ads head

Advertisement

Selasa, 10 September 2019

Studi Tentang Peran Hukum dalam Proses Penanggulangan Kemiskinan


Penelitian ini disusun oleh: Dr. Adi Sulistiyono, SH.,M.Hum (Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta) Dr. Khudzaifah Dimyati, SH.,M.Hum (Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta), dan Kelik Wardiono, SH. (Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta)



Pendahuluan
Penanggulangan kemiskinan merupakan kewajiban pemerintah yang harus dilakukan sebagai pemenuhan atau wujud dari amanat rakyat. Dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 disebut bahwa “…. Pemerintah Negara Indonesia merdeka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.....” Pernyataan ini menjadi cita-cita yang bulat dan semangat bangsa yang dinyatakan dalam sila ke-lima Pancasila, yaitu mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan yang landasan strukturalnya terumuskan secara jelas dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (1) dan (3).

Penanggulangan kemiskinan memiliki konteks yang luas dan menjadi bagian serta unsur penting dari pembangunan nasional. Kebijakannya mengarah pada usaha meminimalkan jumlah penduduk miskin, meningkatkan partisipasi masyarakat dan menempatkannya menjadi bagian integral dari sasaran jangka panjang pembangunan nasional. Untuk ini pemerintah memberikan prioritas tertinggi untuk memecahkan masalah kemiskinan. Perhatian besar pemerintah itu terlihat dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000- 2004; dengan kebijakan penanggulangan kemiskinan diidentifikasi dan ditegaskan di dalamnya.

Usaha untuk menanggulangi kemiskinan tersebut dilakukan melalui 3 (tiga) jalur, yaitu mengembangkan kesempatan ekonomi bagi kelompok miskin, memberdayakan kemampuan kelompok penduduk miskin, dan meningkatkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Kebijakan menanggulangi kemiskinan dilengkapi dengan peraturan-perundangan untuk memberi arah dan menjamin kepastian tercapainya tujuan pelaksanaan program. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional ( PROPENAS) yang antara lain memuat program penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu legitimasi tekad pemerintah pusat untuk melaksanakan program tersebut ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Otonomi daerah diberlakukan mendasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah; pelaksanaannya bersifat langsung, nyata dan bertanggung jawab. Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota sebagai penyelenggara negara di daerah memiliki otonomi yang luas dan utuh. Secara implisit dan eksplisit  pemerintah daerah bertanggung jawab dan juga aktif melaksanakan program-program pengentasan kemiskinan. Bidangbidang pembangunan yang wajib dilaksanakan termasuk pengentasan kemiskinan; seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi (pertanian, perdagangan dan lain-lain).

Pelaksanaan kebijakan nasional untuk penanggulangan kemiskinan seringkali terkendala oleh Peraturan Daerah; karena substansinya tidak singkron. Sementara itu hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah tidak langsung, tidak mendasarkan pada sistem birokrasi administrasi yang hirarkhis seperti pada masa lalu. Dengan demikian, produk hukum dari pusat yang melandasi pelaksanaan penanggulangan kemsikinan tidak menjadi acuan pemerintah daerah untuk melaksnakan program yang sama. Sekalipun visi dan misi program tersebut memiliki makna yang signifikan bagi kebutuhan masyarakat miskin di daerah; namun kebijakan tersebut tidak bisa mulus dilaksanakan di daerah.

Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah diformulasikan  sebagai berikut: Bagaimana peran  hukum sebagai instrumen  kebijakan nasional tentang penanggulangan kemiskinan?
Tinjauan Pustaka
Menurut Cobb dan Elder (dalam Anderson, 1966) terdapat 3 ( tiga) prasyarat agar isu kebijaksanaan itu dapat masuk: (1) isu tersebut memperoleh perhatian yang luas, atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan kesadaran masyrakat; (2) adanya persepsi dan pendapat publik yang luas bahwa beberapa tindakan perlu dilaksanakan untuk memecahkan masalah tersebut;  (3) adanya persepsi yang sama dari masyarakat bahwa masalah itu merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab yang sah dari beberapa unit pemerintahan untuk memecahkannya.

Sementara itu,  menurut Anderson (1979), ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan permasalahan kebijaksanaan dapat masuk ke agenda pemerintah, yaitu: (1) Bila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok maka kelompok-kelompok tersebut  akan mengadakan reaksi dan menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut; (2) Kepemimpinan politiik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam penyusunan agenda pemerintah. Para pemimpin politik, apakah karena didorong atas pertimbangan keuntungan politik atau ketertiban untuk memperhatikan kepentingan umum, atau kedua-duanya, selalu memperhatikan problema umum, menyebarluaskan dan mengusulkan usaha-usaha pemecahannya; (3)  Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dapat pula menyebabkan masalah tersebut masuk ke dalam agenda pemerintah. Setiap peristiwa atau krisis yang besar selalu memperoleh perhatian yang luas dari masyarakat, termasuk pembuat keputusan atau memperhatikan secara seksama terhadap pristiwa atau krisis tersebut; (4) Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan adalah juga merupakan salah satu sebab yang membuat para pembuat kebijaksanaan, untuk kemudian memasukkannya kedalam agenda pemerintah; (5) Masalah-masalah khusus atau isu-isu politis yang timbuul di masyarakat yang kemudian menarik perhatian masyarakat dan para pembuat kebijaksanaan.

Beberapa faktor yang dapat memperbaiki kualitas kebijaksanaan publik, yaitu (Tjokroamidjojo, 1988): (1) Kebijaksanaan-kebijaksanaan supaya tidak terlalu didasarkan atas selera seketika saja tetapi melalui suatu proses, sehingga terdapat tingkat rasional tertentu. Dipertimbangkan berbagai alternatif implikasi pelaksanaannya, walaupun memang harus diakui  bahwa suatu pengambilan keputusan  mengenai kebijaksanaan tertentu, terutama apabila harus dilakukan oleh seseorang  ternyata diambil juga berdasar penilaian pribadi orang tersebut (one’s moral judgment); (2) Penyempurnaan informasi dan sistem informasi bagi analisis dan pembentukan kebijaksanaan publik, di mana diperlukan juga adanya unit-unit penelitian dan pengembangan, statistik, bank data, dan sebagainya; (3) Menggunakan analisis  ekonomi. Tidak dapat disangkal bahwa pada kenyataannya di negara-negara  berkembang lebih menekankan pada pembangunan ekonomi. Pemahaman dan pemakaian analisis ekonomi yang tepat menjadi esensial dalam proses analisis dan pembentukan kebijaksanaan pembangunan; (4)  Memperhatikan pendekatan yang menyeluruh (unified approach)  yang berkaitan dengan proses pembangunan; (5)  Pertimbangan kepada perspektif jangka panjang. Kebijaksanaan justru dimaksudkan untuk menghindari berbagai krisis dan keguncangan, dalam hal ini, juga termasuk pertimbangan bahwa proses pembangunan suatu negara sangat berkait dengan perkembangan di dunia pada umumnya; (6) Kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan objektif dari masyarakat, terutama dari golongan masyarakat yang besar jumlahnya tetapi tingkat kesejahteraan hidupnya relatif rendah.

Evaluasi kebijakan merupakan langkah terakhir dari suatu proses kebijakan. Sebagai salah satu aktivitas fungsional, suatu evaluasi kebijakan tidak hanya dilaksanakan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas kebijakan sebelumnya, akan tetapi daapt dilakukan pada seluruh aktivitas-aktivitas fungsional yang lain dalam proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan meliputi penilaian dari isi terjadinya, dan dari proses bagian dalam proses kebijakan. Seringkali ditemui adanya angapan bahwa evaluasi kebijakan hanya meliputi tindakan penilaian terhadap hasil-hasil kebijakan dengan berpegang kepada tujuan-tujuan yang telah dipilih dan ditetapkan dalam kebijakan, akan tetapi sebenarnya, juga meliputi penilaian terhadap tujuan-tujuan, saranasarana, aktivitas-aktivitas, urutan waktu, dan hasil-hasil (kebijakan) dengan berpegang kepada ukuran-ukuran lain daripada tujuantujuan kebijakan, misalnya, asas-asas maupun pandanganpandangan lain yang dianut oleh para penilai.

Tujuan evaluasi kebijakan ditentukan oleh aspek kebijakan yang hendak dinilai. Yang menjadi ciri dari (penyelidikan) evaluasi adalah bahwa ia melalui jalan ilmiah mencoba mendapat pengetahuan tentang penilaian isi, terjadinya, dan /atau hasil suatu kebijakan, jalannya suatu proses kebijakan atau dari aktivitasaktivitas lainnya. Dengan demikian, evaluasi juga meliputi (mengenai) dampak dan hasil dari program-program kebijakan. berkaitan dengan hal ini, Charles O.Jones (1977)  menyatakan bahwa evaluasi kebijakan merupakan an activity designed to judge the merits of goverment programs which varies significantly in the specification of object, the techniques of measurenment, and the methods of analysis. Evaluasi kebijakan publik (dalam praktiknya) banyak dilakukan untuk mengetahui dampak dari kebijakan publik. Dampak yang dimaksudkan di sini adalah dampak yang dikehendaki oleh suatu kebijaksanaan publik, artinya dampak tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

Anderson (1977)  menguraikan dampak kebijakan publik tersebut dalam beberapa dimensi yaitu:  (1) Dampak kebijakan yang diharapkan dan atau yang tidak diharapkan, baik pada problematikanya maupun pada masyarakat. Sasaran kebijakan juga ditentukan dengan jelas. Apabila misalnya sasaran kebijakan adalah memerangi kemiskinan, maka sasaran yang ditujukan adalah kelompok masyarakat miskin, dan dampak yang diharapkan timbul adalah adanya peningkatan pendapatan mereka. Namun demikian, mungkin akan timbul pula dampak yang tidak diharapkan, yaitu adanya sebagian anggota masyarakat yang enggan berusaha untuk memperoleh lapangan pekerjaan karena mereka lebih suka menunggu datangnya bantuan dari pemerintah dengan adanya program kebijakan tersebut;  (2) Dampak kebijakan terhadap situasi atau (kelompok) orang yang bukan menjadi sasaran utama dari suatu kebijakan publik. Hal ini biasanya disebut dengan externalities atau spillover effects. Dampak yang demikian dapat positif maupun negatif; (3) Dampak kebijakan-kebijakan yang dapat terjadi atau berpengaruh pada kondisi sekarang maupun yang akan datang misalnya kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM apakah dapat mengatasi masalah kekurangan dana untuk pembangun akibat resesi ekonomi, atau dapat mengubah pola-pla ekonomis masyarakat di masa-masa yang akan datang, dan sebagainya;  (4) Dampak kebijakan terhadap direct costs. Dalam kaitan ini menghitung suatu economic costs dari suatu program kebijakan publik relatif lebih mudah apabila dibandingkan dengan dengan menghitung (timbulnya biaya-biaya lain yang bersifat kualitatif (social costs) ;  (5) Dampak kebijakan terhadap indirect costs yang biasanya mengena  atau dialami oleh anggotaanggota masyarakat. Seringkali biaya yang seperti ini jarang dievaluasi karena sulitnya untuk menentukan ukurannya, misalnya dampak suatu kebijakan publik yang menyebabkan timbulnya keresahan sosial, kegelisahan masyarakat, dan sebagainya yang menimpa/terjadi di suatu kelompok masyarakat karena adanya kebijakan penataan kota.

Apabila dampak kebijakan yang diharapkan terjadi, maka timbul permasalahan, sampai di mana ia dapat dianggap sebagai hasil dari implementasi suatu kebijakan, atau dengan perkataan lain, dari penggunaan sarana yang dipilih apakah sudah tepat dan efektif. Efektivitas di sini berarti/menyangkut tingkat kegunaan sarana tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi efektivitas sebenarnya bukan hanya di tingkat terealisasinya tujuan-tujuan akan tetapi juga pada tingkat peran sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan.

Menurut Bilhelm Aubert dalam rangka pencapaian tujuan itulah diperlukan adanya sarana berupa hukum, karena secara teknis hukum dapat memberikan/melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan memberikan prediktabilitas di dalam; (2) kehidupan masyarakat; (3) Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi; (4) Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi melawan kritik; (5) Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumber-sumber daya.

Jadi output utama sistem politik adalah hukum, sedangngkan hukum merupakan indikasi adanya kebijaksanaan agar dapat diimplementasikan, maka semakin nampak keterkaitan antara hukum dan kebijaksanaan sebagaimana disebutkan: “Constitutions, statuses, administrative orders and executive orders are indicators of policy” (Sigler, 1977).

Hubungan antara kebijaksanaan pemerintah dengan hukum semakin jelas disebabkan karena  “Government lends legitimacy to policies. Governmental policies are generally regarded as legal obligations which command the loyalty of citizens” (Dye, 1978). Selanjutnya dikatakan : Only Governmental policies invoive legal obligation. Bahkan dikatakan hukum merupakan suatu bagian yang integral dari kebijaksanaan: “Law is an integral part of policy initiation, formalization.Legistrative bodies formulate public policy through statutes and appropriations control” ( Sigler,  1977).

Keadaan seperti itu menyebabkan hukum merupakan kebutuhan yang fungsional bagi masyarakat dan hukum dipandang sebagai elemen penting bagi perkembangan politik. Jay A. Sigler dan Benyamin R. Beede (1977): Law  is an integral part of policy initiation, formalizatiion, implementation, dan evaluation.

Pada hakikatnya hukum merupakan perlengkapan masyarakat untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan  dalam masyarakat dapat dipenuhi secara teratur. Hukum harus mampu menjadi sarana agar tujuan kebijaksanaan pemerintah dapat terwujud dalam masyarakat. Hal ini mengingat  ciri-ciri  yang melekat pada hukum, yaitu: (1) Kehadiran hukum menimbulkan suatu kemantapan dan keteraturan dalam usaha manusia; (2) Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat; (3) Sebagai kerangka sosial untuk kebutuhan manusia, yang menampilkan wujudnya dalam bentuk sarana-sarana. Norma-norma inilah yang merupakan sarana untuk menjamin agar anggotaanggota masyarakat dapat dipenuhi kebutuhannya secara terorganisasi. Melalui norma-norma tersebut terjelmalah posisi-posisi ang kait mengait tersebut. Melalui norma-norma ditetapkan posisi masing-masing anggota masyarakat dalam hubungan dengan suatu pemenuhan.

Fuller mengedepankan  delapan nilai yang harus ditaati dalam suatu sistem hukum (Rahardjo, 1982). Kedelapan nilai-nilai tersebut, yang dinamakan “delapan prinsip legalitas”, adalah:  (1) Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu; hal ini berarti, bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad hoc, atau tindakantindakan yang bersifat arbiter; (2) Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak; (3) Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut; (4) Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci; ia harus dapat dimengerti oleh rakyat; (5) Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin; (6)  Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain; (7) Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah; (8) Harus terdapat kesesuaian antara tindakantindakan para pejabat hukum  dan peraturan-peraturan yang telah diubah.

Di samping itu, suatu peraturan perundang-undangan yang baik sekurang-kurangnya harus memiliki tiga landasan, yakni landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis. Meskipun demikian ada yang menambahnya dengan landasan teknik perancangan dan landasan politis.
Landasan Filosofis (Filosofische Grondslag )
Filsafat atau pandangan hidup sesuatu bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cia yang dujunjung tinggi. Didalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan, dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik. Pengertian baik, benar, adil, dan susila tersebut menurut takaran yang dimiliki bangsa yang bersangkutan. Hukum yang baik harus berdasarkan kepada semua itu. Hukum yang dibentuk tanpa memperhatikan moral bangsa akan sia-sia diterapkannya, tidak akan ditaati atau dipatuhi. Semua nilai yang ada di Indonesia terakumulasi dalam Pancasila, karena Pancasila adalah pandangan hidup, cita-cita bangsa, falsafah atau jalan kehidupan (way of life) , dan berbagai sebutan lainnya. Apapun jenisnya filsafat hidup bangsa, harus menjadi rujukan dalam membentuk hukum yang akan dipergunakan dalam kehidupan bangsa tersebut. Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk (yang termuat dalam peraturan perundang-undangan) harus mencerminkan filsafat hidup bangsa itu. Sekurangkurangnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa. Hukum harus berakar dari moral.
Landasan Sosiologis (Sociologische grondslag)
Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka. Hal ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Membuat suatu aturan yang tidak akan ada artinya, tidak mungkindapat diterapkan karenatidak dipatuhi dan ditaati. Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (living law)  dalam masyarakat. Walaupun demikian tidak berarti bahwa apa yang ada pada suatu saat dan dalam suatu masyarakat, akan menjadi nilai kehidupan selanjutnya. Produk perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname) . Masyarakat berubah, nilai-nilai pun berubah, kecenderungan dan harapan masyarakat harus dapat diprediksi dan terakumulasi dalam peraturan perundang-undangan yang berorientasi masa depan.
Landasan Yuridis (Yuridische grondslag)
Landasan yuridis adalah landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadidasar kewenangan (bevoegdheid, competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan seseorang pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dasar hukum kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan. Tanpa disebutkan dalam peraturan perundangan, seorang pejabat atau suatu badan adalah tidak berwenang (onbevoegdheid)  mengeluarkan peraturan. Misalnya, Pasal 5  ayat (1) UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian pula ketentuan Pasal 5 ayat (2) memberikan dasar hukum kewenangan kepada Presiden dalam menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undangundang. Landasan demikian sering disebut sebagai landasan yuridis formal.

Hans Kelsen, yang terkenal dengan pure theory of law. Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu yang hanya mengembangkan hukum itu sebagai alat pemerintahan dalam negaranegara totaliter. Teori ini merupakan pengembangan yang amat seksama dari Aliran Positivisme. Hans Kelsen, menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia mengenyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, itu dianggapnya irasional. Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika (Rahardjo, 1993). Teori hukum murni Kelsen tersebut bertitik tolak dari landasan dasar sebagai berikut: 1) Tujuan teori tentang hukum, seperti juga ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity) ; 2) Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan hukum yang seharusnya ada; 3) Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam; 4) Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum; 5) Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik; 6) Hubungan antara teori hukum dengan sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Selanjutnya berdasar dari landasan esensial tersebut Hans Kelsen sampai pada konsepsi ilmu hukum dan teori hukum sebagai berikut (Rasjidi dan Arief Sidharta, 1994):  (1) Ilmu hukum adalah pemahaman normalogis tentang makna hukum positif. Sebagai demikian, maka ilmu hukum semata-mata hanya mempelajari norma-norma. Ilmu hukum adalah ilmu kognitif yang murni tentang hukum, yang hanya mempelajari hukum positif. Oleh karena itu, ilmu hukum tidak mempermasalahkan delega ferenda, teori tentang alasan-alasan bagi hukum, dan baik buruknya isi hukum positif; (2) Teori hukum (legal theory)  adalah teori umum tentang hukum positif yang menggunakan metode pemahaman yuristik yang khas secara murni. Metode yuristik adalah suatu cara memandang hukum sebagai penentuan normatif dari pertanggungjawaban yang dapat digambarkan dengan sebuah skema umum tentang perkaitan normatif antara kondisi-kondisi dan konsekuensi-konsekuensi antara perilaku benar dan salah.

Salah satu ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Menurut Hans Kelsen (1973), “The law is, to be sure an ordering for promotion of peace, in that it for bids the use of force in relations among the members of the community”, sehingga dapat terasa ketentraman dalam batin setiap masyarakat. Walaupun disadari bahwa hukum itu membawa pelbagai pembatasan dan pengorbanan, tetap dinilai jauh lebih baik kalau dibandingkan keadaan tanpa hukum. Tatanan normatif dalam hukum dikokohkan dengan sistem sanksi. The sanctions of law have the character of coercive acts in the sense developed  above.

Bagian lain dari teori Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm. Grundnorm ini merupakan semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan dia pula yang memberi pertanggungjawaban, mengapa hukum di situ harus dilaksanakan. Oleh karena itu, ia lebih merupakan suatu dalil dari peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Tetapi, apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh. Dari konsep Grundnorm tersebut, Kelsen melangkah pada ajaran yang disebut stufentheory. Bahwa sistem hukum hakikatnya merupakan sistem hirarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya; dan semakin rendah peringkatnya, semakin nyata operasional sifat norma yang dikandungnya. Hukum yang lebih rendah harus berdasar, bersumber, dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Sifat bertentangan dari hukum yang lebih rendah mengakibatkan batalnya daya laku hukum itu.
Tujuan, Manfaat dan Metode Penelitian
Adapun tujuan penelitian  yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian ini adalah  menganalisis peran hukum sebagai instrumen kebijakan penanggulangan kemiskinan. Sementara, manfaat penelitian adalah memberi kontribusi pada penentu kebijakan yang berkaitan dengan peraturan perundangan yang mengatur penanggulangan kemiskinan.

Penelitian ini mendasarkan pada metode pendekatan doktrinal. Dengan demikian yang akan dijadikan sebagai objek penelitian, hanyalah ”terbatas” pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek yang diteliti, serta data-data sekunder lainnya. Data yang diperlukan dalam penelitian ini, hanyalah terbatas pada data sekunder, yang berupa : (a) Bahan hukum primer, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang diteliti; (b) Bahan hukum sekunder, yang berupa hasil kaya ilmuah para sarjana dan hasil-hasil penelitian.  Bahan hukum itu, akan dikumpulkan dengan cara melakukan studi kepustakaan, yang dilakukan dengan cara, mencari, mengiventarisasi dan mempelajari peraturan perundang-undangan, terkait dengan objek yang diteliti. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif kualitatif. Dalam hal ini analisis akan dilakukan  dilakukan analisis yang berupa iventarisasi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan yang diteliti, untuk kemudian diorganisir, setelah sebelumnya didiskusikan terlebih dahulu dengan teori-teori hukum dan doktrin-doktrin, yang membahas tentang objek yang bersangkutan.
Kebijakan di Tingkat Nasional dan Peran Hukum dalam Penanggulangan Kemiskinan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional Lima Tahun
Krisis ekonomi yang dialami di Indonesia pada tahun 1997 telah menyebabkan tingkat pendapatan masyarakat menurun dan semakin meningkatnya jumlah orang yang hidup digaris kemiskinan. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan, bangsa Indonesia yang mempunyai kekayaan alam yang sangat banyak hanya karena kesalahan pengurusan yang dilakukan oleh penguasa menjadikan banyak masyarakat dirugikan, padahal dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 menyebutkan sebagai berikut :“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Sebagai wujud kepedulian terhadap masalah kemiskinan Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menyusun GBHN Tahun 1999  – 2004 Pada Arah kebijaksanaan Bidang Ekonomi dalam no. 4 menyebutkan :
“Mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan atas kemanusiaan yang adil bagi masyarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar dengan mengembangkan sistem dan jaminan sosial melalui program pemerintah serta menumbuhkembangkan usaha dan kreativitas masyarakat yang pendistribusiannya dilakukan dengan birokrasi yang efektif dan efisien serta ditetapkan dengan undang-undang.

Dalam upaya merespon amanat GBHN tersebut maka disusunlah Program Pembangunan Nasional Lima Tahun   (PROPENAS), yang kemudian dituangkan dalam UU No.25 Tahun 2000 tentang Propenas.

Adapun program-program yang ditetapkan di dalam Propenas, meliputi hal-hal sebagai berikut : (1) Program penyediaan kebutuhan pokok untuk keluarga miskin, Program ini bertujuan membantu penyediaan bahan pokok pangan, pelayanan dasar di bidang kesehatan, pendidikan, dan perumahan bagi keluarga dan kelompok masyarakat miskin secara merata dan harga yang terjangkau. Sasaran program ini adalah terpenuhinya kebutuhan pangan bagi keluarga miskin secara terus-menerus dan harga yang terjangkau, tersedianya pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi keluarga miskin, dan tersedianya perumahan bagi keluarga miskin. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah: (1) penyediaan dan pencadangan bahan pokok secara terus-menerus; (2) pengendalian harga bahan pokok; (3) penyediaan pelayanan dasar terutama kesehatan dan pendidikan; (4) perluasaan jaringan pelayanan dalam penyediaan kebutuhan pokok; dan (5) perbaikan lingkungan perumahan termasuk air bersih. (2) Program pengembangan budaya usaha masyarakat miskin. Program ini dimak-sudkan untuk mengembangkan budaya usaha yang lebih maju, mengembangkan jiwa kewirausahaan, dan meningkatkan ketrampilan keluarga dan kelompok miskin untuk melakukan usaha-usaha ekonomi rakyat yang produktif atas dasar sikap demokratis dan mandiri. Sasaran program ini adalah terselenggaranya pendidikan dan pelatihan ketrampilan usaha, berkembangnya perilaku keluarga miskin yang berorientasi pada usaha produktif, dan terwujudnya usaha produktif yang menguntungkan dan berkelanjutan bagi keluarga miskin. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah: (1) pengembangan pendidikan dan latihan ketrampilan usaha; (2) pendampingan melalui bimbingan konsultasi; (3) penciptaan jaringan kerja sama dan kemitraan usaha yang didukung oleh organisasi masyarakat setempat, pemerintah daerah, swasta, dan perguruan tinggi; (4) penyediaan kemudahan akses terhadap sumber daya-sumber daya; (5) penyediaan prasarana dan sarana usaha bagi keluarga miskin; dan (6) penyediaan pemukiman transmigrasi baru untuk petani dan buruh tani yang tidak memiliki lahan pertanian. (3) Di samping itu  dalam PROPENAS juga mengupayakan adanya pembangunan ketenagakerjaan; pembangunan sistem dana jaminan sosial; dan pengembangan pertanian, pangan, dan pengairan.
Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 jo Nomor 8 Tahun 2002  jo Nomor 34 Tahun 2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan.
Sebagai tindak lanjut dari UU No.25 Tahun 2000 tentang Propenas, lalu dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 jo Nomor 8 Tahun 2002 jo Nomor 34 Tahun 2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan. Di dalam bagian konsideran Kepres tersebut disebutkan bahwa, dalam rangka penanggulangan kemiskinan perlu : (a) Disusun kebijakan dan langkah-langkah koordinasi secara terpadu, lintas pelaku dalam penyiapan perumusan dan penyelenggaraan kebijakan penanggulangan kemiskinan; (b) Perumusan kebijakan makro dan mikro sesuai dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dengan mengikutsertakan forum lintas pelaku yaitu seluruh komponen, baik instansi pemerintah, organisasi non pemerintah, usaha nasional, organisasi profesi dan segenap unsur masyarakat.

Adapun yang menjadi sasaran upaya penanggulangan kemiskinan ini adalah penduduk miskin (Berdasarkan data yang ada, populasi penduduk miskin di Indonesia sebelum krisis tahun 1996 sekitar 11,34 %, setelah krisis tahun 1998 sekitar 24,23 %, dan diakhir tahun 2000 sekitar 18,95 %)
Komite Penanggulangan Kemiskinan menggunakan pengertian kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik, yaitu ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan. Standar ini disebut garis kemiskinan, yaitu, nilai pengeluaran konsumsi kebutuhan dasar makanan setara dengan 2100 kalori energi per kapita per hari, ditambah nilai pengeluaran untuk kebutuhan dasar bukan makanan yang paling pokok.
Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Strategi penanggulangan kemiskinan adalah pemberdayaan masyarakat, yaitu upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peran serta aktif masyarakat itu sendiri dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan hidup, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi, serta memperkukuh martabat manusia dan bangsa.

Strategi di atas diarahkan untuk menurunkan populasi penduduk miskin dari sekitar 18,95 % (atau sekitar 37,3 juta jiwa) di tahun 2001, menjadi sekitar 14 % (atau sekitar 26,8 juta jiwa) di akhir tahun 2004.
Program Komite Penanggulangan Kemiskinan
Program penanggulangan kemiskinan untuk mempercepat pengurangan junlah penduduk miskin di seluruh wilayah negara, mencakup: (a) Pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia yang berkaitan dengan aspek pendidikan, kesehatan, dan perbaikan kebutuhan dasar tertentu lainnya. (b)  Pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia yang berkaitan dengan perbaikan aspek lingkungan, pemukiman, perumahan dan prasarana pendukungnya. (c) Pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia yang berkaitan dengan aspek usaha, lapangan kerja dan lain-lain yang dapat meningkatkan pendapatan.
Kebijakan Makro Strategis
Kebijakan Makro Strategis adalah kebijakan makro yang mendukung iklim ekonomi, sosial, dan politik yang kondusif untuk penanggulangan kemiskinan melalui empat strategi, yakni : perluasan kesempatan, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas, dan perlindungan sosial.
Kebijakan Makro Operasional
Kebijakan makro operasional adalah kebijakan makro untuk mewujudkan keempat strategi di atas melalui orientasi kebijakan di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Orientasi kebijakan tersebut antara lain meliputi :
1.     Bidang Ekonomi, hal ini meliputi : (1) Kebijakan fiskal, yang terdiri dari (i) peningkatan alokasi fiskal untuk penanggulangan kemiskinan, (ii) penerapan pajak langsung yang progresif dan subsidi yang berpihak pada penduduk miskin, (iii) peningkatan pengeluaran transfer regional untuk penanggulangan kemiskinan, dan lain-lain. (2) Kebijakan moneter, meliputi: (i) pengendalian tingkat inflasi agar tetap rendah, (ii) peningkatan akses kredit dengan bunga terjangkau, (iii) mendorong perbankan/lembaga keuangan untuk pembiayaan usaha mikro, dan lain-lain. (3) Kebijakan investasi, meliputi pemberian insentif untuk pelaku-pelaku ekonomi di daerah-daerah miskin. (4) Kebijakan industri dan perdagangan, meliputi: (i) kelancaran aliran barang, jasa, dan manusia antar daerah, dan antar pulau, ( ii) pemberian proteksi bagi perdagangan hasil pertanian, dan lain-lain. (5)  Kebijakan tenaga kerja, meliputi : (i) penetapan upah minimum propinsi yang realistis, (ii) jaminan perlindungan bagi tenaga kerja informal, dan lain-lain. (6) Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang diarahkan untuk menjamin peningkatan nilai tambah bagi masyarakat dan daerah miskin, meliputi: (i) percepatan sertifikasi lahan, (ii) reformasi agraria, (iii) konversi lahan kritis, (iv) PBB yang progresif, (v) penegakkan hukum RUTR, dan lain-lain. (7) Kebijakan pengadaan pangan dari sisi input, proses, maupun outputnya diarahkan agar tidak merugikan kelompok masyarakat miskin. (8) Kebijakan pembangunan infrastruktur yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat miskin.
2.     Bidang Sosial, meliputi: (1)  Kebijakan perlindungan sosial, diarahkan untuk: (i) peningkatan pelayanan publik formal melalui pemberian subsidi langsung, asuransi sosial dan bantuan sosial, dan (ii) pengembangan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin yang berbasis pada masyarakat. (2)  Kebijakan pengembangan sumberdaya manusia, meliputi : (i) peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan kesehatan, (ii) pemantapan organisasi dan kelembagaan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain. (3) Kebijakan pemberdayaan perempuan, diarahkan untuk mengurangi kesenjangan dalam pencapaian kualitas kehidupan antara pria dan wanita dalam pembangunan, yaitu dengan memperhatikan wanita sebagai kelompok tertinggal dibandingkan pria.
3.     Bidang Politik : dengan alternatif kebijakan ini meliputi: (1) Peningkatan praktek pemerintahan yang baik dari pusat sampai daerah dalam penanggulangan kemiskinan. (2) Peningkatan kapasitas lembaga dan organisasi masyarakat lokal dalam pengembangan demokrasi, partisipasi, dan resolusi konflik dalam rangka pemantapan ketahanan sosial masyarakat. (3) Penegakan hukum yang adil.
Kebijakan Mikro Strategis (Program) dan Mikro Operasional ( Proyek )
Kebijakan mikro strategis adalah kebijakan yang mendukung pengembangan program atau regulasi penanggulangan kemiskinan melalui empat strategi di atas. Pengembangan program atau regulasi tersebut harus konsisten dengan kebijakan-kebijakan dalam bidang ekonomi, sosial dan politik pada tingkat makro operasional. Kebijakan mikro operasional adalah kebijakan yang mengarahkan pengembangan program atau regulasi pada tingkat kegiatan/proyek yang berkaitan langsung dengan masyarakat miskin. Pada tingkat kebijakan ini diantaranya akan menitikberatkan pada cara penyampaian dan penentuan kelompok sasaran secara tepat dan akurat.
Kebijakan pada Tingkat Lokal
Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari kebijakan tingkat nasional tersebut, khususnya yang tertuang di dalam Surat Menteri Dalam Negeri No. 412.6/1710.A/PMD, tanggal 15 Desember 2003 perihal pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan. Khusus di Provinsi Jawa Tengah, hal ini terlihat di dalam produkproduk hukum berikut ini.
Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 460/297/2002 Tentang Pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan
Di dalam SK Gubernur tersebut ditetapkan bahwa, Komite ini bertugas membantu Gubernur Jawa Tengah dalam mengkoordinasikan keterpaduan program penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah melalui:  (1) Penyiapan data tentang keluarga miskin sesuai dengan kondisi dan persepsi lokal daerah masing-masing; (2)  Pelaksanaan koordinasi vertikal dan horizontal dengan instansi terkait; (3) Fasilitasi penajaman penggunaan dana pemerintah serta sumber dana lainnya untuk penanggulangan kemiskinan; (4) Perumusan penetapan kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah
Di dalam melaksanakan tugasnya, ketua komite melaporkan secara periodik 1 (satu)  tahun sekali atau sewaktu-waktu dipandang perlu kepada Gubernur Jawa Tengah. dan guna melancarkan pelaksanaan tugas komite, ketua dapat membentuk sekretariat dan kelompok kerja, yang susunan keanggotanya terdiri dari isntansi/unusr dinas terkait sesuai kebutuhan.
Segala biaya yang timbul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan ini dibebankan pada : (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),  propinsi Jawa Tengah yang dialokasikan pada Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Jawa Tengah; (2) anggaran instansi terkait.
Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 460/9/2002 Tentang
Pembentukan Sekretariat Komite Penanggulangan Kemiskinan
Di dalam SK Gubernur tersebut ditetapkan bahwa, Komite ini bertugas membantu pelaksanaan tugas harian Komite Penanggulangan Kemiskinan Segala biaya yang timbul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),  propinsi Jawa Tengah yang dialokasikan pada Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Jawa Tengah Selanjutnya di dalam lapiran SK Gubernur tersebut, ditetapkan susunan keanggotaan Sekretariat Komite Penanggulangan Kemiskinan propinsi Jawa Tengah, yang seluruhnya terdiri dari pejabat-pejabat dari isntansi pemerintah, yang dibagi menjadi 4 (empat) kelompok kerja, yaitu : (a) kelompok kerja pengembangan program; (b) kelompok kerja pengembangan SDM; (c) kelompok kerja Pembangunan Ekonomi; (d) kelompok kerja Pembangunan Sarana/Prasarana; (e) kelompok kerja Evaluasi dan pelaporan
Peran Hukum sebagai Instrumen Kebijakan Nasional dalam Penanggulangan Kemiskinan
Pendekatan yang digunakan
Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 jo Nomor 8 Tahun 2002 jo Nomor 34 Tahun 2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan, mendasarkan pada beberapa bentuk pendekatan, yang menjiwai keseluruhan substansi peraturan tersebut. Pendekatanpendekatan tersebut adalah :

Pertama, di dalam bagian konsidrean Keppres tersebut diungkapkan bahwa : “... upaya untuk melakukan penanggulangan kemiskinan secara Terpadu, perlu perumusan kebijakan makro dan mikro dengan mengikutsertakan forum lintaspelaku yaitu seluruh komponen, baik instansi pemerintah, organisasi non pemerintah ( ORNOP), usaha nasional, organisasi professional, dan segenap unsur masyarakat”.  Hal ini kemudian dipertegas di dalam Pasal 2 yang menetapkan : “Komite Penanggulangan Kemiskinan merupakan forum lintaspelaku baik ditingkat Pusat maupun di Tingkat daerah ...”

 Rumusan diatas menunjukan bahwa pemerintah menganggap penting adanya partisipasi dari para pihak ( stakeholders)  di luar unsur-unsur di luar pemerintah untuk melakukan penanggulangan kemiskinan, mulai dari proses penyusunan program, pelaksanaan sampai pengawasan. Pengakuan tersebut, bagaimanapun menunjukan pentingnya nilai partisipasi di dalam tata penyelenggaraan pemerintahan.

Hanya saja pendekatan yang bersifat multistakeholders tidaklah menunjukan arti partisipasi yang sesungguhnya.  Hal ini terutama disebabkan, pihak-pihak yang dilibatkan di dalam proses tersebut, ternyata hanyalah terbatas pada tokoh-tokoh masyarakat ataupun tokoh-tokoh/ketua dari lembaga-lembaga kemasyarakat yang ada, yang tidak selalu dapat menjamin bahwa mereka benar-benar dapat menyuarakan aspirasi, pendapat, keinginan dan kepentingan masyarakat miskin, karena merekapun pada dasarnya samasama tidak mengetahui bagaimana kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat miskin tersebut.

Proses penanggulangan kemiskinan tersebut baru dapat dikatakan mengakomodasi nilai dasar partisipasi, apabila di dalamnya terdapat sebuah ruang bagi orang-orang miskin untuk duduk dan berbicara, secara bersama-sama untuk mengatasi persoalan yang secara riil mereka hadapi. Dengan perkataan lain kaum miskin harus memperoleh tempat untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri, apalagi untuk sebuah kepentingan yang berpengaruh langsung terhadap mereka. Hal inilah yang tidak terdapat di dalam Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 jo Nomor 8 Tahun 2002 jo Nomor 34 Tahun 2002, sehingga menimbulkan dugaan, pemunculan pendekatan lintas pelaku tersebut hanyalah merupakan suatu bentuk penghalusan  dari suatu proses yang sesungguhnya tetap di dominasi oleh pemerintah.

Dengan demikian adanya unsur-unsur lintas pelaku sebagaimana ditetapkan di dalam Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001  jo Nomor 8 Tahun 2002 jo Nomor 34 Tahun 2002, tidaklah memberikan arti yang signifikan di dalam proses penanggulangan kemiskinan yang akan dilakukan.
Kedua, munculnya Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 jo Nomor 8 Tahun 2002 jo Nomor 34 Tahun 2002, dilatarbelakangi oleh suatu tuntutan, agar pemerintah mampu untuk mengintegrasikan kebijakan makro ekonomi dangan penanggulangan kemiskinan.

Di dalam Pasal 5 disebutkan bahwa, “Komite Penanggulangan Kemiskinan menyelenggarakan fungsi, merumuskan kebijakan dan program Penanggulangan Kemiskinan dan Panduan Umum yang diperlukan bagi pelaksanaannya di daerah.

 Mandat untuk merumuskan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan tersebut, kemudian dituangkan di dalam penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Poverty Reduction Strategy Paper/PRSP), yang sebelumnya didahului oleh pembuatan Interim-Strategi Penanggulangan Kemiskinan (InterimPoverty Reduction Strategy Paper/I-PRSP), yang pembuatananya diserahkan kepada Tim Koordinasi Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan (TKP3KPK).

Di dalam I-PRSP yang mencantumkan upaya-upaya yang harus dilakukan dalam penanggulangan kemiskinan, yaitu upaya pengarusutamaan terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam rangka mensinkronkan antara kebijakankebijakan makro-mikro dan strategis-operasionalnya, pada dasarnya mengakui adanya kelemahan-kelemahan dari penanggulangan kemiskinan pada masal lalu, yang perlu dikoreksi secara mendasar, namun yang terungkap dari rekomendasi yang terdapat di dalam I-PRSP, justru menunjukan ketiadaan sandaran pada kesadaran awal tersebut. Dokumen I-PRSP ternyata masih memegang teguh keyakinan politik lama tentang hebatnya ideologi pembangunan dengan perangkat pendukungnya.

Dalam hal ini argumentasi yang dipasang adalah  “ ... untuk menanggulangi kemiskinan tidak bisa lepas dari adanya tuntutan adanya stabilitas di bidang ekonomi, sosial dan politik.  Stabilitas di semua nidang tersebut merupakan necessary conditions untuk menciptakan iklim makro yang kondusif bagi upaya penanggulangan kemiskinan.  Selanjutnya diperlukan pemerataan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan”.  Selanjutnya dijelaskan pula melalui “catatan kaki“ bahwa  “... kegagalan dalam penanggulangan kemiskinan secara ekonomi akan mengancam keberlanjutan pembangunan, dari sisi sosial dapat menjadi sumber kerawanan sosial, dan dari sisi politik dapat diamnfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan politiknya” Jelas dalam argumen tersebut, pemerintah tetap ingin bertahan dalam memposisikan dirinya sebagai pengendali utama untuk gagasan maupun kerja penanggulangan kemiskinan, serta bermaksud untuk mempertahankan sistem perekonomian yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

Di dalam dokumen I-PRSP disebutkan bahwa penanggulangan kemiskinan didekati melalui dua sisis, yaitu:  1) Pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin dalam mengakses kebutuhan dasar seperti : pendidikan, kesehatan dan infrastruktur yang mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi; 2) Peningkatan produktivitas masyarakat miskin, yang mana masyarakat miskin memperoleh peluang kemampuan pengelolaan dan perlindungan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial, budaya maupun politik.

Untuk mencapai upaya tersebut di atas, maka diupayakan penajaman pelaksanaan 4 (empat) pilar kebijakan, yaitu: 1) Penciptaan kesempatan yang berkaitan dengan sasaran pemulihan ekonomi makro, perwujudan kepemerintahan yang baik, dan peningkatan pelayanan umum;  2) Pemberdayaan masyarakat yang berkaitan dengan sasaran penyediaan akses masyarakat miskin ke sumberdaya ekonomi dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan; 3) Peningkatan kemampuan yang berkaitan dengan sasaran peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan agar masyarakat makin produktif dan; 4) Perlindungan sosial yang berkaitan dengan sasaran pemberian jaminan kehidupan bagi masyarakat yang mengalami kecacatan, fakir miskin, keterisolasian, konflik sosial, kehilangan pekerjaan sehingga berpotensi menjadi miskin.

Adanya startegi dan penajaman pelaksanaan 4 (empat) pilar kebijakan, sebagaimana terumus dalam I-PRSP tersebut mengandung bebrapa persoalan, yaitu:  1) Dokumen I-PRSP seharusnya “hanya” berfungsi untuk mengarahkan bagaimana seharusnya “strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia” dibangun. Dokumen I-PRSP seharusnya tidaklah berisi strategi itu sendiri, karena strategi itu seharusnya dibangun dengan melibatkan pihakpihak yang berkepntingan, terutama kaum miskin, di dalam penyusunannya. Namun yang terjadi justru Dokumen I-PRSP sudah berisi arahan strategi penanggulangan kemiskinan. 2) Hal di atas selanjutnya akan berpengaruh di dalam proses penyusunan PRSP-nya, dimana kerjanya akan didominasi oleh peran kelompok kerja yang akan mengurai lebih lanjut 4 pilar kebijakan dan melemahkan atau meniadakan peran penting pelaksanaan participatory Provety Assesment, yang sesungguhnya merupakan “pintu masuk” bagi keterlibatan kelompok miskin dalam proses pengambilan keputusan.

Model pembuatan kebejakan yang demikian, memperlihatkan bahwa kerja-kerja untuk menanggulangi kemiskinan masih bersifat elitis, dan mengabaikan peran aktif kaum miskin.  Hal ini pun mengindikasikan bahwa cara kerja yang demikian menunjukan pada peneguhan pendekatan yang memposisikan kaum miskin sebagai objek kebijakan, yang didasari pada ideologi charity. Hal lain yang perlu diungkapkan, bahwa latar belakang dari pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan yang diamanahi untuk menyusun Dokumen I-PRSP dan PRSP, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari skenario baru IMF dan Bank Dunia dalam menangani masalah kemiskinan di dunia.
Penutup
Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana terurai di atas disimpulkan bahwa hukum memiliki peran yang sangat penting dalam proses perubahan, artinya, hukum dapat dijadikan instrumen signifikan bagi kebijakan nasional, khususnya tentang  penanggulangan  kemiskinan.
Penegakan hukum tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila peraturan perundangan-undangan yang terkait dengan persoalan yang ditanganinya, secara substansial tidak memadahi. Dalam konteks yang demikian, maka upaya-upaya untuk melakukan perbaikan terhadap substansi dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah penanggulangan kemiskinan di Indonesia pada era otonomi daerah ini menjadi layak untuk dilakukan, bila keinginan untuk mengentaskan keimiskinan, benar-benar ingin diwujudkan.
DAFTAR  PUSTAKA
Anderson, James E., 1979,  Public Policy Making, New York,  Praeger Publishers.
Buku Pedoman Komite Penanggulangan Kemiskinan, Cet. Ke-V, Jakarta, KPK-RI, 2002
Dye, R. Thomas, 1978, Understanding Public Policy, Englewood Cliffs Inc, New Yersey, Prentice Hall.
Jones, Charles O , 1977,  An Introduction to Study of Public Policy, Massachustts, Duxbury Press.
Kelsen, Hans, 1973,  General Theory of Law and State, terjemahan Anders Wedberg, New York, Russell & Russell.
Sidharta,  Bernard Arief,  1994, “Teori Murni Tentang Hukum”, dalam Lili Rasjidi dan Arief Sidharta, Filsafat Hukum: Mazhab dan Refleksinya, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Sigler,  Jay.A. dan Benyamin.R. Beede, 1977, The Legal Sources of Public Policy.. Belmont. California, D.C Heath and Company.
Tjokroamidjojo, Bintoro, 1991, Pengantar Administrasi Pembangunan,  Jakarta,  LP3ES.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklan