BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sistem politik adalah suatu bagian yang pasti ada di
setiap Negara sistem politik sendiri berfungsi sebagai pengatur dan membuat
peraturan untuk dipatuhi oleh seluruh warga negaranya. Ada beberapa sistem politik
yaitu sistem politik komunis, liberal dan demokrasi dari beberapa sistem
politik tersebut masih ada juga system politik Islam. Setiap Negara pasti
memiliki sistem politiknya masingmasing. Seperti misalnya Negara Indonesia yang
menggunakan sistem politik demokrasi yang berarti sistem tersebut didasarkan
pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis . Disini kita
akan membahas tentang peranan agama Islam dalam perkembangan politik di dunia
saat ini, dengan mengkaji berbagai informasi berdasarkan Al-Qur’an, Al Hadits
dan sejarah sistem politik di masa
Rasulullah SAW.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, masalahmasalah
yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa itu
Politik?
2. Apa itu
Politik Islam?
3. Bagaimana
sejarah kepemimpinan Rasulullah?
4. Apa saja
nilai-nilai dasar sistem politik dalam alquran?
1.3 TUJUAN
Dalam
menyusun makalah ini penulis mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
1. Penulis
ingin mengetahui arti dari Politik.
2. Penulis
ingin mengetahui seperti apa Politik Islam.
3. Penulis
ingin mengetahui seperti apa sejarah kepemimpinan Rasulullah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN POLITIK
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat
yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang
berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik
adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional.
Komponen-komponen
yang diperlukan dalam politik yaitu :
a.
Masyarakat
b. Kekuasaan
c. Negara
Fungsi
Politik adalah
· Perumusan
kepentingan
· Pemaduan
kepentingan
· Pembuatan kebijakan
umum
· Penerapan
kebijakan
· Pengawasan
pelaksanaan kebijakan
2.2 PENGERTIAN POLITIK ISLAM
Politik dan agama adalah sesuatu yang terpisah. Dan, sesungguhnya
pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfaatmanfaat
amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern
didasarkan pada kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar agama.
Pemerintahan yang berlaku pada masa Rasulullah dan khalifah bukanlah
diturunkan Allah dari langit. Wahyu Allah hanya mengarahkan Rasul dan kaum
muslimin untuk menjamin kemaslahatan umum, tanpa merenggut kebebasan mereka
untuk memikirkan usaha-usaha menegakkan kebenaran, kebajikan, dan keadilan.
Alquran sendiri tidak mengatur urusan politik secara khusus, tetapi hanya
memerintahkan untuk menegakkan keadilan, kebajikan, membantu kaum lemah, dan
melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela, serta durhaka. Alquran hanya
meletakkan garis besar pada kaum muslimin, kemudian memberikan kebebasan untuk
memikirkan hal-hal yang diinginkan dengan ketentuan tidak sampai melanggar
batas-batas yang telah ditetapkan. Islam pada dasarnya adalah Siyasatullah fil
Ardh. Maksudnya, dengan Islam inilah Allah mengatur semesta alam, yang
diperuntukan kepada manusia. Islam itu secara substantif bersifat politis.
Konteks pemberian amanah kepada manusia yang dimaksud di atas adalah Istikhlaf
sebagai konsep politik. Istikhlaf berarti "menjadikan khalifah untuk
mewakili dan melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya."
Untuk lebih
memahaminya, perlu kita ingat kembali bahwa Allah memberikan manusia dua amanah
:
1. Ubudiyah,
yaitu untuk beribadah, penghambaan kepada Allah.
2. Amanah
Kekhalifahan, hal ini lebih dekat kepada otoritas untuk
mengendalikan
kehidupan (di atas bumi).
Allah SWT berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, ..." (QS. An Nur:
55)
Dengan demikian, Islam secara substantif adalah siyasah, yaitu menghendaki
agar ummat menjalankan kepemimpinan politik. Salah satu tujuan Islam adalah
bagaimana agar bisa menerapkan kehidupan secara Islami dan agar sampai tidak
ada lagi fitnah di muka bumi.
Untuk itu perlu dilakukan suatu tindakan untuk merubah situasi saat yang
masih jauh dari harapan ini agar mencapai tujuan di atas. Ada dua pendekatan
dalam agenda perubahan tersebut (secara berurut):
1. Pendekatan secara kultural. Tersirat dalam firman Allah SWT pada Surat
Al Jumuah ayat 2, "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata."
2. Pendekatan secara struktural. Pendekatan inilah yang lebih bersifat
siyasi. Jadi, ketika telah terbentuk masyarakat yang Islami secara kultural,
maka dibutuhkanlah pemerintahan yang Islami. Contohnya dalam peristiwa Piagam
Madinah. Ketika itu masyarakat Madinah sudah terkondisikan sebagai masyarakat
yang Islami secara kultural. Kedua pendekatan di atas tidak dapat
dipilah-pilahkan satu sama lain. Kedua hal di atas hanyalah terkait pada
tahapan perubahan saja. Jadi, sebenarnya tidak ada istilah Islam kultural, dan
Islam Politik. Islam itu adalah menyeluruh. Kemudian Politik di dalam bahasa
Arab dikenal dengan istilah sasayasusu-
siyasah . Yang berarti (mengurusinya, melatihnya, dan
mendidiknya) dan secara bahasa adalah cara pemerintahan Islam mengurus urusan
rakyatnya, serta urusan negara, umat dan rakyatnya terkait dengan negara, umat
dan bangsa lain. Urusan tersebut meliputi seluruh aspek kehidupan: politik,
sosial, ekonomi, pendidikan, keamanan, dll, yang mana pada masa Rasulullah SAW
makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan
gembalaannya. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan
manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus
(siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri
mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya,
dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : yang artinya
‘Bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti
ngengat/rayap yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan
pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah
petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah
Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul
anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak
ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR.
Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya
adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti
memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman
penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka.
Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi
urusan kaum muslimin,
mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya,
serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan)
seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT
melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW
bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya
bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi
namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan
mereka." (HR. Al Hakim)
a. Pilar-pilar dasar dalam pemerintahan
Politik Islam antara lain adalah :
_ Kedaulatan di Tangan Syara’(hukum Islam)
_ Kekuasaan di Tangan Umat
_ Hanya Khalifah yang Berhak Mengadopdi Hukum
_ Wajib Membai’at Satu Khalifah
Struktur Pemerintahan dan Administrasi dalam sistem Khalifah Politik Islam
:
_ Khalifah
_ Mu’awin Tafwidh/Mentri tapi tidak berhak membuat UU
(Pembantu
Khalifah Bidang Pemerintahan)
_ Mu’awin Tanfidz (Pembantu Khalifah Bidang
Administrasi)
_ Wali/Kepala Daerah
_ Amir Jihad – Mabes Angkatan Bersenjata
_ Departemen Keamanan Dalam Negeri
_ Departemen Luar Negeri
_ Departemen Perindustrian
_ Departemen Kehakiman
_ Departemen Penerangan
_ Kemaslahatan Publik
_ Baitul Mal (rumah penyimpan harta)
_ Majelis Ummah/Dewan Perwakilan Rakyat
b. Sistem Politik dalam Negeri Khilafah
_ Menerapkan syariat Islam kepada seluruh rakyat,
Muslim maupun Non-
Muslim;
_ Memberikan kebebasan kepada rakyat Non-Muslim
menjalankan ibadah,
makan, minum, tatacara berpakaian, dan menikah menurut agama dan keyakinan
mereka;
_ Memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada setiap
warga negara,
Muslim dan Non-Muslim, kecuali yang menjadi kekhususan
masing-masing;
_ Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan umat Islam
dalam satu negara,
dengan akidah yang sama, yaitu akidah Islam;
c. Sistem Politik luar Negeri Khilafah
_ Mengemban Islam kepada seluruh bangsa, negara dan
umat lain;
_ Menerapkan syariat Islam kepada bangsa, negara dan
umat lain yang
berhubungan dengan Khilafah;
_ Berjihad dalam rangka membebaskan penghambaan
manusia oleh manusia
(‘ibadat al-’ibad) untuk menyembah Rabb al-’Ibad;
d. Jaminan Penerapan Syariat Islam, di
Dalam dan Luar Negeri:
_ Ketakwaan individu, rakyat dan aparatur negara;
_ Kontrol masyarakat (umat dan partai politik) yang
mempunyai kesadaran
ideologis;
_ Penerapan Islam secara kaffah, adil dan konsekuen
oleh negara kepada
seluruh rakyat;
e. Fungsi Organisasi dan Partai Dalam
Sistem Khilafah:
_ Edukasi: Mendidik umat dan masyarakat agar memahami
Islam dengan
benar;
_ Agregasi: Menghimpun umat dan masyarakat berdasarkan
ikatan Islam;
_ Artikulasi: Menyampaikan aspirasi umat dan masyarakat
yang sesuai dengan
Islam, dan mengoreksi kebijakan yang bertentangan
dengannya; Organisasi
dan partai seperti ini hukumnya
Fardu Kifayah:
2.3 SISTEM
POLITIK ISLAM DI MASA RASULULLAH SAW
Sejarah Politik Masa Nabi SAW. dan Khulafa’
al-Rāsyidîn Pemerintahan Islam sejak dari masa Nabi Muhammad SAW di Madinah
pada 622 M hingga Khulafa al-Rāsyidîn yang berakhir pada sekitar 656 M
merepresentasikan sebuah upaya penegakan kebajikan di muka bumi. Kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW adalah kepemimpinan moral yang sangat peduli pada perwujudan
keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Seperti dicatat dalam sejumlah riwayat, pemerintahan Nabi di Madinah adalah
pemerintahan yang toleran. Dokumen tentang toleransi dapat dibaca dalam Piagam
Madinah yang berintikan antara lain: penghormatan pada pemeluk agama yang
berbeda, hidup bertetangga secara damai, kerja sama dalam keamanan, dan
perlindungan bagi pihak-pihak yang teraniaya. Isi Piagam Madinah tersebut
dicatat sebagai dokumen politik pertama dalam sejarah yang mengadopsi prinsip-prinsip
toleransi. Selain itu, Piagam Madinah dilihat dari kacamata teori politik,
dianggap memiliki gagasan-gagasan HAM modern meskipun lahir di masa pra-modern.
Pemerintahan Nabi di Madinah berhasil menyatukan suku-suku yang bertikai
menjadi satu bangsa. Tidaklah mudah menyatukan suku-suku yang berkonflik
ratusan tahun di sana. Tetapi dengan kekuatan integritas moral yang kuat
seperti Nabi SAW., masalah konflik dapat diatasi. Maka gampanglah jalan bagi
Nabi untuk melakukan pembangunan berdasarkan Al-Qur’an sehingga terciptalah
kesejahtraan rakyat.
Menurut riwayat, tidak ada pemberontakan berarti selama Nabi memerintah di
sana dari rakyatnya. Yang terjadi justru, ketaatan penuh rakyat pada
kepemimpinan Nabi. Pernik-pernik konflik terjadi hanya dengan negara-negara
tetangga yang takut kehilangan pengaruh kekuasaannya.
Jadi, selama Nabi Muhammad SAW menjadi pemimpin Negara Madinah, ia menjadi
pemimpin yang adil dan menerapkan keagungan moral bagi rakyatnya. Itulah
sebabnya A’isyah istri Nabi pernah mengatakan bahwa “akhlaq Rasulullah adalah
Al-Qur’an”. Al-Qur’an dan Sunnahnya menjadi undang-undang negara yang mengikat
kaum Muslimin di sana. Sekalipun begitu, umat-umat lain juga dilindungi.
Dalam Q.s., al-Ambiyā’:107 disebutkan yang artinya, “Tidaklah Kami utus
engkau selain menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Konsep rahmatan
lil’ālamîn adalah konsep 2 toleransi di dalam Islam yang hingga sekarang
sering dikutip sebagai teologi toleransi yang amat penting dalam relasi Islam
dan negara.
Demikianlah, kepemimpinan Nabi adalah cermin moralitas dan teladan indah
bagi umat Islam dan bahkan umat manusia. Nabi SAW adalah model ideal umat yang
karir hidupnya dapat memunculkan kearifan-kearifan politik umat. Hingga
wafatnya pada Juni 632 M, Nabi Muhammad SAW telah menjadi Nabi-Penguasa yang
efektif atas sebagian besar semenanjung Arabia.
Pasca wafatnya Nabi, pemerintahan Islam diteruskan oleh empat khalifah yang
utama (Khulafa’ al-Rāsyidîn), yakni Abu Bakar ra, Umar bin Khattab,
Usman bin ‘Affān, dan Ali bin Abin Thalib. Keempat khalifah tersebut
menyelenggarakan pemerintahan Islam mendekati pemerintahan Nabi Muhammad SAW.
Keadilan, penegakan hukum, musyawarah, dan egalitarianisme amat ditegakkan
sehingga empat khalifah itu diberi gelar empat khalifah yang mendapat petunjuk.
Meski ada riak-riak politik di dalam era keempat khalifah itu, tapi secara
keseluruhan menampakkan gerak moral yang amat kosnsisten dan perluasan wilayah
yang amat efektif ke luar Jazirah Arabia. Selama tiga puluh tahun (30 tahun),
keempat khalifah menampakkan sebuah pemerintahan politik Islam yang amat agung
dan menjadi sejarah politik yang demokratis di dunia saat itu. Pasca keempat
khalifah, pemerintahan Islam mengalami pasang-surut.
Demikian pula sejarah Islam mengalami kebangkitan dan keruntuhan. Dari
sejarah itu, menunjukkan garis konstan bahwa pemerintahan yang mengedepankan
moralitas akan memperoleh kejayaan dan sebaliknya. Karena itu, sejarah politik
Islam adalah sejarah pasang surut antara yang ma’ruf dan yang
mungkar. Umat Islam harus mengambil nilai-nilai dan prinsip-prinsip politik
yang baik dan menjauhkan noda-noda
hitamnya jika ingin sebuah pemerintahan itu tegak di muka bumi.
b. Nilai-Nilai Politik Dalam Al-Qur’an
Namun perlu dicatat, Al-Qur’an bukanlah kitab politik. Ia hanya memberikan
prinsip-prinsipnya saja dan bukan mengajari cara-cara berpolitik praktis.
Dengan 3 demikian, perhatian utama Al-Qur’an adalah memberikan petunjuk yang
benar kepada manusia, yaitu petunjuk yang akan membawanya kepada kebenaran dan
suasana kehidupan yang baik.
Sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an mengarahkan manusia kepada hal-hal
praktis. Ia memberi tekanan lebih atas amal perbuatan daripada gagasan.
Bertolak dari sisi pandangan ini, maka iman barulah punya arti jika diikuti
secara terpadu oleh perbuatan baik yang positif dan konstruktif.
Sebagai suatu petunjuk bagi manusia, Al-Qur’an menyediakan suatu dasar yang
kukuh dan tak berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi
kehidupan ini. Menurut Muhammad Asad, Al-Qur’an memberikan jawaban komprehensif
untuk persoalan tingkah laku yang baik bagi manusia sebagai perorangan dan
sebagai anggota masyarakat dalam rangka menciptakan suatu kehidupan yang
berimbang di dunia ini dengan tujuan terakhir kebahagiaan di akhirat.
Al-Qur’an sendiri mengajarkan bahwa kehidupan di dunia merupakan prasyarat
bagi kebahagiaan hidup yang akan datang seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an, ”Barang
siapa buta di dunia ini, maka akan buta di akhirat, dan bahkan lebih
sesat lagi perjalanannya” (terj. Q.s. Al-Ahzāb 72) Bagi seorang mukmin,
Al-Qur’an merupakan manifestasi terakhir bagi rahmat Allah swt. kepada manusia,
di samping sebagai prinsip kebijaksanaan yang terakhir pula.
Jadi, jangan menjadikan Al-Qur’an dan pemerintahan Nabi untuk instrument
politik. Tapi ambillah prinsip-prinsip etiknya dan sesuaikan dengan
kondisi-kondisi sosial politik sehingga melahirkan suatu kombinasi moralitas
Islam dan relevansi sosial politik. Wallāhu A’lamu bil-Shawāb.
2.4. NILAI- NILAI DASAR SISTEM POLITIK DALAM
ALQURAN
Al Qur’an
menegaskan bahwa, kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, jangan sekali-kali
diragukan, sebagaimana disebutkan dalam QS. 2 : 147. Ditegaskan pula dalam QS.
3: 60, bahwa kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, jangan engkau termasuk
mereka yang meragukannya. Juga terdapat penegasan bahwa kebenaran dating dari
Allah SWT, manusia bebas menentukan pilihannya, menerima kebenaran itu atau
menolaknya, sebagaimana firman Allah dalam QS. 18 (al-Kahfi) : 29. Sebagai umat
Islam, maka tentu saja kita mengambil prinsip-prinsip dasar berdasarkan Al
Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber referensi dan rujukan dalam berbagai
hal termasuk dalam urusan politik.
Al Qur’an sebagai sumber ajaran utama dan pertama
agama Islam mengandung ajaran tentang nilai-nilai dasar yang harus
diaplikasikan dan diimplentasikan dalam pengembangan sistem politik Islam.
Nilai-nilai dasar tersebut adalah:
1.
Keharusan mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana tercantum dalam
QS. 23 (al-Mukminun): 52. Dengan demikian, tidak dapat disangkal bahwa Al
Qur’an memerintahkan persatuan dan kesatuan. Hal ini dipertegas lagi dalam QS.
21 (al-Anbiya’): 92.
Perlu digaris bawahi, bahwa makna
umat dalam konteks tersebut adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut
pada hakekatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam
prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan dalam aqidahnya, walaupun
dapat berbeda-beda dalam rincian (furu’) ajarannya. Dengan kata lain, Al
Qur’an sebagai kitab suci pedoman bagi manusia mengakui kebinekaan dalam
ketungalan.
2.
Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyah. Dalam
QS. 42 (al-Syura) : 38 dijelaskan, dan dalam QS. 3 (Ali Imran) : 159.
Ayat diatas dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW agar
memusyawarahkana persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota
masyarakatnya. Ayat ini juga sekaligus sebagai petunjuk kepada setiap muslim,
khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya
karena Rasulullah Muhammad SAW, bagi kita umat muslim adalah suri teladan dalam
hidup dan kehidupan. Dengan kata lain kata al-amr (urusan) tercakup
urusan ekonomi, pendidikan, social, politik, budaya, hukum,dan lain
sebagainya.
3.
Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil. Dijelaskan dalam
QS. 4 (al-Nisa’) : 58. Al Qur’an terutama adalah landasan agama, bukan sebuah
kitab hukum. Berbagai kebutuhan hukum dewasa ini tidak mendapatkan aturannya
dalam Al Qur’an. Tentu saja Al Qur’an menyediakan landasan, prinsip-prinsip
bagi pencapaian keadilan dan kesejahteraan serta penetapan hukum, yang harus
diikuti oleh umat Islam. Tetapi landasan itu hanyalah cita-cita pemberi arah,
dan rakyat iru sendirilah, lewat musyawarah dan lainnya, yang menyusun hukum-hukum
Negara itu termasuk prinsip-prinsip dalam menunaikan amanat dan menetapkan
hukum sehingga tetap berpedoman pada Al Qur’an sebagai sumber utama dan pertama
bagi umat Islam
4.
Kemestian mentaati Allah dan Rasulullah serta Ulil Amri (pemegang
kekuasaan) sebagaimana difirmankan dalam QS. 4 (al-Nisa’): 59. Perlu dicermati
bahwa redaksi ayat di atas menggandengkan kata “taat” kepada Allah dan Rasul,
tetapi meniadakan kata itu pada Ulil Amri. Tidak disebutkannya kata taat
pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak
berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah
dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal
ini dikenal Hadits Rasulullah SAW yang sangat populer yaitu : Tidak
dibenarkan adanya ketaatan kepada seseorang makhluk dalam kemaksiatan kepada
Khalik (Allah). Tetapi di sisi lain, apabila perintah ulil amri tidak
mengakibatkan kemaksiatan, maka wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak
disetujui oleh yang diperintah. Dalam sebuah hadits disebutkan “Seorang
muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang direintahkan
ulil amri), suka atau tidak suka, kecuali bila ia diperintahkan berbuat
maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat”. (HR.
Bukhari Muslim, dan lain-lain melalui Ibnu Umar).
5.
Keniscayaan mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam,
sebagaimana difirmankan dalam QS. 49 (al-Hujarat): 9.
6.
Keharusan mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan melakukan agresi dan
invasi. Dijelaskan dalam QS. 2 (al-Baqarah) : 90.
7.
Kemestian mementingkan perdamaian dari pada pernusuhan. Dalam QS. 8 (al-Anfal):
61.
8.
Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan,
sebagaimana firman Allah dalam QS. 8 (al-Anfal): 60.
9.
Keharusan menepati janji, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. 16 (al-Nahl):
91.
10.
Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa, sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. 49 (al-Hujarat): 13.
11.
Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat. Dalam QS. 59
(al-Hasyr): 7
Bahkan Al Qur’an sama sekali tidak melarang kaum muslim untuk berbuat baik
dan memberi sebagian harta mereka kepada siapapun, selama mereka tidak
memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir kaum muslimin dari kampong
halaman mereka, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam QS. 60 (al-Mumtahanah):
8.
12.
Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum. Dalam Al Qur’an
ditemukan banyak ayat yang berkaitan atau berbicara tentang hokum. Dalam Al
Qur’an secara tegas dinyatakan, bahwa hak pembuat hokum itu hanyalah milik
Allah SWT semata, sebagaimana firman-Nya dalam QS. 6 (al-An,am): 57.
Setiap muslim dalam pelaksanaan
hukum Islam mesti mengikuti prinsip-prinsip : (a) menyedikitkan beban (taqlil
al-takalif), (b) berangsur-angsur (al-Tadarruf), dan (c) tidak
menyulitkan (‘adam al-haraj).
Demikian sekilas tentang prinsip-prinsip dasar sistem
politik Islam berdasarkan Al Qur’an. Tentu saja masih banyak ayat-ayat Al
Qur’an yang saling berkaitan dan berhubungan satu sama lain, sehingga terlihat
jelas kesesuaian dan konsistensi nilai-nilai dasar dalam Al Qur’an tentagn
garis besar dalam urusan politik Islam.
BAB III
PENUTUP
1.1
KESIMPULAN
Dengan demikian penyusun dapat menyimpulkan bahwa hubungan Islam dan
Politik itu sangat berkaitan karena telah dijelaskan tentang aturan dan
cara-cara dalam berpolitik yang sesuai tuntunan Al Quran dan Hadits.
Oleh karena itu sistem politik Islam yang melihat dokumen-dokumen dari
Al-Qur’an ini memuat prinsip-prinsip politik berupa keadilan, musyawarah,
toleransi, hak-hak dan kewajiban, amar ma’ruf dan nahi mungkar, kejujuran,
dan penegakan hukum.
Jadi dengan sistem dan peraturan-peraturan hukum yang sesuai dengan
Al-Qur’an sudah pasti sistem politik Islam lebih baik dibandingkan dengan
sistem Politik yang lain.
1.2 SARAN
Dengan uraian di atas kita dapat menyadari bahwa apapun system politik yang
di gunakan disetiap Negara akan percuma kalau tidak didasari dengan kesadaran
Iman dan Taqwa kepada Allah oleh setiap pemimpin dan rakyatnya.
DAFTAR
PUSTAKA
http://luluvikar.wordpress.com/?Islam%20dan%20Politik
http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/politik-islam-danpolitik-
jahiliyyah.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah
http://www.hudzaifah.org/Article64.phtml
http://www.scribd.com/doc/17236048/Sejarah-Politik-Islam
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar