ads head

Advertisement

Senin, 11 Juni 2018

Asal muasal dan sejarah peradaban suku TOLAKI sulawesi tenggara

Suku Tolaki merupakan suku terbesar yang mendiami daratan pulau Sulawesi bagian Tenggara.
Suku Tolaki merupakan suku asli daerah Kabupaten Kendari dan Kolaka.
Keberadaan Etnis Tolaki tersebar di 7 kabupaten dan kota yang ada di Sulawesi Tenggara seperti :
Kota Kendari
Kabupaten Konawe
Konawe Selatan
Konawe Utara
Kolaka
Kolaka Utara
Kolaka Timur
Masyarakat Suku Tolaki sejak zaman prasejarah diketahui telah ada dan memiliki jejak peradaban
Bukti ini diperkuat setelah berbagai peninggalan arkeologi di ketemukan pada beberapa gua di wilayah Konawe bagian utara seperti :
Asera
Lasolo
Wiwirano
Langgikima
Lamonae
Gua gua tersebut diantaranya
Gua Tanggalasi
gua Tengkorak I
gua Tengkorak II
gua Anawai Ngguluri
gua Wawosabano
gua Tenggere
gua Kelelawar
Dan beberapa gua prasejarah lainnya yang belum teridentifikasi.
Peradaban Suku Tolaki di wilayah Konawe diperkirakan telah berlangsung sejak 5000 tahun Sebelum Masehi.
Secara linguistik Bahasa Tolaki digolongkan kedalam rumpun bahasa Austronesia
Dan secara Antropologi manusia Tolaki menjadi bagian dari Ras Mongoloid, yang datang melalui jalur migrasi Asia Timur menuju daerah Sulawesi, hingga akhirnya masuk ke daratan Sulawesi Tenggara.
Sebelum adanya kerajaan Konawe , beberapa kerajaan kecil dipercaya telah terlebih dahulu ada, diantaranya :
Kerajaan Padangguni yang dipimpin oleh raja mokole Bunduwula, Kerajaan Padangguni memiliki kekuasaan atas wilayah Abuki
Kerajaan Besulutu di Besulutu yang dipimpin oleh Rajanya yang bernama Mombeeti
kerajaan Wawolesea di Toreo yang dipimpin oleh Raja Wasangga.
Jauh sebelum kerajaan Konawe berdiri, Di daerah Konawe telah hadir beberapa kerajaan kecil, dan kerajaan kerajaan inilah yang dikemudian hari menjadi satu membentuk kerajaan Konawe.
Hal ini juga terjadi di beberapa wilayah seperti kerajaan Wolio, Kerajaan wolio dibentuk oleh beberapa kerajaan kecil seperti kerajaan Kamaru, kerajaan Tobe-Tobe, dan beberapa kerajaan kecil lainnya yang ada diwilayah tersebut.
Beberapa kerajaan kecil yang tercatat pernah ada di Wilayah Konawe
Kerajaan Padangguni
Kerajaan Padangguni , Kerajaan ini berkuasa selama 12 generasi. Raja pertama kerajaan Padangguni bernama Tolahianga yang bergelar Bundu Wula atau juga Tanggolowuta akan tetapi sering juga di Gelari Sebagai Sangia Ndudu Ipadangguni.
Kerajaan Wawolesea
Kerajaan Wawolesea yang terletak di sepanjang pesisir pantai timur bagian Tenggara pulau Sulawesi yang sekarang dikenal dengan nama daerah Lasolo.
Kerajaan Wawolesea merupakan keturunan Raja yang berasal dari wilayah Kediri Pulau Jawa.
Kerajaan Wawolesea tidak berkembang dan maju seperti kerajaan lainnya, Hal ini disebabkan perang yang terus menerus di wilayah Kerajaan Banggai, Sulawesi Tengah. Hal lain yang menjadi sebab terhambatnya pembangunan diwilayah kerajaan ini di percaya oleh penduduk setempat karena Kerajaan Wawolesea terkena kutukan akibat ulah sang Raja yang telah menjadikan putrinya sendiri sebagai permasurinya.
Petaka inilah yang membuat penduduk wilayah tersebut hijrah dan berlayar menuju beberapa wilayah lainnya, seperti wilayah disemenanjung utara pulau Buton serta pulau Wawonii.
Kerajaan Wawolesea memiliki seorang raja yang bernama Rundu Langi, Raja Rundu langi tidak memiliki pewaris tahta, Hingga kerajaan Wawolesea menjadi satu dengan kerajaan Konawe.
Kerajaan Besulutu.
Kerajaan Besulutu, Kerajaan ini dipimpin oleh Rajanya yang bernama Mokole Mombeeno, Umur kerajaan besulutu sendiri berlangsung sangat singkat hal ini disebabkan kegemaran sang raja yang selalu ingin berperang dengan beberapa kerajaan kecil disekitarnya.
Peperangan yang dipicu dari kesenangan sang raja inilah yang kemudian membuat rakyatnya terus menerus berkurang, Hingga akhirnya Raja Mokole Mombeeno ikut terbunuh dalam medan pertempuran tanpa meninggalkan generasi penerus yang mampu memimpin kerajaan Besulutu tersebut.
Kerajaan Watu Mendonga
Kerajaan Watumendonga, adalah kerajaan yang mendiami hulu sungai Konawe Eha tepatnya di wilayah Tonga Una.
Kerajaan Watumendonga adalah kerajaan kecil yang kekuasaannya tunduk dibawah pemerintahan kerajaan Konawe. Namun dibelakang hari menjadi bagian dari kerajaan Mekongga. Hal ini dikarenakan daerah Konawe bagian Utara seperti Wilayah Kondeeha, Tawanga dan Sanggona menjadi bagian dari warisan yang diberikan kepada Wunggabae anak dari Buburanda Sabandara Latoma yang bernama Buburanda atas pernikahannya dengan Bokeo Teporambe anak dari Bokeo Lombo-Lombo. Kerajaan Watumendonga terakhir kali dipimpin oleh Mokole Lapanggili.
Dari yang tersampai oleh para penutur silsilah para raja, sisa peninggalan dari kerajaan-kerajaan kecil tersebut masih dapat di temukan, baik itu peninggalan dalam bentuk arkeologi ataupun juga etnografi, seperti halnya reruntuhan istana Raja Wawolesea yang ada di wilayah Toreo.
Dari beberapa sumber sejarah, Keruntuhan kerajaan-kerajaan kecil ini disebabkan seringnya perang saudara terjadi antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya semmisal perang yang terjadi antara Kerajaan Padangguni dengan Kerajaan Besulutu.
Ekspansi dari kerajaan lain yang datang dari luar wilayah Konawe seperti Bungku dan Ternate, Munculnya Penguasa baru seperti kerajaan Konawe yang terdiri dari Penguasa Tiga kerajaan serta peperangan yang melibatkan kerajaan Wawolesea serta kerajaan Banggai juga disebut sebagai penyebab utama berakhirnya kekuasaan beberapa kerajaan kecil diwilayah konawe
Keturunan Mokole Padangguni adalah seorang pemimpin yang selalu berusaha untuk mengintegrasikankan banyak kelompok di lingkungan masyarakat Tolaki yang menetap dan tersebar di seluruh wilayah kerajaan Padangguni.
Nama Mokole Padangguni yang disebut adalah Toramandalangi yang digelari sebagai Totongano Wonua.
Dalam rangka menyatukan kerajaan yang ada di sekitar wilayah konawe Totongano Wonua ini kemudian memindahkan pusat kerajaan Padangguni ke Wilayah Unaaha.
Unaaha saat itu dipenuhi oleh orang yang berdatangan dari wilayah Tulambantu.
Mereka meninggalkan wilayah Tulambantu, dan meilih bermukim di Unaaha dikarenakan adanya wabah penyakit.
Kedatangan mereka di pimpin oleh seorang yang bernama Puteo.
di Inolobu Nggadue Unaaha inilah Totongano Wonua bertemu denan seorang wanita yang berada di Lalobalongga yang bernama Nanggalamaha.
Setelah Toramandalangi memindahkan pusat pemerintahannya .
seorang putri dengan dikawal 40 orang bersenjata berbaju sirat tiba di unaaha.
Kabar tentang kedatangan putri tersebut kemudian tersiar di kalangan masyarakat Unaaha.
Penyambutan terhadap putri tersebut kemudia dilakukan.
Masyarakat Unaaha pada masa itu menyebut sang putri dengan nama Sangia Ndudu yang berarti Dewa yang turun, karena masyarakat Tolaki yang berada diunaaha sama sekali tidak mengetahui siapa dan darimana sang putri itu berasal.
Kedatangan sang putri yang dikawal 40 orang itu kemudian akhirnya disampaikan kepada Totongano Wonua, Totongano Wonua kemudian datang menemui sang Putri.
Dari pertemuan Totongano Wonua dan putri inilah Nama sang putri berubah menjadi Wekoila, Hal ini Dikarenakan penyakit kulit yang diderita oleh sang putri.
Kata Wekoila menurut para penutur silsilah para raja terdiri dari dua kata dimana We adalah sebutan bagi bangsawan perempuan,dan koila artinya mengkilat.
Wekoila atau juga Watandiyate inilah yang kemudian menikah dengan Ramandalangi putra dari tongano wonua Toramandalangi
Dimana setelahnya wekoila lalu dilantik sebagai raja/ratu orang Tolaki dan oleh wekoila inilah nama kerajaan padangguni kemudian berganti menjadi kekerajaan Konawe
Pusat Kerajaan Konawe yang berawal di wilayah Napo olo oloho, kemudian berpindah dan berpusat di Inolobunggadue Unaaha.
Hal ini terjadi pada awal abad ke 10 masehi.
Catatan :
Menurut dua orang bersaudara Albert Cristian Kruyt , dan J. Kruyt, serta F. Treferrs bahwa hal ini juga terjadi di Kerajaan Mekongga Kolaka dimana Wekoila dan Larumbalangi diceritakan sebagai dua orang bersaudara. dimana Wekoila adalah kaka sedangkan Larumbalangi adalah adik. dari Kedua bersaudara inilah raja-raja Konawe, dan Mekongga kemudian lahir
Toramalangi ini di sebut juga dalam kitab sastra Lagaligo sebagai Remangrilangi.
Wekoila adalah saudara Larumbalangi yang bergelar Sangia Aha. Wekoila ini bernama Wetendriabeng, yang oleh masyarakat Tolaki lebih dikenal dengan nama Walandiate atau juga Watandiabe
Dikarenakan cara bertutur orang Tolaki dan orang Bugis tidaklah sama dalam hal pengucapan, maka Wetendriabe perlahan berubah menjadi Watandiyate.
****
Suku Tolaki yang menjadi bahasan utama Artikel ini, Secara geografis masyarakatnya mendiami bagian tenggara daratan Sulawesi dan didalam peta indonesia wilayah ini
disebut Provinsi Sulawesi tenggara.
Secara Garis besar, Masyarakat Suku Tolaki menjadi Etnis terbesar pada beberapa daerah kabupaten dan Kota disulawesi tenggara diantaranya Kabupaten Konawe, Kota
Kendari, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Utara, dan Kabupaten Kolaka Timur. kabupaten kabupaten tersebut
kesemuanya berada di daerah daratan Sulawesi bagian Tenggara.
Suku Tolaki dapat dikatakan salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping suku suku lainnya seperti Suku Buton, Suku Muna Suku Mornene dan lainnya.
Masyarakat Suku Tolaki tersebar di Kab. Kendari (Asera, Lasolo, Wawotobi, Abuki dan Tinanggea) dan Kab. Kolaka (Mowewe, Rate-rate dan Lambuya)
Suku Tolaki Umumnya menafkahi hidup dengan cara bertani, Dan dalam bermasyarakat Suku tolaki terkenal memiliki rasa persaudaraan serta semangat gotong royong yang
tinggi.
Asal KataTolaki
Dari berbagai Sumber, Kata Tolaki memiliki arti dan sejarah dimana kata Tolaki diambil dari dua kata yaitu :
TO yang berarti orang atau manusia sedangkan kata LAKI berarti laki-laki, merujuk dari Dua Kata tersebut maka kata 'TOLAKI' dapat di artikan sebagai manusia yang
memiliki sifat kejantanan yang tinggi, Ksatria, berani serta menjunjung tinggi nilai nilai kehormatan diri (harga diri).
Orang Tolaki pada awal mulanya menyebut dirinya sebagai Tolohianga (orang dari langit).
Pengertian kata “langit” disini tak lain adalah “kerajaan langit” seperti yang ada pada budaya China. Hal ini Erat kaitannya dengan penggunaan kata “hiu” yang dalam
bahasa China Kata ini berarti “langit” sedangkan kata “heo” (dalam bahasa Tolaki) dapat pula berarti “ikut pergi ke langit”.
Kalosara dalam Suku Tolaki

Dalam hal Suku adat dan budaya, dapat dipastikan hampir semua manusia dan masyarakat memilikinya, Hanya saja Lingkungan, alam dan manusianya masing masing berbeda
hingga faktor inilahnya yang kemudian ikut mempengaruhi serta melahirkan Keberagaman budaya itu sendiri, seperti yang ada di bumi Nusantara indonesia.
Suku Tolaki yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara, dalam adat serta budayanya mmiliki simbol adat yaitu “Kalo.‘ Dalam tradisi masyarakat Tolaki disebut Kalosara.
Simbol Kalo yang terbuat dari bahan rotan ini dibentuk secara melingkar, Menjadi simbol persatuan dan kesatuan Suku Tolaki. Masyarakat Mekongga dan Tolaki sangat paham makna kalo, untuk itu Makna Kalo selalu digunakan untuk menyelesaikan masalah masalah sosial yang terkadang timbul ditengah masyarakat.
Makna dan arti Kalo sara
Kalo (Lingkaran)
Secara harfiah, Kalo adalah simbol dari sebuah benda yang berbentuk melingkar (lingkaran). Sebagai benda yang berbentuk lingkaran, Kalo terbuat dari bahan rotan, Namun
dibeberapa tempat Kalo dapat ditemui terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya.
Konsep dari Simbol Kalo dalam kebudayaan suku Tolaki memiliki makna dan ruang lingkup yang sangat luas. Secara garis besarKalo meliputi 'o sara' (adat istiadat),
terkhusus 'sara owoseno tolaki' atau sara mbu’uno tolaki, yaitu adat pokok, yang menjadi sumber dari segala yang terkait adat-istiadat suku Tolaki yang diterapkan
dalam segala aspek kehidupan masyarakatnya.
Kalo adalah adat pokok yang dapat digolongkan ke dalam segala unsur adat pokok yang disebut :
1. Sara wonua : adat pokok dalam unsur pemerintahan;
2. Sara mbedulu : adat pokok dalam hubungan kekerabatan, kekeluargaan serta persatuan pada umumnya;
3. Sara mbe’ombu : adat pokok dalam hal aktivitas agama serta kepercayaan;
4. Sara mandarahia : adat pokok dalam pekerjaan yang terkait dengan keahlian serta keterampilan;
5. Sara monda’u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti : adat pokok dalam kegiatan brtani,berladang, berkebun, beternak, berburu, ataupun menangkap ikan.
Bagi Masyarakat Suku Tolaki , Kalo adalah pedoman yang besar pengaruhnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Tingkat kalo pada nilai nilai budaya adalah sistem norma adat yang sangat berfungsi dalam hal mewujudkan ide ide yang mengkonsepsikan hal utama yang paling bernilai
dalam kehidupan masyarakat tolaki.
Pada tingkatan aturan khusus,kalo menjadi bagian yang mengatur segala aktivitas yang sangat jelas dan memiliki batas batas serta ruang lingkup dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dalam konsep Kalo yang mengatur aktivitas tersebut dikenal dengan istilah Meraou, yaitu aturan khusus yang mengatur setiap individu dalam bertutur serta berbahasa yang mengedepankan sopan santun (tata krama)
Atora, yaitu aturan khusus dalam komunikasi sosial.
Simbol Kalo secara antropologis adalah bagian dari kebudayaan yang menjadi unsur utama dalam kebudayaan masyarakat Tolaki, sehingga mendominasi segala aktivitas atau
pranata lainnya dalam kehidupan masyarakat Tolaki.
Fokus kebudayaan dari keberadaan masyarakat disebut
cultural interest atau social interest, yakni suatu kompleks unsuryang ada pada kebudayaan yang terlihat sangat digemari oleh warga atau masyarakatnya, Sehingga terlihat seakan ikut mendominasi seluruh kehidupan masyarakat terkait.
Simbol kalo dan Jenis jenisnya
Berdasarkan bahan utama pembuatannya serta manfaatnya, maka jenis-jenis Kalo terbagi beberapa jenis dimana masing-masing jenis kalo tersebut memiliki maksud serta arti
yang berbeda.
Berikut jenis kalo, bahan, manfaat serta artinya :
Kalo yang terbuat dengan menggunakan bahan dasar rotan
Kalo jenis ini ada yang disebut Kalosara, yaitu Kalo yang difungsikan sebagai alat dalam upacara seperti :
Upacara dalam rangka perkawinan adat
upacara dalam rangka pelantikan raja atau pemimpin
upacara dalam hal menyambut tamu penting
upacara untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa
Alat bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan usul,saran pendapat kepada pejabat ataupun penguasa
alat untuk menyampaikan undangan penyelenggaraan pesta keluarga.
Untuk Kalosara jenis ini dalam penggunaan atupun pemanfaatannya dilengkapi dengan wadah anyaman yang bahannya diambil dari tangkai daun palem serta memakai kain putih
sebagai alas.
Kalo yang bahan utamanya terbuat dari emas yang biasa juga disebut Kalo eno-eno
Kalo jenis ini difungsikan sebagai alat dalam upacara sesaji
alat tebusan atas pelanggaran janji untuk melangsungkan upacara peminangan gadis dalam rangkaian perkawinan, sebagai salah satu dari mas kawin, serta dikenakan sebagai kalung perhiasan bagi mempelai wanita.
Kalo yang bahan utamanya terbuat dari besi
Jenis kalo yang dimaksud ini ini disebut dengan Kalo kalelawu
Kalo kalelawu digunakan atau difungsikan sebagai cincin pada hidung kerbau.
Kalo yang bahan utamanya terbuat dari perak disebut Kalo sambiala, Kalo bolosu, dan Kalo o langge
yaitu Kalo yang masing-masing digunakan sebagai bagian dari perhiasan
dada, Gelang tangan, Gelang kaki, yang biasa dikenakan baik bagi anak-anak maupun bagi remaja putri.
Kalo yang bahan utamanya terbuat dari benang atau yang biasa disebut Kalo kale-kale ¸ Digunakan sebagai alat pengikat pergelangan pada tangan dan kaki bayi
dan Kalo ula-ula yang digunakan sebagai alat menyampaikan kabar tentang adanya orang yang meninggal dunia.
Kalo dari bahan kain putih disebut Kalo lowani, yaitu Kalo yang dipakai di kepala sebagai tanda berduka cita atau berkabung
Kalo dari bahan kain biasa disebut Kalo usu usu , yaitu jenis Kalo yang difungsikan pada bagian kepala sebagai pengikat ataupun penutup kepala bagi orang orang tua.
Kalo yang bahan utamanya terbuat dari akar atau kulit kayu atau yang biasa disebut Kalo pebo, Kalo pebo adalah Kalo yang digunakan sebagai pengikat pada pinggang bagi orang dewasa
Kalo yang khusus terbuat dari akar bahar disebut Kalo kalepasi , adalah Kalo yang digunakan sebagai perhiasan untuk orang dewasa
Kalo dari akar hawa disebut juga Kalo parahi atau Kalo mbotiso , yaitu Kalo yang difungsikan sebagai pemberi tanda/patok atas kepemilikan tanah/lahan hutan yang akan diolah menjadi sebidang ladang pertanian maupun perkebunan.
Kalo yang bahan utamanya terbuat dari daun pandan disebut Kalo kalunggu , Kalo kalungu adalah Kalo yang dipakai sebagai pengikat kepala bagi gadis gadis remaja.
Kalo yang bahan utamanya terbuat dari bambu disebut Kalo kinalo , adalah Kalo yang difungsikan sebagai penjaga ladang/kebun serta tanam tanamanan yang ada di dalamnya.
Kalo yang bahan utamanya terbuat dari kulit kerbau ini disebut juga Kalo parado , adalah Kalo yang dimanfaatkan para pemburu sebagai jerat untuk menangkap kerbau kerbau
liar.
Makna Kalo (Makna Lingkaran) dari berbagai sudut pandang
Kalo adalah simbol bagi masyarakat suku Tolaki-Mekongga dalam memandang kehidupan. Kalo yang terbuat dari jalinan tiga rotan pilihan serta berwarna kuning mengandung berbagai Arti dan makna bagi Masyarakat suku Tolaki dan Mekongga.
1. Bentuk Lingkaran pada Kalo melambangkan kesatuan rohani serta jasmani dari unsur manusia seutuhnya
2. Jalinan rotan yang terdiri atas tiga jalur dengan satu simpul pada kedua ujung rotan melambangkan kesungguhan atau keharusan untuk bersatu antara Tuhan dan pemerintahan serta rakyat.
3. Adapun Kain berwarna putih yang keberadaannya ditempatkan sebagai bagin dari alas pertama dari simbol Kalo tersebut melambangkan hal yang terkait dengan kesucian, ketentraman, kesejahteraan serta lambang kemakmuran.
4. Talang persegi empat yang terbuat dari anyaman berbahan daun palem hutan sebagai alas dasar dari Kalo tersebut melambangkan unsur kesucian terhadap air dan sumber mata angin yang senantiasa memberi kehidupan serta kesegaranbagi rohani dan jasmani tiap tiap manusia.
Simbol Kalo itu bilamana diletakkan bersamaan dengan segenap kelengkapannya pada upacara adat (Kalo sara), selain sebagai syarat upacara hal ini juga menunjukkan cara
suku Tolaki menempatkan manusia serta alam semesta pada tatanan nilai nilai budaya, terkait norma-norma, sistem hukum serta segala aturan khusus yang berlaku.
Bagi suku Tolaki-Mekongga, Kalo merupakan simbol dari tiga komponen stratifikasi sosial.
1. Golongan bangsawan disimbolkan dengan lingkaran rotan
2. Golongan orang kebanyakan disimbolkan dengan kain putih
3. Golongan budak disimbolkan dengan wadah anyaman.
Lingkaran rotan yang berada pada posisi atas dari kain putih serta wadah anyaman memberi arti bahwa golongan bangsawan itu adalah pemerintah dan penguasa berkewajiban memberi perlindungan pada golongan orang kebanyakan serta golongan budak.
Kain putih yang letaknya berada pada posisi di bawah dari rotan yang berbentuk lingkaran dan posisinya berada di atas wadah memberi arti bahwa golongan orang kebanyakan/pemangku adat itu adalah pendukung golongan bangsawan dan menjadi pembela dari golongan budak/rakyat jelata.
Adapun wadah yang terbuat dari bahan anyaman serta berada di bawah posisi kain warna putih serta lingkaran rotan, memberi arti bahwa golongan budak maupun rakyat jelata menjadi bagian dari segenap pendukung golongan para pemangku adat serta pemuja golongan bangsawan.
Dalam keterkaitannya dengan kosmologi serta sistem keagamaan masyarakat Tolaki, Kalo mengandung tiga bagian , yaitu Kalo sebagai simbol dalam mengekspresikan bentuk dan tatanan alam semesta berikut isinya, baik yang ada di alam nyata maupun itu yang ada di alam gaib, serta bentuk tubuh manusia dan susunannya;
Symbol Kalo dalam proses upacara adat merujuk pada cara pandangan masyarakat Tolaki bahwa Kalo merupakan benda yang sacral
Bentuk lingkaran rotan menjadi simbol dunia atas
Kain putih menjadi simbol dunia bagian tengah
Wadah anyaman adalah simbol dunia bawah.
Tak sedikit masyarakat tolaki ada yang mengartikan bahwa
Rotan yang melingkar itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang;
Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol SANGIA MBU‘U (Dewa tertinggi yakni Allah Taala)
SANGIA I LOSOANO OLEO (Dewa yang ada di bagian Timur) dan SANGIA I TEPULIANO WANUA (Dewa penguasa kehidupan yang ada di bumi)
Sedangkan wadah yang terbuat dari anyaman merupakan simbol SANGIA I PURI WUTA (Dewa yang berkuasa di dasar bumi)
Kalo juga disebut sebagai simbol dari manusia.
Dimana Lingkaran rotan adalah gambaran dari kepala manusia, kain putih adalah simbol dari bagian tubuh dan adapun wadah anyaman di simbolkan sebagai bagian tangan
dan kaki.
Dalam berbagai upacara adat di tengah masyarakat tolaki, Kalo adalah bagian terpenting. Tanpa adanya Kalo, maka suatu upacara tidak dapat dilangsungkan, hal ini dikarenakan
Kalo menjadi inti dari upacara.
Kalo dalam hal ini mengekspresikan unsur utama upacara yang sifatnya adalah timbal balik serta dapat menggambarkan maksud juga tujuan dari proses sebuah upacara.
Bentuk lingkarannya adalah lambang persatuan dan kesatuan,
Kain putih di lambangkan sebagai kesucian serta ketentraman
Wadah anyamannya yang terbuat dari tangkai daun palem sebagai lambang kemakmuran juga kesejahteraan.
Bagi Masyarakat Tolaki, Kalo merupakan benda sakral yang merupakan representasi dari leluhur mereka.
Bagi Masyarakat Tolaki menghargai, mensucikan dan mengkeramatkan Kalo, berarti mentaati ajaran leluhur.
Hal itu berarti juga dapat membawa keberkahan di kehidupan mereka. Adapun sebaliknya, Jika tidak dapat menghargai serta mensucikan Kalo berarti tidak menghargai ajaran leluhur, kualat, serta kedurhakaan.
Kesimpulan terakhir
Suku adat dan Kebudayaan Nusantara itu sangat beragam, dan keberadaannya menyebar diseluruh daerah di Indonesia. Keunikan budaya masing-masing antara satu daerah
dengan daerah lainnya itu banyak yang berbeda
Demikian juga dengan yang ada di Sulawesi Tenggara dimana suku Tolaki berada.
simbol kalo dalam tradisi inilah yang menjadi pemersatu serta sumber hukum didalam adat isti adatnya.
Sungguh sangat sarat dengan pesan serta maknanya Hal inilah yang perlu untuk terus dilestarikan oleh generasi muda pewaris bangsa, sebagai bagian dari jati diri suku
bangsa yang berbudaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklan