkan bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir karena
memiliki nalar intelektual. Dalam perspektif ekonomi mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk ekonomi. Perspektif Sosiologi melihat bahwa manusia adalah makhluk
social yang sejak lahir hingga matinya tidak pernah lepas dari manusia lainnya.
Sedangkan, perspektif antropologi berpendapat manusia adalah makhluk
antropologis yang mengalami perubahan dan evolusi. Dan dalam perspektif
psikologi, manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa.
Hakekat manusia menurut
pandangan Islam:
a.
Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah SWT.
b.
Kemandirian dan Kebersamaan (Individualitas dan
Sosialita).
c.
Manusia Merupakan Makhluk yang Terbatas.
Daftar Pustaka
www.google.co.id
Ahmad Norma (ed.). 1997. Hakikat
Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadari Nawawi. 1993. Pendidikan
Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Jacob & Basid Wahid.
1984. Evolusi Manusia dan Konsepsi Islam. Bandung: Risalah.
Hadari Nawawi. 1993. Hakekat
Manusia Menurut Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Mukhtar Solihin, &
Rosihon Anwar. 2005. Hakikat Manusia “Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan
Diri, dan Psikologi Islam. Bandung: Pustaka Setia.
http://www.tugasku4u.com/2013/05/makalah-hakikat-manusia-menurut-islam.html
(Diakses tanggal 5 Maret 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar